MOSKWA, KOMPAS.com - Presiden Rusia Vladimir Putin menuduh Amerika Serikat (AS) memperpanjang perang di Ukraina, sebagai upaya untuk mempertahankan hegemoni globalnya.
"Situasi di Ukraina menunjukkan bahwa Amerika Serikat (AS) sedang berusaha menyeret konflik keluar ...," kata presiden Rusia pada Selasa (16/8/2022) saat berbicara pada upacara pembukaan konferensi keamanan di Moskwa sebagaimana dilansir Al Jazeera.
Lebih lanjut kata dia, Washington “menggunakan rakyat Ukraina sebagai umpan meriam”. Putin pun mengecam AS karena memasok senjata ke Kyiv.
“Mereka membutuhkan konflik untuk mempertahankan hegemoni mereka,” katanya pada konferensi keamanan Selasa (16/8/3033) yang dihadiri oleh pejabat militer dari Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Putin juga menegaskan kembali klaim lamanya bahwa ia mengirim pasukan ke Ukraina sebagai tanggapan terhadap AS, yang mengubah negara itu menjadi benteng “anti-Rusia”.
Pemimpin berusia 69 tahun itu juga menghubungkan dukungan AS ke Ukraina dengan kunjungan baru-baru ini ke Taiwan oleh Ketua DPR AS Nancy Pelosi.
Dia menuduh bahwa keduanya adalah bagian dari upaya AS memicu ketidakstabilan global.
Menurutnya, "petualangan" Amerika di Taiwan bukan hanya perjalanan politisi yang tidak bertanggung jawab.
"Itu adalah bagian dari strategi AS yang disengaja dan sadar, yang dimaksudkan untuk mengacaukan situasi dan menciptakan kekacauan di kawasan dan seluruh dunia, sebuah demonstrasi terang-terangan (bagaimana dia) tidak menghormati kedaulatan negara lain dan kewajiban internasionalnya sendiri,” kata Putin.
“Era tatanan dunia unipolar hampir berakhir,” tambahnya.
Baca juga: Rusia Sebut Ledakan Besar di Pangkalan Militer Crimea Hasil Sabotase, Akui Alami Kerusakan
Berbicara pada konferensi Moskwa, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu menuduh sekutu Barat tidak hanya memasok senjata ke Ukraina tapi juga memberikan informasi intelijen terperinci untuk membantu militer Ukraina mengoperasikan sistem senjata.
“Badan intelijen Barat tidak hanya menyediakan koordinat target untuk meluncurkan serangan, tetapi spesialis Barat juga mengawasi input data tersebut ke dalam sistem senjata,” kata Shoigu.
Serangan Rusia ke Ukraina pada Februari lalu, memperkirakan perlawanan militer kecil dan berharap pengambilalihan secepat kilat yang akan menggulingkan pemerintah di Kyiv.
Namun setelah gagal merebut ibu kota, militer Rusia malah mengalihkan fokusnya ke wilayah Donbas timur.
Tapi apa yang diduga Kremlin akan menjadi "kemenangan cepat” telah berubah menjadi perang yang berlarut-larut, karena negara-negara Barat memasok senjata untuk Ukraina.
Baca juga: Pejabat Senior Rusia Dilaporkan Diam-diam Dekati Barat untuk Akhiri Invasi ke Ukraina
AS menyuntikkan bantuan dalam jumlah yang luar biasa ke Ukraina sejak Februari hingga mencapai 50 miliar dollar AS (Rp 737,6 triliun), sebuah tanda dukungan kokoh bagi Kyiv untuk menanggapi agresi Rusia.
Artileri jarak jauh dan presisi adalah bagian dari bantuan militer AS senilai 9 miliar dollar AS, yang memungkinkan Ukraina menyerang fasilitas pasokan Rusia jauh di dalam wilayah yang dikuasai Moskwa.
Bola api besar meletus di lokasi di Crimea yang dikuasai Kremlin pada Selasa (16/8/2022) pagi mengenai tempat penyimpanan sementara amunisi militer Rusia.
Kantor berita milik negara Rusia TASS mengutip kementerian pertahanan mengatakan ledakan itu adalah hasil dari "sabotase".
Ledakan pada Selasa (16/8/2022) terjadi satu minggu setelah setidaknya satu orang tewas dan lima lainnya terluka dalam ledakan serupa di pangkalan udara Rusia di Crimea, yang dianeksasi oleh Moskwa pada 2014.
Baca juga: Ukraina: Serangan Presisi Hancurkan Pangkalan Paramiliter Rusia Grup Wagner
Ukraina belum secara langsung mengklaim bertanggung jawab atas salah satu insiden di Crimea.
Pembantu presiden Ukraina Mykhailo Podolyak mengatakan pada Selasa (16/8/2022) bahwa ledakan terbaru di Dzhankoi, Crimea adalah "pengingat" bahwa "Crimea yang diduduki oleh Rusia bagaikan gudang peledak dan memiliki risiko kematian yang tinggi bagi penjajah dan pencuri".
Dia mengatakan ledakan itu adalah "aksi demiliterisasi" - menggunakan istilah yang sama yang digunakan oleh Kremlin untuk membenarkan invasi Rusia ke Ukraina.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.