Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Mengenal "Manhattan Project" yang Memorakmorandakan Hiroshima dan Nagasaki

Kompas.com - 17/06/2022, 09:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TANGGAL 7 Desember 1941, Jepang menggempur Pearl Harbour, Hawaii. Buku sejarah Amerika Serikat (AS) menyatakan, peristiwa tersebut adalah turning point bagi AS, dari prinsip isolasionisme ala Widroow Wilson yang masih dipegang teguh sampai dengan era Hoover dan masa awal Franklin Delano Roosevelt atau FDR (tidak berperang ke luar, alias perang harus dinyatakan secara kolegial bersama parlemen dengan syarat yang berat), ke prinsip dan gaya baru Roosevelt, yang menunggu-nunggu celah agar AS punya dalih kuat untuk masuk ke dalam perang dunia kedua.

Namun Rosevelt tak bisa menyatakan perang tanpa persetujuan Capitoll Hill (parlemen) sehingga Roosevelt membutuhkan bukti konkret dan alasan kuat untuk bisa menyatakan ikut berperang. Di tahun-tahun tersebut, sebenarnya tidak banyak negara yang benar-benar mau berperang dengan AS, sebuah negara industri baru, pemenang perang dunia pertama, dengan sokongan perekonomian yang terbilang paling maju dan kekuatan industri yang sedang bangkit (fordism) kala itu.

Baca juga: Shinzo Abe Jadi PM Jepang Pertama yang Kunjungi Pearl Harbour

Tak pelak, Jerman pun sebenarnya tak berani melawan AS, apalagi Jepang. AS baru saja bangkit satu dekade dari krisis ekonomi besar, Great Depression. Perekonomiannya sedang membaik, kapasitas industri sudah mulai kembali pulih (era New Deal FDR). Jadi tak mungkin ujuk-ujuk Jepang menghantam Pearl Harbour, kalau tak ada sebab.

Alasan Jepang

Secara sederhana, Jepang marah kepada AS karena pemberlakuan embargo minyak sebagai hukuman kepada Jepang yang mengekspansi kekuasaannya ke China. Karena itu, Jepang merasa perlu memberi peringatan kepada AS agar tidak macam-macam karena Jepang sedang bersiap-siap untuk mengambil beberapa tambang minyak di Hindia Belanda, terutama di Plaju (Palembang) dan Tarakan (Kalimantan).

Sebab lainya adalah Jepang sedang "terlena” kala itu sehingga tak sadar bahwa Roosevelt juga sedang memasang umpan, yang membuat Jepang memberi peringatan kepada AS melalui serangan dadakan di Pearl Harbor. Catatan tambahannya, dalam kisah resmi "perang terkahir", (begitu Jepang menyebutnya, karena Jepang kurang tertarik menyebut kata "perang dunia kedua") yang dikeluarkan lembaga ilmiah Jepang dengan judul “Invasion Dutch East India Histrory” beberapa tahun lalu, Jepang menginvasi East India bukan hanya karena faktor minyak di Plaju dan Tarakan, tetapi juga faktor penyebaran ideologi Pan Asia.

Pendeknya, pengeboman Pearl Harbor akhirnya membuat pidato Roosevelt di parlemen AS menjadi bermakna instruktif bagi Amerika, yakni perang. Parlemen AS memberi lampu hijau kepada Roosevelt untuk terlibat dalam perang dunia kedua, sekalipun dalam pidatonya Roosevelt sama sekali tidak lagi minta izin kepada punggawa Capitol Hill.

Namun sejak awal tahun 2000-an lalu, terungkap beberapa data baru bahwa diduga Roosevelt mengetahui Jepang akan menyerang Pearl Harbor. Namun dia tidak meneruskan informasinya kepada laksamana yang bertugas di pangkalan di Hawaii, agar Rosevelt punya alasan yang faktual untuk ikut terlibat perang dunia kedua membantu sohibnya, Winston Churchill, yang berkali-kali menyurati Rosevelt meminta untuk segera terlibat melibas Hitler di Eropa.

Joseph Stalin bersama Presiden AS Franklin Delano Roosevelt dan PM Inggris Winston Churchill dalam konferensi Teheran pada November 1943. Ketiga pemimpin ini saat itu disebut sebagai Tiga Besar.Wikipedia Joseph Stalin bersama Presiden AS Franklin Delano Roosevelt dan PM Inggris Winston Churchill dalam konferensi Teheran pada November 1943. Ketiga pemimpin ini saat itu disebut sebagai Tiga Besar.
Pertama, di kala itu AS dan Jepang memang sudah bersitegang dan Jepang mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik dengan AS karena embargo minyak. AS juga meluncurkan Operasi Magic, operasi intelejen untuk menginfiltrasi informasi dan memantau semua pergerakan Jepang. Jadi menurut beberapa sumber, mustahil AS tidak mengetahui rencana serangan tersebut.

Hal itu terbukti saat Jepang ingin meluncurkan serangan kedua ke Midway Island, di mana AS yang kalah senjata berhasil menggagalkan serangan kapal-kapal lengkap Jepang lantaran AS berhasil mendapatkan informasi rencana serangan tersebut sebelumnya. Bahkan dikabarkan, di pagi sebelum Pearl Harbor diserang, informasi sudah ada di meja Laksamana Stark di New York, tetapi tak disampaikan ke Laksamana Kimmel di Hawaii.

Kedua, Duko Popov, intel yang membelot dari Jerman ke Inggris, sekaligus tokoh yang menjadi inspirasi film James Bond, telah menyerahkan dokumen dalam bentuk micro dot kepada J Edgar Hoover, petinggi FBI (Federal Bureau of Investigation atau biro intelijen dan keamanan domestik AS) kala itu, pun kepada petinggi CIA (Central Intelligence Agency), saat itu  masih bernama OSS, yang berisi kuisioner yang harus dijawab intel Jerman untuk diberikan kepada Jepang.

Dari kuesioner tersebut tertulis jelas bahwa Jepang sedang mencari informasi tentang pangkalan AS di Hawaii serta informasi tentang segala pergerakan kapal-kapal AS. Bahkan dikabarkan, informasi dari Popov pun sempat parkir di meja Rosevelt beberapa hari sebelum Pearl Harbor di serang. Lalu dikabarkan juga, Churchil saat berbicara dengan Rosevelt via telepone pernah menyampaikan bahwa Jepang akan menyerang Pearl Harbor di suatu tanggal, yang akhirnya terbukti meleset satu hari dari perkiraannya.

Manhattan Project

Sekarang masuk ke soal bom atom yang meluluhlantakan dua kota di Jepang. Cerita bermula di tahun 1941, setelah Albert Enstein mengungsi dari Jerman ke AS (ditanggapi oleh AS dengan operasi Paperclip-operasi penyelamatan ilmuwan-ilmuwan potensial Jerman). Setelah sampai di AS, Enstein menyampaikan kepada Roosevelt bahwa Jerman sedang mengembangkan senjata nuklir.

Enstein memang sangat mengetahui rencana Jerman tersebut karena yuniornya yang menjalankan project tersebut, yakni Werner Heisenberg, fisikawan muda Jerman penerima nobel fisika 1932. Namun proyek terebut akhirnya dihentikan karena terjadi ledakan di saat uji coba terakhir, sebelum dihentikan pendanaannya oleh Nazi.

Sejak pemberitahuan tersebut, OSS (embrio CIA) mulai memantau pergerakan Haisenberg sampai diketahui bahwa proyek tersebut dihentikan.

Saat mendengar berita dari fisikawan kelas atas tersebut, Roosevelt terkejut dan segera mengambil tindakan. Brigjen Leslie Grove, yang ditunjuk memimpin project senjata nuklir untuk menandingi Jerman. Lahirlah Manhattan Project, begitu namanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com