Pengumuman kenaikan suku bunga pada Rabu, juga menunjukkan penjualan ritel turun bulan lalu, karena kenaikan harga bensin telah membuat warga AS mengucurkan lebih banyak uang untuk membeli bahan bakar.
Baca juga: Wall Street Berakhir Hijau Usai The Fed Umumkan Kenaikkan Suku Bunga 75 Basis Poin
Di AS, bensin kini dibanderol dengan harga 5 dollar AS, atau setara Rp 73.000, per galon (setara 3,7 liter).
Para ekonom sempat memperkirakan bahwa Maret 2022 akan menjadi puncak lonjakan harga konsumen. Namun, data pada Mei 2022 malah memperlihatkan lonjakan lagi, dengan kenaikan sampai 8,6 persen dalam 12 bulan terakhir.
Powell berkata, pengendalian kenaikan harga sangat penting untuk stabilitas ekonomi dan akan dibutuhkan waktu untuk memulihkan harga.
"Pada akhirnya, prospeknya sangat tidak pasti," kata Beckworth.
Baca juga: The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan 75 Basis Poin, Tertinggi dalam 28 Tahun
Diakui oleh pendiri dan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini, kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi telah berdampak pada inflasi di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Dia berkata inflasi akan menggerus daya beli masyarakat, sedangkan bagi investor, inflasi akan meningkatkan suku bunga sehingga investasi dan kegiatan bisnis akan terhambat.
Sementara ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menyebut efek kebijakan The Fed akan memberikan dampak sangat berat bagi Indonesia.
"Harga akan terkerek naik. Uang lari ke Amerika, outflow ini juga susah ditebak. Rentetan (dampak kebijakan The Fed ini) akan panjang," ujar Dradjad seperti dikutip dari Kompas.com.
Respons kebijakan moneter untuk mengurangi inflasi dengan meningkatkan suku bunga acuan, pada akhirnya akan memukul investasi, khususnya foreign direct investment (FDI) ke negara berkembang karena modal akan condong lari ke negara-negara asalnya dan asset yang aman seperti dollar AS.
Baca juga: Wamenkeu Tekankan Pentingnya Suku Bunga Acuan untuk Dorong Stabilitas Ekonomi
Peningkatan suku bunga, juga berarti kenaikan biaya pembiayaan yang dapat menghambat investasi karena biaya investasi yang ditimbulkan menjadi besar.
Sementara itu peningkatan inflasi membuat banyak negara dapat mengalami neraca pembayaran yang negatif.
Namun, Perry menegaskan Indonesia memiliki koordinasi fiskal dan moneter yang kuat untuk merespons kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi.
Dari sisi fiskal, kata Perry, pemerintah telah meningkatkan subsidi sehingga tidak semua kenaikan harga energi dan komoditas dunia berdampak pada inflasi dalam negeri.
"Pemerintah telah mendapat persetujuan dari DPR untuk menaikkan subsidi, khususunya bagi premium, diesel, listrik, elpiji, dan juga meningkatkan bantuan sosial," jelas Perry.
Baca juga: Ada Ancaman Inflasi, Bank Sentral AS Diproyeksi Bakal Kembai Naikkan Suku Bunga Acuan
Sementara harga-harga barang nonsubsidi, seperti Pertalite dan Pertamax, mengalami kenaikan.
Sementara dari sisi moneter, kata Perry, Bank Indonesia turut berpartisipasi dalam pembiayaan biaya kesehatan dan kemanusiaan, dengan membeli SBN senilai Rp 224 triliun.
"Kami serahkan pada pemerintah untuk mengalokasikan apakah sebagian juga untuk membiayai subsidi tadi," kata dia.
"Karena koordinasi fiskal dan moneter yang kuat, makanya kenaikan harga energi dan komoditas global tidak berdampak signifikan pada inflasi dalam negeri."
Baca juga: The Fed Beri Sinyal Kembali Naikkan Suku Bunga Acuan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.