Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita WNI di AS Pasca-penembakan Massal di SD Texas: Takut Melepas Anak ke Sekolah

Kompas.com - 30/05/2022, 19:31 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Editor

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Rindri Rendusara, warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Kota Katy, di negara bagian Texas, sekitar empat jam berkendara dari Kota Uvalde, mengaku tidak bisa berkata-kata, saat mendengar tentang insiden penembakan massal yang kembali terjadi di Amerika Serikat (AS).

Selama 19 tahun bermukim di AS, tak pernah terpikir oleh Rindri bahwa insiden penembakan massal seperti ini bisa terjadi di negara bagian tempat tinggalnya.

Baca juga: [KABAR DUNIA SEPEKAN] Penembakan SD di Texas | Anak Ridwan Kamil Hilang di Sungai Aare Swiss

Seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa orang tua korban, di hari kejadian itu, Ibu dari tiga anak ini sempat menghadiri acara di sekolah anak bungsunya, Sabrina, yang berusia 11 tahun dan duduk di bangku kelas 5 SD.

“Saya merasa sedih, Saya menempatkan diri saya dalam posisi mereka. Nggak bisa bayangin deh. Ini sesuatu yang seharusnya nggak terjadi, tapi kelihatannya makin sering dan sering (terjadi),” ujar Rindri Rendusara kepada VOA belum lama ini.

Kesedihan yang sama ikut dirasakan oleh Melissa Anggiarti yang tinggal di negara bagian Michigan, AS.

Ia merasa berat untuk melepas putrinya yang baru berusia tiga tahun pergi ke sekolah keesokan harinya.

“Bangun tidur dilema, antara menyekolahkan anak atau meliburkan dia, tetapi anaknya sangat bersemangat sekali untuk pergi sekolah karena dia tahu hari itu bukan hari libur dan dia harus pergi ke sekolah,” cerita Melissa Anggiarti.

Tidak hanya rasa cemas, Qiki Piasasty yang tinggal di Vienna, Virginia juga mengaku takut saat harus melepaskan kedua putranya yang berusia 8 dan 13 tahun ke sekolah. Hatinya pilu setiap kali memikirkan kesedihan para orang tua korban.

Baca juga: Penanganan Teror Polisi AS Dipertanyakan, Hanya Diam di Lorong 45 Menit saat Penembakan SD Texas

“Rasanya berlinang air mata dan saya tidak bisa menempatkan diri di posisi mereka, karena sangat sulit. Satu hari Anda bisa melihat anak Anda pergi ke sekolah, di hari lain mereka tidak akan pernah kembali. Saya tidak bisa membayangkannya,” ujar Qiki sambil terbata-bata.

Namun, Qiki menyadari bahwa anak-anak tidak hanya membutuhkan pendidikan, tapi juga interaksi sosial dengan guru dan teman-temannya.

“Kita banyak berdoa aja, semoga selalu selamat,” ujarnya.

Ingin ‘aksi nyata’ bagi keamanan anak

Berbagai distrik sekolah di seluruh AS tidak tinggal diam untuk meredakan kecemasan para orang tua murid.

Salah satu divisi sekolah terbesar di AS, Fairfax County Public Schools (FCPS) yang menangani 198 sekolah dan pusat pendidikan mengirimkan surat edaran yang mengatakan “mengutuk tindakan kekerasan yang tidak masuk akal ini.”

Lewat surat edaran itu, kepala lembaga, Scott Brabrand juga menyebutkan akan terus berusaha meningkatkan keselamatan gedung-gedung sekolah dengan biaya tahunan yang tersedia.

Baca juga: Reaksi Ngeri Dunia atas Penembakan Massal di SD Texas: Amerika Membunuh Dirinya Sendiri

Kedua anak Qiki Piasasty bersekolah di bawah naungan FCPS dan lembaga itu dinilai memiliki salah satu sistem keamanan sekolah yang paling maju di seluruh negeri.

Lembaga pendidikan, yang memiliki murid lebih dari 180 ribu siswa tersebut juga menekankan bahwa keselamatan sekolah-sekolah mereka, beserta para murid dan karyawan merupakan prioritas.

Qiki mengatakan, tidak hanya FCPS, namun sekolah-sekolah anaknya secara langsung juga “selalu mengomunikasikan apa yang mereka lakukan terhadap (kemananan) di sekolah.” Ada pelatihan untuk menghadapi tornado, hingga pelatihan jika ada serangan yang terjadi di sekolah.

Namun, sebagai orang tua, Qiki lebih berharap untuk adanya aksi “yang lebih nyata” untuk anak-anak.

“Tapi saya harus bersyukur dengan adanya komunikasi ini, paling tidak saya tahu apa yang mereka persiapkan apabila terjadi penembakan atau serangan terhadap sekolah,” jelasnya.

Terus di bawah kondisi tak aman

Menurut Melissa Anggiarti, sungguh ironis mengingat para siswa di AS kerap diberikan pelatihan untuk menghadapi penembakan massal.

“Itu berarti mereka mengetahui bahwa mereka setiap hari berada di kondisi tidak aman. Untuk orang dewasa saja itu hal yang tak tertahankan, apalagi untuk anak kecil? Saya tidak bisa membayangkan,” ujarnya.

 

Baca juga: Kisah Miah Cerrillo Selamat dari Penembakan di SD Texas, Lumuri Diri dengan Darah Temannya

Distrik sekolah negeri di Kota Uvalde juga memiliki peraturan tersendiri terkait dengan keamanan sekolah. Salah satu peraturan yang tercantum berkaitan dengan kebijakan mengunci pintu kelas.

Namun, aturan tersebut tidak menyebutkan pintu utama atau pintu-pintu lainnya di sekolah. Pasalnya, pelaku penembakan yang baru berusia 18 tahun itu berhasil masuk ke dalam gedung sekolah dasar Robb melalui pintu yang tidak terkunci.

“Yang saya lakukan adalah saya mengantar (anak) dan saya memastikan ke sekolah bahwa mereka mengunci pintu dengan sangat baik dan saya rasa ini menjadi perhatian setiap orang tua di sini,” kata Melissa.

Mengenai sistem keamanan sekolah, Rindri Rendusara merasa bahwa sekolah anaknya “sudah menerapkan prosedur keamanan (yang cukup baik).”

Walau mengaku “deg-degan,” inilah yang meyakinkan Rindri untuk kembali menyekolahkan putrinya, satu hari setelah insiden penembakan massal ini.

“Jadi mereka itu ada akses pengunjung dan sistem pelacakan.red yang baik kalau masuk ke gedung sekolah, dengan satu pintu, pintu utama. Kemudian kita harus memberikan kartu identitas,” ujarnya.

Namun, Rindri juga tidak lupa mengingatkan putrinya agar selalu melapor jika melihat ada hal-hal yang mencurigakan.

Baca juga: Polisi Texas Dikecam karena Lambat Merespons Penembakan di SD Robb

Untungnya, pihak sekolah memiliki aplikasi bernama Speak Up, yang memudahkan anggota komunitas, termasuk siswa, orang tua, dan anggota komunitas untuk memberikan laporan berupa foto atau video, tanpa perlu mengungkap nama.

“Jadi sebenarnya sekolah sudah melakukan pencegahan. Jadi saya ingin anak saya itu merasa aman juga. Tapi di lain pihak saya waswas juga,” tambahnya.

Pihak sekolah ajak siswa diskusi

Qiki Piasasty mengaku kedua putranya, khususnya yang sulung menyadari situasi terkait insiden penembakan massal yang kerap terjadi di AS.

Menurutnya, pihak sekolah juga selalu melakukan diskusi dan menanyakan pendapat para siswanya mengenai kebijakan pemerintah seputar hal ini.

Diskusi dan pembahasan mengenai insiden penembakan juga berlangsung di sekolah Dimas Nugroho, siswa SMA kelas 12 di Templeton Academy, Washington DC.

“Beberapa guru mendorong kami untuk ikut serta dalam sebuah diskusi dan (membicarakan) tentang apa yang kami rasakan, pendapat kami, juga apa yang menurut kami harus dilakukan,” ujar Dimas Nugroho.

Baca juga: Penembakan SD di Texas, Video Ungkap Wali Murid Nekat Terobos Police Line karena Polisi Lambat

Dimas menambahkan, di sekolahnya yang sekarang, ia belum pernah melakukan pelatihan untuk menghadapi serangan. Namun, ia ingat sewaktu SMP pernah mendapat pelatihan menghadapi serangan pasca penembakan massal di SMA Stoneman Douglas di Parkland, Florida yang menewaskan 17 orang.

“(Waktu itu) kami mendapat pelatihan di mana kami harus mematikan seluruh lampu, berdiam dan duduk di pojokan, tidak bersuara sampai (situasinya aman),” kata Dimas.

Rindri Rendusara sempat membahas tentang insiden penembakan massal ini dengan putrinya, sambil mengatakan bahwa “hal ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.”

“Saya tanya tentang kejadian ini. Bagaimana perasaannya? Dia bilang, dia merasa sedih, karena semua korbannya adalah seumuran dengan dia,” ujarnya.

Harapan agar ‘Amerika berbenah’

Pasca insiden penembakan di Texas, Melissa Anggiarti berharap agar “Amerika berbenah,” khususnya dalam hal kepemilikan senjata api.

“Kalau nggak bisa dijadikan ilegal, senjata api, ya diperketat persyaratan untuk kepemilikan senjata apinya. Jangan berlomba-lomba untuk memudahkan akses kepemilikan tersebut,” ujar Melissa.

Baca juga: Setelah Penembakan SD di Texas, Muncul Pria Bersenjata Dekat Sekolah di Kanada, Polisi Tembak Tersangka

Rindri Rendusara juga berharap agar pemerintah AS akan melakukan sesuatu, termasuk memperketat pemeriksaan latar belakang pembeli senjata dan adanya pembatasan umur.

Seperti diketahui, pelaku penembakan massal di SD Texas kemarin baru saja berulang tahun ke-18 pada 16 Mei lalu.

Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Bahan Peledak di AS menyebut bahwa tersangka lalu membeli senjata api pada 17 Mei dan 20 Mei.

“Dari kejadian yang kemarin ini, anak usia 18 tahun bisa membeli senjata. Menurut saya, umur 18 tahun itu belum saatnya,” kata Rindri.

Amandemen kedua konstitusi AS memang memungkinkan dan melindungi hak individu untuk memiliki senjata.

Namun, Qiki Piasasti berharap pemerintah AS bisa mengeluarkan persyaratan yang lebih ketat, sehingga “anak yang baru berubah menjadi 18 tahun tidak bisa langsung mendapat senjata dan membatasi penjualan senapan serbu.”

Sebagai siswa kelas 12, Dimas menyadari bahwa dirinya telah melalui dan melihat berbagai insiden penembakan massal dalam hidupnya.

“Saya hanya melihat, bahkan saya melihat adanya pemberontakan. Sebagai generasi muda yang masih terus tumbuh, menurut saya kami bisa mempelajari (yang terjadi di dunia) sejak dini, (sehingga) kami bisa lebih banyak bertindak.”

Baca juga: Kisah Pahlawan Cilik dalam Penembakan SD di Texas, Gadis 10 Tahun Telepon 911 untuk Minta Bantuan, tetapi Ditembak

Hingga artikel ini dirilis oleh VOA Indonesia, pihak berwenang masih terus menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi saat tersangka penembak Texas berada di dalam SD Robb selama 40 menit.

Keluarga korban penembakan massal ini pun menyesalkan respons polisi yang lamban dan menginginkan adanya tindakan nyata.

Insiden penembakan Texas ini merupakan salah satu dari serangkaian penembakan massal lainnya di AS yang mencatat 61 insiden "penembak aktif" sepanjang tahun lalu.

Laporan Biro Penyelidik Federal AS (The Federal Bureau of Investigation/FBI) pekan ini mengatakan, jumlah insiden, korban, dan lokasi penembakan meningkat tajam pada 2021 dan mencapai angka tertinggi sepanjang 20 tahun terakhir.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by VOA Indonesia (@voaindonesia)

Berita ini dipublikasikan oleh VOA Indonesia dengan judul Penembakan di Texas, WNI di AS Takut Melepas Anak ke Sekolah, ditulis oleh Dhania Iman, Ariadne Budianto, Virginia Gunawan, Rendy Wicaksana

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com