Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reaksi Ngeri Dunia atas Penembakan Massal di SD Texas: Amerika Membunuh Dirinya Sendiri

Kompas.com - 26/05/2022, 08:16 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

UVALDE, KOMPAS.com - Politisi dan media di seluruh dunia bereaksi dengan ngeri, tidak habis pikir, namun lelah terhadap berita bahwa seorang pria bersenjata berusia 18 tahun telah membunuh 19 anak dan dua guru dalam penembakan massal di Amerika Serikat (AS).

Penembakan massal di SD Texas pada Selasa (24/5/2022) merupakan kasus ke-27 penembakan di institusi pendidikan AS sepanjang tahun ini saja, menurut laporan Guardian.

Baca juga: Kronologi Penembakan Massal di SD Texas, Pelaku Kirim Peringatan Online, Sempat Baku Tembak dengan Polisi

Ironisnya, politisi “Negeri Paman Sam” kebanyakan menanggapinya dengan formalitas saja, cukup berkomentar, tapi tak banyak yang diperbuat.

Senator Republik Texas Ted Cruz bahkan menyerukan “lebih banyak senjata” diperlukan di sekolah-sekolah.

“Kami tahu dari pengalaman masa lalu bahwa alat paling efektif untuk menjaga keamanan anak-anak adalah penegakan hukum bersenjata di kampus,” kata Cruz kepada MSNBC.

Sementara itu, dari pejabat China hingga Ukraina dan laporan media internasional melihat insiden itu dengan penuh keprihatinan.

Baca juga: Siapa Sebenarnya Pelaku Penembakan Sekolah Texas dan Jejak Akun Instagram Misteriusnya?

Keprihatinan dan kritik dari pemimpin dunia

Di Ukraina yang hancur, Presiden Volodymyr Zelenskiy mengatakan dia “sangat sedih dengan pembunuhan anak-anak yang tidak bersalah”.

Rakyatnya kata dia “berbagi rasa sakit dengan kerabat dan teman para korban, dan semua orang Amerika”.

Presiden Perancis Emmanuel Macron, menggambarkan pembantaian itu sebagai aksi "pengecut" dan mengatakan Perancis turut merasa terkejut dan sedih dan mendukung perjuangan “mereka yang berjuang untuk mengakhiri kekerasan".

Beberapa sekutu mempertanyakan mengapa Amerika Serikat - dengan hak konstitusionalnya untuk memanggul senjata dan lobi senjata yang kuat - tidak dapat mengatasi kekerasan senjata, yang merenggut rata-rata 111 nyawa sehari.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang sedang mengunjungi AS menunjukkan bagaimana pemerintahnya memperketat undang-undang senjata, setelah seorang supremasi kulit putih membunuh 51 orang di dua masjid di Christchurch pada 2019.

"Kami adalah orang-orang yang sangat pragmatis. Ketika kami melihat hal seperti itu terjadi, semua orang berkata, 'Jangan pernah lagi,'" katanya kepada CBS "Late Show."

Baca juga: Fakta-fakta Penembakan SD di Texas, Tersangka Juga Pelajar

Di Australia, yang melarang senjata semi-otomatis setelah penembakan massal pada 1996, Bendahara Jim Chalmers mengatakan kepada wartawan: "Sulit membayangkan bahwa negara besar seperti AS dapat terus seperti ini, dengan kekerasan senjata ini, kekejaman massal ini. ."

China, yang terus-menerus menghadapi kritik AS terhadap hak asasi manusia, menyorot minimnya tanggapan AS atas kekerasan senjata atau diskriminasi rasial di negaranya sendiri sebagai masalah yang "tidak dapat menerima".

"Bagaimana orang bisa mengharapkan pemerintah AS, (yang) bahkan tidak peduli dengan hak asasi manusia rakyatnya, untuk benar-benar memperhatikan situasi hak asasi manusia di negara lain?" kata juru bicara kementerian luar negeri Wang Wenbin dikutip dari AFP.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com