Bukankah resolusi tersebut juga menyerukan Rusia menarik mundur dari wilayah Ukraina sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina?
Beijing seperti “kerepotan” menempatkan dirinya. Di satu sisi ingin tetap menjaga kemitraan strategisnya yang erat dengan Moskwa; tetapi di sisi lain kebijakannya itu kontradiktif dengan pernyataannya bahwa China selalu menghormati kedaulatan semua negara dan integritas semua negara.
China menolak untuk mengkritik Rusia, dan bersamaan dengan itu mencoba memberikan ruang untuk dirinya sendiri bermanuver.
Baca artikel sebelumnya: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian III)
Tetapi, China tidak akan begitu saja bersikap frontal terhadap Barat, dalam hal ini berkait dengan resolusi.
China seperti meniti bentangan seutas tali, harus hati-hati dan terus menjaga keseimbangan.
Itulah sebabnya, China tidak akan mengikuti Barat (juga negara-negara lain) untuk mendukung resolusi melawan Rusia.
Karena itu, pilihan China adalah abstain. Mengapa abstain? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa China tidak ingin menghadapi dua musuh secara bersamaan: AS dan Rusia.
China tidak menghadapi dua front sekaligus. Dengan AS, China terlibat perang dagang dan persaingan di kawasan Indo-Pasifik.
Dalam hal ini, China dan Rusia memiliki kepentingan yang sama: sama-sama menghadapi AS, dan menurunkan kepemimpinan global AS.
Dalam jangka panjang, China melihat Rusia sebagai mitra strategis, terutama selama AS meningkatkan kehadiran militernya di Pasifik.
Selain ada kerja sama strategis, China dan Rusia juga memiliki hubungan perdagangan yang dari waktu ke waktu semakin meningkat.
Bahkan China adalah mitra dagang terbesar Rusia. China sangat memerlukan minyak Rusia.
Nilai perdagangan bilateral tahun lalu mencapai 146 miliar dollar AS. Bahkan kedua negara Agustus tahun lalu melakukan latihan militer bersama.
Keduanya berbagi perbatasan sepanjang 4.000 kilometer. Tetapi kunci sebenarnya, seperti di atas sudah disebut, di balik semakin eratnya hubungan kedua negara adalah ketegangan dengan Washington. Jadi keduanya menemukan “musuh bersama.”
Dengan Rusia, China “bermain aman.” Padahal, China juga memiliki hubungan baik dengan Ukraina.
Karena itu, Menlu China Wang Yi mengatakan—untuk menunjukkan simpatinya pada Ukraina—“sangat berduka” dengan pecahnya konflik itu. Meskipun, tentu, Ukraina kecewa dengan pilihan abstain China.
Wajar kalau Kyiv, kecewa. Sebab, Ukraina pada tahun 2017 tergabung dalam inisiatif pembangunan dan infrastruktur Belt and Road andalan Xi Jinping.
Bahkan tahun lalu (2021) Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan Ukraina sebagai “jembatan ke Eropa” yang potensial bagi China.
Kereta barang ke Eropa melewati Ukraina, dan negara itu telah menjadi sumber utama produk-produk seperti jagung dan jelai untuk China.
Baca juga: Putin, Testing The Water
Hubungan Moskwa dan Beijing, tahun-tahun belakangan ini memang semakin erat. Pertemuan terakhir antara Vladimir Putin dan pemimpin China Xi Jinping terjadi di Beijing saat Olimpiade Musim Dingin 4 Februari 2022.