Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membaca Resolusi MU PBB (Bagian IV)

China dan Mongolia memilih abstain; sementara Korea Utara mengikuti Rusia, against. Jepang dan Korea Selatan, tidak hanya mendukung, kedua sekutu AS ini juga co-sponsor resolusi.

Korea Utara yang memosisikan diri paling dekat dengan Rusia, tidak hanya menentang resolusi, tetapi juga menuding AS sebagai “akar penyebab” perang di Ukraina.

Baca artikel sebelumnya: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian I)

Kantor berita resmi Korea Utara (KCNA) menyalahkan “kebijakan hegemonik” dan “kekerasan” AS dan Barat sebagai penyebab krisis di Ukraina.

KCNA menulis, “Akar penyebab krisis Ukraina sepenuhnya terletak pada kebijakan hegemonik AS dan Barat, yang memaksakan diri mereka sendiri dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap negara lain” (Reuters).

Dengan mendukung Rusia serta menentang resolusi, Korea Utara berharap bahwa Rusia akan membantu mereka terlepas dari sanksi yang dijatuhkan padanya karena uji coba senjata nuklir sejak 2006. Semacam “barter” dukungan.

Meniti tali

Itulah sikap Korea Utara, salah satu negeri yang “membandel” tak peduli dengan seruan dunia terus melakukan uji coba nuklir.

Beberapa hari lalu, Korea Utara melakukan uji coba senjata nuklir yang disebut sebagai “rudal monster”.

Ini uji coba kesepuluh sejak pelucuran rudal balistik antar-benua (Intercontinental Ballistic Missile/ICBM) untuk pertama kalinya pada tahun 2017.

Namun, menurut berita yang tersiar uji coba beberapa hari lalu, gagal. Jadi, kalau Korea Utara memilih against resolusi, memang wajar.

Tetapi, mengapa China (salah satu pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB), memilih abstain?

Baca artikel sebelumnya: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian II)

Meskipun, Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun mengatakan situasi di Ukraina “menyayat hati”, tetapi juga “sangat kompleks dan sensitif.”

Zhang juga mengatakan, “Dengan menyesal rancangan resolusi itu… belum dikonsultasikan secara penuh… juga tidak mempertimbangkan secara penuh sejarah dan kompleksitas krisis saat ini… Itu tidak menyoroti pentingnya prinsip keamanan yang tidak dapat dibagi-bagi.”

Sebelumnya, dalam sidang Dewan Keamanan PBB, China (dan India) juga abstain saat voting rancangan resolusi yang menyerukan agar Rusia menghentikan serangannya pada Ukraina dan segera menarik mundur pasukannya. Kenapa tidak mem-veto?

Tidak mudah memahami sikap China yang abstain. Sebab, China menyatakan, posisi dasar China dalam masalah Ukraina konsisten dan jelas.

Kata Jubir Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, “Kami selalu menganjurkan menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara dan menyelesaikan sengketa internasional secara damai sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB.” (China News Service)

Kata Wenbin, yang terpenting saat ini adalah sebisa mungkin meredakan situasi di lapangan agar konflik tidak semakin eskalasi atau bahkan lepas kendali.

Setiap tindakan yang diambil oleh PBB dan pihak-pihak terkait harus fokus pada perdamaian dan stabilitas regional dan keamanan umum semua pihak, sehingga dapat memainkan peran positif dalam mengurangi ketegangan dan mempromosikan solusi diplomatik.

Bukankah resolusi MU PBB juga dimaksudkan untuk meredakan situasi di lapangan agar konflik tidak meluas?

Bukankah resolusi tersebut juga menyerukan Rusia menarik mundur dari wilayah Ukraina sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina?

Beijing seperti “kerepotan” menempatkan dirinya. Di satu sisi ingin tetap menjaga kemitraan strategisnya yang erat dengan Moskwa; tetapi di sisi lain kebijakannya itu kontradiktif dengan pernyataannya bahwa China selalu menghormati kedaulatan semua negara dan integritas semua negara.

China menolak untuk mengkritik Rusia, dan bersamaan dengan itu mencoba memberikan ruang untuk dirinya sendiri bermanuver.

Baca artikel sebelumnya: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian III)

Tetapi, China tidak akan begitu saja bersikap frontal terhadap Barat, dalam hal ini berkait dengan resolusi.

China seperti meniti bentangan seutas tali, harus hati-hati dan terus menjaga keseimbangan.

Itulah sebabnya, China tidak akan mengikuti Barat (juga negara-negara lain) untuk mendukung resolusi melawan Rusia.

Karena itu, pilihan China adalah abstain. Mengapa abstain? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa China tidak ingin menghadapi dua musuh secara bersamaan: AS dan Rusia.

China tidak menghadapi dua front sekaligus. Dengan AS, China terlibat perang dagang dan persaingan di kawasan Indo-Pasifik.

Dalam hal ini, China dan Rusia memiliki kepentingan yang sama: sama-sama menghadapi AS, dan menurunkan kepemimpinan global AS.

Dalam jangka panjang, China melihat Rusia sebagai mitra strategis, terutama selama AS meningkatkan kehadiran militernya di Pasifik.

Selain ada kerja sama strategis, China dan Rusia juga memiliki hubungan perdagangan yang dari waktu ke waktu semakin meningkat.

Bahkan China adalah mitra dagang terbesar Rusia. China sangat memerlukan minyak Rusia.

Nilai perdagangan bilateral tahun lalu mencapai 146 miliar dollar AS. Bahkan kedua negara Agustus tahun lalu melakukan latihan militer bersama.

Keduanya berbagi perbatasan sepanjang 4.000 kilometer. Tetapi kunci sebenarnya, seperti di atas sudah disebut, di balik semakin eratnya hubungan kedua negara adalah ketegangan dengan Washington. Jadi keduanya menemukan “musuh bersama.”

Dengan Rusia, China “bermain aman.” Padahal, China juga memiliki hubungan baik dengan Ukraina.

Karena itu, Menlu China Wang Yi mengatakan—untuk menunjukkan simpatinya pada Ukraina—“sangat berduka” dengan pecahnya konflik itu. Meskipun, tentu, Ukraina kecewa dengan pilihan abstain China.

Wajar kalau Kyiv, kecewa. Sebab, Ukraina pada tahun 2017 tergabung dalam inisiatif pembangunan dan infrastruktur Belt and Road andalan Xi Jinping.

Bahkan tahun lalu (2021) Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan Ukraina sebagai “jembatan ke Eropa” yang potensial bagi China.

Kereta barang ke Eropa melewati Ukraina, dan negara itu telah menjadi sumber utama produk-produk seperti jagung dan jelai untuk China.

Erat lagi

Hubungan Moskwa dan Beijing, tahun-tahun belakangan ini memang semakin erat. Pertemuan terakhir antara Vladimir Putin dan pemimpin China Xi Jinping terjadi di Beijing saat Olimpiade Musim Dingin 4 Februari 2022.

Kedua pemimpin itu menyatakan hubungan China dan Rusia “tanpa batas” dan mengecam perluasan NATO—salah satu pembenaran yang digunakan Putin untuk mengirimkan pasukannya masuk Ukraina (CNN, 25/2, The Nation).

Mereka menyebut blok militer itu sebagai “relik Perang Dingin.” Barat melihat hal tersebut sebagai sebuah aliansi antara China dan Rusia.

Media China menggunakan frasa, “shoulder by shoulder, back against back” untuk menggambarkan dekatnya hubungan kedua pemimpin itu yang disebutnya sebagai sahabat dekat.

Maka, China tidak pernah mengecam apalagi mengutuk serangan militer Rusia ke Ukraian. China juga tidak menyebut—yang menurut istilah Putih, “Operasi Militer Khusus”—“invasi.”

China lebih memilih menyatakan pihaknya memahami “masalah keamanan sah” Moskwa. Kata Hua Chunyin, asisten menteri luar negeri China, “Rusia adalah negara besar yang independen, dan memutuskan kebijakan dan tindakannya secara independen” (The Nation, 9/3).

Pertemuan Jinping dan Putin mengingatkan pertemuan antara Mao Zedong dan Joseph Stalin pada Desember 1949.

Pada waktu itu, China baru saja selesai perang sembilan tahun dengan Jepang yang menewaskan 20 juta orang; sebelumnya terlibat dalam perang saudara yang menelan 7 juta korban jiwa.

Sementara, Rusia lepas dari PD I, muncul sebagai kekuatan besar, selain AS. Waktu itu, Rusia adalah “bos” komunis, dan Mao datang meminta bantuan ekonomi untuk membangun kembali China yang porak-poranda akibat peang dan dukungan militer untuk pembebasan pulau Taiwan (The Nation, 14 Maret 2022).

Dan, kedua negara pada Februari 1950 menandatangani Treaty of Friendship and Alliance.

Menurut China, persahabatannya dengan Rusia sebagai “indestructible friendship”, persahabatan yang tidak dapat dihancurkan.

Kini, semua seperti berulang kembali. Tetapi dengan “kondisi yang berbalik.” China telah mampu membangun angkatan lautnya bahkan terbesar di dunia, sistem satelit globalnya paling aman, memiliki rudal hipersonik mutakhir dengan kecepatan 4.000 mil per jam.

China juga merupakan kekuatan ekonomi besar—bahkan terbesar di dunia (diukur dari daya beli. Jumlah penduduk China 1,448,766,205 jiwa per 16 Maret 2022 menurut Worldometer), 10 kali lebih banyak dibanding Rusia.

Putin, sangat membutuhkan dukungan diplomatik China. China pun membutuhkan Rusia dalam menghadapi AS; juga membutuhkan minyak Rusia.

Dalam pidatonya saat bertemu Putin, Xi mengatakan, “dunia sedang mengalami perubahan penting,” menciptakan “redistribusi kekuasaan” dan “permintaan yang meningkat …untuk kepemimpinan” (yang diinginkan Beijing dan Moskwa).

Mereka mencela “upaya hegemoni” Washington. Yang menarik, keduanya sepakat “menentang… campur tangan dalam urusan internal negara-negara berdaulat dengan dalih melindungi demokrasi dan hak asasi manusia” (sementara Rusia masuk Ukraina).

Putin, saat itu, juga menjanjikan akan membangun jaringan pipa minyak dan gas ke China senilai 118 milliar dollar AS (400 ratus milliar dollar sudah diinvestasikan pada tahun 2014, ketika Rusia menghadapi sanksi Eropa setelah menganeksasi Krimea dari Ukraina).

Hasilnya: infrastruktur pipa minyak dan gas terintegrasi Sino-Rusia sedang dibangun dari Laut Utara ke Selatan Laut China.

Kini setelah Rusia menginvasi Ukraina dan dijatuhi sanksi oleh banyak negara Barat, Putin mendapatkan yang diharapkan, yakni dukungan China; Dan, China memperoleh yang diharapkan sekutu dan minyak.

Bersambung...

https://www.kompas.com/global/read/2022/03/17/140537770/membaca-resolusi-mu-pbb-bagian-iv

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke