ADA alasan sangat khas dari negara-negara Afrika dalam menyikapi resolusi MU PBB berjudul “Agresi terhadap Ukraina” yang menuntut agar Rusia segera menghentikan ofensifnya, menarik pasukannya secara penuh dan segera.
Sejumlah negara Afrika, yang merasa selama ini tidak diperhatikan Barat, memilih abstain dan malahan satu negara, yakni Eritrea bergabung dengan Belarusia, Republik Demokratik Korea, Suriah, dan Rusia menentang (against) resolusi.
Baca juga: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian I)
Yang juga menarik adalah sikap negara-negara Afrika. Mayoritas negara-negara Afrika berpihak pada Ukraina: 28 dari 54 negara (51,85 persen).
Hanya Eritrea yang memilih against resolusi (bersama empat negara lainnya: Rusia, Korea Utara, Belarusia, dan Suriah).
Tetapi, hampir sepertiga—17 dari 54 negara—memilih menahan diri untuk tidak memilih, abstain.
Dan, delapan negara absent, atau tidak ada di ruangan sidang saat voting, baik sengaja atau tidak sengaja, yang sering disebut sebagai “toilet factor”, pura-pura ke toilet saat voting.
Secara garis besar, kata Olusoji Ajao (pulse.ng, 3/3), ada empat penyebab mengapa banyak negara Afrika yang abstain.
Pertama, mereka ingin menunjukkan netralitas mereka. Secara historis, Ukraina adalah negara “pecahan” Uni Soviet (1991); secara geografis dan kultural menjadi bagian Eropa Timur.
Tetapi, aspirasinya menjadi “Westernized” dengan menjadi anggota NATO. Ini yang oleh Moskwa dianggap sebagai ancaman.
Baca juga: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian II)
Kata Wakil Tetap Uganda di PBB, Adenua Ayebare,“Sebagai ketua mendatang gerakan Non-Blok, netralitas adalah kunci utama. Uganda akan terus memainkan peran konstruktif untuk memelihara perdamaian dan keamanan baik secara regional maupun global,” (GhanaWeb, 3/3).
Mengapa, misalnya, Afrika Selatan juga memilih abstain? Kata Bheki Mngomezulu, seorang profesor ilmu politik, secara historis Afrika Selatan dipengaruhi oleh ikatan sejarahnya dengan bekas Uni Soviet.
Karena itu, Afrika Selatan memilih abstain. Meskipun, pilihan ini dikritik oleh masyarakat Afrika Selatan.
“Sejumlah orang Afrika Selatan, sebagian mereka kini ada di pemerintahan, pernah dilatih baik di Rusia maupun di Ukraina. Karena itu, mereka memiliki hubungan dengan Ukraina. Dan, mayoritas mereka berpandangan bahwa perjuangan pembebasan didukung semata-mata oleh Rusia dalam hal kedua negara ini. Meskipun, kenyataannya semua negara yang menjadi bagian dari Uni Soviet (waktu itu) berpartisipasi dalam membantu perjuangan pembebasan tidak hanya di Afrika Selatan, tetapi di Afrika secara umum," kata Mngomezulu (Voanews.com, 3/3)
Kedua, reputasi kemampuan kontraktor militer swasta Rusia untuk menahan ekstremisme kekerasan dan memastikan stabilitas rezim di Suriah adalah salah satu alasan mengapa mereka abstain.
Dan, ini yang penting, dalam empat tahun (2015 hingga 2019) Rusia telah menyelesaikan perjanjian bilateral keamanan dengan 19 negara Afrika.
Saat ini, Wegner Group, kontraktor militer swasta Rusia, beroperasi di enam negara Afrika, yaitu: Libya, Sudan, Mozambik, Madagaskar, Republik Afrika Tengah, dan Mali.
Ketiga, dengan memilih abstain, mereka mau menjaga keseimbangan. Sebab, mereka membutuhkan strategi pembangunan Barat untuk pembangunan Afrika yang terbelakang.
Baca juga: Putin, Testing The Water
Meskipun Rusia memiliki intelijen militer, peralatan, dan kemampuan untuk menekan ekstremisme kekerasan di Afrika, tetapi Rusia tidak memiliki apa yang diperlukan untuk mendukung konsolidasi pemerintahan demokratis dan kemakmuran ekonomi di Afrika.