KUALA LUMPUR, KOMPAS.com – Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur dikejutkan dengan putusan Pengadilan Kota Bahru, Kelantan, Malaysia yang membebaskan seorang majikan berinisial DB dari tuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik.
DB merupakan majikan dari pekerja migran Indonesia (PMI) atau tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Desa Bakuin, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia berinisial DN.
Berdasarkan keterangan tertulis dari KBRI Kuala Lumpur yang diterima Kompas.com, Jumat (18/2/2022), DN telah mengalami kerja paksa tanpa mendapatkan bayaran gaji selama 9 tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu.
Selain bekerja di rumah DB, DN juga dipekerjakan di bengkel mobil milik DB.
DN akhirnya melarikan diri dari rumah sang majikan pada akhir Oktober 2020 karena merasa tidak tahan mengalami kerja paksa lebih dari 15 jam sehari tanpa hari libur dan kekerasan fisik.
KBRI Kuala Lumpur menjelaskan, berdasarkan laporan dari DN, majikannya telah ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020 dan diajukan ke Pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.
Sementara, berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan, pada 17 Januari 2022 Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.
“Keputusan ini tentu sangat mengecewakan dan tidak memberi keadilan kepada korban kerja paksa dan kekerasan fisik selama bertahun-tahun,” jelas Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Malaysia, Hermono.
KBRI Kuala Lumpur sendiri telah meminta Jaksa untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Melalui pengacaranya, majikan DN pernah mengusulkan penyelesaian di luar persidangan
dengan membayarkan gaji yang tidak dibayar.
Namun, tawaran tersebut ditolak DN dan KBRI Kuala Lumpur karena jauh di bawah tuntutan gaji yang seharusnya dibayarkan sang majikan.
Sejalan dengan proses pengadilan pidana di tingkat banding, KBRI Kuala Lumpur telah menunjuk pengacara untuk menuntut majikan DN di peradilan perdata.
“Kami tidak hanya menuntut gaji yang tidak dibayar, tetapi juga bunga dan kompensasi. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada majikan,” tegas Hermono.
Baca juga: Pengakuan Salimah yang Pilih Pulang ke Indonesia dan Tinggalkan Rohana Sejak Bayi di Malaysia
KBRI Kuala Lumpur menyatakan, kasus kerja paksa dalam bentuk tidak membayar gaji, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi banyak dialami oleh PMI, tidak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor lain seperti perkebunan dan manufaktur.
Hermono menambahkan bahwa Malaysia sedang menjadi sorotan internasional karena dituduh melakukan praktik kerja paksa.
Beberapa perusahaan Malaysia bahkan dikenai sanksi ekspor ke Amerika Serikat (AS) akibat tuduhan kerja paksa ini.
Sesuai catatan KBRI Kuala Lumpur, selama 2021 KBRI telah berhasil mengembalikan hak gaji PMI sejumlah 2.166.890,63 Ringgit Malaysia atau lebih dari Rp7 miliar milik 206 PMI sektor rumah tangga.
Sementara, pada 2022, ada gaji 16 PMI yang berhasil diselamatkan, yakni mencapai RM 337.270 Ringgit Malaysia atau sekitar Rp1,1 miliar.
Data ini belum termasuk penyelesaian kasus gaji oleh Konsulat Jenderal dan Konsulat Indonesia di Malaysia.
Hermono meyakini sebenarnya masih banyak PMI di Malaysia yang menjadi korban kerja
paksa. Tapi, dia menyadari, masalahnya tidak semua PMI dapat melaporkan ke Kedutaan dengan berbagai alasan, seperti tidak diizinkan berkomunikasi dan ancaman ditangkap aparat karena tidak memiliki visa kerja yang sah.
“Praktik kerja paksa sudah berlangsung bertahun-tahun,” tegas Hermono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.