JAKARTA, KOMPAS.com - Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva menanggapi berbagai sorotan soal penempatan pasukan Rusia dekat perbatasan dengan Ukraina, termasuk kemungkinan pecahnya perang.
“Ini bukan soal invasi Rusia, serangan informasi ini merupakan upaya untuk mengalihkan perhatian internasional dari apa yang sangat penting dan serius. Ini benar-benar hanya situasi perang virtual palsu antara Rusia dan Ukraina,” ujarnya kepada wartawan secara virtual di Jakarta pada Kamis (17/2/2022).
Baca juga: Komandan Pemberontak Pro-Rusia di Ukraina Timur Galang Kekuatan Veteran
Menurutnya, Rusia memiliki hak untuk memindahkan pasukan ke berbagai wilayah dalam teritorinya, jika itu dibutuhkan mendiskusikan rencana itu pada siapapun. Termasuk untuk mengadakan latihan militer dengan Belarus.
Pasukan itu akan kembali ditarik ke pangkalan setelah operasi tersebut selesai dilakukan.
Kembali mengutip pesan Presiden Vladimir Putin sebelumnya, Rusia mengklaim tidak ingin perang dan jika keputusan bergantung pada Rusia maka tak akan pernah ada perang.
Vorobieva, sementara itu, menyorot tanggapan negara-negara NATO yang membawa peralatan militer ribuan kilometer jauh dari perbatasan negara mereka, dan memberikan Ukraina dukungan dengan peralatan militer.
Rusia menuding Barat melakukan serangan informasi pada pihaknya untuk mengalihkan perhatian internasional dari apa yang menurut Rusia sangat serius dan penting, yakni ekspansi NATO.
Baca juga: Komandan Pemberontak Pro-Rusia di Ukraina Timur Galang Kekuatan Veteran
Dubes Rusia untuk Indonesia menyorot lima ronde ekspansi NATO dalam periode 1999 hingga 2020, yang mendorong infrastruktur militer mereka semakin dekat dengan wilayah kedaulatan Rusia.
“Ini bukan Rusia yang melakukan ekspansi. Kami tidak mencoba meletakkan misil kami dekat perbatasan AS, tapi NATO yang datang semakin dekat ke perbatasan Rusia,” tegas Vorobieva.
Dia mengaku pihaknya merasa terancam jika Ukraina bergabung dengan NATO. Sebab dengan begitu, rudal nuklir bisa ditempatkan di perbatasan Ukraina dan bisa mencapai Moskwa hanya dalam dua hingga tiga menit.
“Tentu kami khawatir dengan itu (rudal nuklir). Kami tidak mengirim rudal ke perbatasan Kanada atau Meksiko, situasinya justru sebaliknya,” tambahnya.
Dia menerangkan karena kekhawatiran itulah Kementerian Luar Negeri Rusia mengirimkan dua proposal kesepakatan soal jaminan keamanan ke AS dan negara-negara NATO, pada Desember 2021.
Baca juga: Inggris: Putin Dapat Memperpanjang Konflik Ukraina Berbulan-bulan
Pada Januari 26, AS dan NATO membalas proposal Moskwa soal jaminan keamanan. Namun Presiden Putin menilai Washington dan Brussel mengabaikan kekhawatiran Rusia dalam tanggapannya. Ada beberapa poin penting disorot namun merupakan masalah sampingan bagi Rusia.
Sejumlah langkah negosiasi yang dilakukan, termasuk dengan terlibat dalam berbagai pertemuan antar pemimpin negara, menurut Vorobieva menunjukkan komitmen Rusia dalam menempuh jalur diplomasi.
Lyudmila Vorobieva mengatakan ini bukan pertama kalinya tuduhan tak berdasar disampaikan dari media barat. Dia pun menyinggung soal Irak, yang secara luas pada awal 2000 dituduh memiliki senjata pembunuh massal.
“Tuduhan terhadap Irak yang memiliki senjata pembunuh massal, kita tahu bagaimana itu berakhir,” ujarnya, kemudian menyinggung upaya penyelesaian konflik lainnya yang diusung AS, seperti dalam kasus Yugoslavia yang di bom NATO, Libia, Irak, Afghanistan, Syria, Vietnam.
“Jadi dapat dilihat kami memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan ‘bisnis’ dibanding dengan teman-teman di AS.”
Dubes Rusia mempertanyakan kebenaran gambar-gambar satelit yang beredar. Pasukan Rusia menurutnya berada jauh dari perbatasan Ukraina, tidak seperti yang kebanyakan media barat sampaikan.
Baca juga: Situasi Makin Tegang, Pemberontak Pro-Rusia Vs Tentara Ukraina Saling Tuduh Menembak
Sedang terkait tuduhan serangan Siber kepada Ukraina, dia mengatakan tidak ada bukti serangan siber pada bank ukraine dan kementerian pertahanan ukraina dan bagaimana sumber serangan bisa datang dari Rusia.
Menanggapi perhatian Barat soal isu Krimea, Dubes Rusia menegaskan menegaskan bahwa Krimea tidak akan kembali ke Ukraina.
Rusia menilai apa yang terjadi pada 2014 merupakan keinginan dari masyarakat di wilayah itu, mengutip hasil referendum yang menunjukkan bahwa ada 90 persen lebih warga Krimea yang memilih untuk bergabung dengan Rusia.
”Rusia tidak ingin perang kami mendukung negosiasi dan konsultasi menyoal jaminan keamanan negara kami.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.