Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Zainab binti Ali, Cucu Nabi Muhammad yang Menjadi "Panglima Perang" Perempuan Abad Ke-7

Kompas.com - 25/11/2021, 16:09 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Ketika Zainab binti Ali berusia 7 tahun, ibunya Fatimah meninggal dunia. Peristiwa duka yang mendalam di usia dini tersebut dapat membantu menjelaskan kedekatannya yang istimewa dengan saudara laki-lakinya, Hassan dan Husain.

Baca juga: Perempuan Berdaya: Ambisi Ratu Isabella I di Balik Runtuhnya Kerajaan Muslim di Spanyol

Zainab binti Ali dewasa

Setelah beranjak dewasa, Zainab binti Ali menikah dengan sepupu pertamanya Abdullah bin Ja'far, keponakan Ali bin Abi Thalib, dalam sebuah upacara sederhana.

Meskipun suami perempuan berdaya tersebut adalah orang yang kaya, pasangan itu dikatakan menjalani kehidupan yang sederhana.

Sebagian besar kekayaan mereka disumbangkan untuk amal. Abdullah sesekali disebut "lautan kemurahan hati" atau "awan kemurahan hati", seperti yang dikutip dari Military History.

Mereka memiliki lima anak, empat putra dan satu putri, yaitu Awn, Ali, Muhammad, Abbas, dan Umm-Kulthum.

Pernikahan Zainab tidak mengurangi keterikatan kuatnya dengan keluarganya. Ali bin Abi Thalib tetap merasakan kasih sayang yang besar dari perempuan Muslim ini dan suaminya.

Sehingga, pada 37 H (658 M), ketika Ali menjadi khalifah dan memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah, Zainab dan Abdullah pindah bersamanya.

Seiring bertambahnya usia, perempuan berdaya ini memiliki banyak pengetahun tentang Islam. Ia kemudian menjadi advokat untuk wanita di masa di mana belum pernah ada hal seperti itu.

Beberapa sumber mengatakan bahwa cucu Nabi Muhammad tersebut mengadakan sesi untuk membantu wanita lain mempelajari Al-Quran dan belajar lebih banyak tentang Islam.

Baca juga: Perempuan Berdaya: 7 Wanita Berpengaruh dari Zaman Keemasan Peradaban Islam

Zainab binti Ali dan perang Karbala

Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib pada 661 M, disusul pada 670 M oleh Hasan yang sempat menggantikan posisi ayahnya hanya beberapa bulan pada 661 M.

Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan atau Muawiyah I (661-680 M) yang ambisius karena terdesak situasi yang rumit dan pengkhianatan.

Pada 680 M setelah Muawiyah I meninggal dunia, kekhalifahan pemimpin putranya Yazid bin Muawiyah atau Muawiyah II (683-684 M).

Di bawah pemerintahan Yazid, kebencian terhadap keturunan terakhir Nabi Muhammad berlanjut. Ia mengerahkan pasukan untuk melawan pasukan kecil yang dipimpin Husain bin Ali, adik Hasan, untuk mengamankan posisi pemerintahan.

Yazid bin Muawiyah bertekad memburu dan membunuh keturunan laki-laki Nabi Muhammad, seperti dikutip Daily Times Pakistan (2020).

Husain terpaksa keluar dari Mekkah karena Yazid bin Muawiyah mengirim para pembunuh saat ia haji. Kemudian, ia pergi ke Kufah (kota Irak) atas undangan masyarakat di sana.

Zainab binti Ali menemani Husain, seperti yang dilakukan sebagian besar keluarganya.

Saat rombongan Husain dan Zainab sampai di Karbala, Irak, terjadilah Perang Karbala, yang menewaskan Husain dan 72 kerabatnya.

Perempuan Muslim ini menyaksikan sendiri saudaranya dibunuh secara brutal atas perintah Yazid bin Muawiyah dalam Perang Karbala.

Tubuh Husain diinjak-injak oleh kuda musuh, kepalanya dipenggal, dan bahkan kain yang sudah compang-camping harapan terakhir untuk menjaga kesopanannya direnggut darinya.

Tentara Yazid bin Muawiyah kemudian menerobos masuk ke kamp rombongan keluarga Nabi Muhammad, menjarah apa pun, lalu membakar tenda itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com