Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Zainab binti Ali, Cucu Nabi Muhammad yang Menjadi "Panglima Perang" Perempuan Abad Ke-7

Kompas.com - 25/11/2021, 16:09 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

KOMPAS.com - Zainab binti Ali adalah cucu Nabi Muhammad. Dia anak ketiga dari istri pertama Ali bin Abi Thalib, Fatimah binti Muhammad. Kedua saudaranya adalah Hassan dan Husain bin Ali.

Zainab binti Ali dikenang sebagai perempuan berdaya yang pemberani. Ia merupakan salah satu "panglima perang" perempuan dalam Islam yang terkenal dari abad ke-7.

Zainab binti Ali turun "berperang" dialog dengan musuh ketika keluarganya dalam bahaya karena diburu oleh Khalifah Umayyah Yazid yang bertekad membunuh semua keturunan laki-laki Nabi Muhammad.

Perempuan Muslim tersebut segera menjadi "panglima perang" dan dijuluki sebagai "Singa Wanita dari Karbala" ketika menyaksikan saudaranya dibunuh secara brutal oleh pemimpin zalim.

Julukan "Singa Wanita dari Karbala" dikutip dari artikel yang ditulis Dr Amineh Hoti berjudul "The Lionness of Karbala: ‘Alima’ Zainab’s Stand", yang dipublikasikan di Daily Times Pakistan pada 31 Agustus 2020.

Bagaimana kisah hidup Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad yang menjadi panglima perang wanita Karbala?

Berikut riwayat Zainab binti Ali yang dilansir dari berbagai sumber:

Baca juga: Mariam Al-Ijliya, Perempuan Muslim Pengembang Astrolab Abad Ke-10

Kelahiran Zainab binti Ali

Setelah 5 tahun hijrah dari Mekkah ke Madinah, Fatimah binti Muhammad melahirkan seorang bayi perempuan.

Pada 2 Oktober 626 M (kalender Julian) di Madinah, bayi perempuan itu lahir. Sama seperti Hassan dan Husain bin Ali, bayi ketiga Fatimah dan Ali diberi nama oleh Nabi Muhammad.

Fatimah dan Ali meminta Nabi Muhammad untuk memberi nama anak ketiga mereka. Mengutip Aboutislam.net (2021), Nabi Muhammad menjawab, “Aku tidak akan mendahului Tuhanku dalam hal ini.”

Sesaat kemudian Nabi Muhammad menyebutkan bahwa anak perempuan itu harus diberi nama "Zainab" yang artinya "perhiasan sang ayah".

Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad meramalkan peristiwa dan keadaan seluruh hidup Zainab binti Ali, cucu perempuan yang dikasihinya.

Nabi Muhammad berujar, dalam "ketenangan dan perhatian", dia seperti Umm Ul-Muminin Khadijah, neneknya.

Dalam "kepolosan dan keseganan", dia seperti ibunya, Fatimah Zahra.

Dalam "kefasihan dan ekspresi", dia seperti ayahnya, Ali.

Dalam "kemurahan hati dan keteguhan", dia seperti kakaknya, Hassan.

Dalam "keberanian dan ketenangan hati", dia seperti kakaknya Husain.

Wajahnya mencerminkan kebanggaan ayahnya dan harga diri kakeknya.

Diriwayatkan juga bahwa ketika Zainab binti Ali berusia sekitar 5 tahun, ia mengalami mimpi yang aneh dan mengerikan. Saat bangun, ia segera pergi ke Nabi Muhammad dan menceritakan mimpinya.

Nabi Muhammad dengan sedih berkata, "Pohon dalam mimpimu adalah aku yang akan segera meninggalkan dunia ini. Cabang-cabang pohon itu adalah ayahmu Ali dan ibumu Fatimah. Dan ranting yang kau pegang adalah saudaramu Hassan dan Husain. Mereka semua akan meninggalkanmu di dunia ini, dan kamu akan menderita kehilangan dan merelakan mereka."

Ketika Zainab binti Ali berusia 7 tahun, ibunya Fatimah meninggal dunia. Peristiwa duka yang mendalam di usia dini tersebut dapat membantu menjelaskan kedekatannya yang istimewa dengan saudara laki-lakinya, Hassan dan Husain.

Baca juga: Perempuan Berdaya: Ambisi Ratu Isabella I di Balik Runtuhnya Kerajaan Muslim di Spanyol

Zainab binti Ali dewasa

Setelah beranjak dewasa, Zainab binti Ali menikah dengan sepupu pertamanya Abdullah bin Ja'far, keponakan Ali bin Abi Thalib, dalam sebuah upacara sederhana.

Meskipun suami perempuan berdaya tersebut adalah orang yang kaya, pasangan itu dikatakan menjalani kehidupan yang sederhana.

Sebagian besar kekayaan mereka disumbangkan untuk amal. Abdullah sesekali disebut "lautan kemurahan hati" atau "awan kemurahan hati", seperti yang dikutip dari Military History.

Mereka memiliki lima anak, empat putra dan satu putri, yaitu Awn, Ali, Muhammad, Abbas, dan Umm-Kulthum.

Pernikahan Zainab tidak mengurangi keterikatan kuatnya dengan keluarganya. Ali bin Abi Thalib tetap merasakan kasih sayang yang besar dari perempuan Muslim ini dan suaminya.

Sehingga, pada 37 H (658 M), ketika Ali menjadi khalifah dan memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah, Zainab dan Abdullah pindah bersamanya.

Seiring bertambahnya usia, perempuan berdaya ini memiliki banyak pengetahun tentang Islam. Ia kemudian menjadi advokat untuk wanita di masa di mana belum pernah ada hal seperti itu.

Beberapa sumber mengatakan bahwa cucu Nabi Muhammad tersebut mengadakan sesi untuk membantu wanita lain mempelajari Al-Quran dan belajar lebih banyak tentang Islam.

Baca juga: Perempuan Berdaya: 7 Wanita Berpengaruh dari Zaman Keemasan Peradaban Islam

Zainab binti Ali dan perang Karbala

Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib pada 661 M, disusul pada 670 M oleh Hasan yang sempat menggantikan posisi ayahnya hanya beberapa bulan pada 661 M.

Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan atau Muawiyah I (661-680 M) yang ambisius karena terdesak situasi yang rumit dan pengkhianatan.

Pada 680 M setelah Muawiyah I meninggal dunia, kekhalifahan pemimpin putranya Yazid bin Muawiyah atau Muawiyah II (683-684 M).

Di bawah pemerintahan Yazid, kebencian terhadap keturunan terakhir Nabi Muhammad berlanjut. Ia mengerahkan pasukan untuk melawan pasukan kecil yang dipimpin Husain bin Ali, adik Hasan, untuk mengamankan posisi pemerintahan.

Yazid bin Muawiyah bertekad memburu dan membunuh keturunan laki-laki Nabi Muhammad, seperti dikutip Daily Times Pakistan (2020).

Husain terpaksa keluar dari Mekkah karena Yazid bin Muawiyah mengirim para pembunuh saat ia haji. Kemudian, ia pergi ke Kufah (kota Irak) atas undangan masyarakat di sana.

Zainab binti Ali menemani Husain, seperti yang dilakukan sebagian besar keluarganya.

Saat rombongan Husain dan Zainab sampai di Karbala, Irak, terjadilah Perang Karbala, yang menewaskan Husain dan 72 kerabatnya.

Perempuan Muslim ini menyaksikan sendiri saudaranya dibunuh secara brutal atas perintah Yazid bin Muawiyah dalam Perang Karbala.

Tubuh Husain diinjak-injak oleh kuda musuh, kepalanya dipenggal, dan bahkan kain yang sudah compang-camping harapan terakhir untuk menjaga kesopanannya direnggut darinya.

Tentara Yazid bin Muawiyah kemudian menerobos masuk ke kamp rombongan keluarga Nabi Muhammad, menjarah apa pun, lalu membakar tenda itu.

Para tentara memukuli para wanita dengan pedang, merampas cadar mereka, dan membawa mereka sebagai tawanan.

Cucu Nabi Muhammad dan orang-orang yang selamat dari ekspedisi Husain, kebanyakan dari mereka perempuan dan anak-anak, digiring ke Damaskus, ibu kota pemerintahan Yazid bin Muawiyah, di mana mereka disandera.

Diceritakan bahwa cucu Nabi Muhammad menderita secara mental dan fisik yang parah setelah menyaksikan saudaranya Husain dibunuh secara brutal.

Baca juga: Perempuan Berdaya: 7 Legenda Wanita Bersejarah dalam Islam

"Perang" dialog Zainab binti Ali di hadapan musuh

Zainab bersama tahanan lainnya kemudian dibawa ke hadapan kepala daerah Kufah, Abdullah bin Ziyad

Melansir Aboutislam.net, Ziyad membentak sambil berkata, "Siapa wanita ini?" Ia merasa kesal dengan sikap seorang perempuan yang bermartabat bahkan dalam menghadapi kekalahan.

Budaknya menjawab, “Ini Zainab, putri Fatimah, cucu Rasulullah.”

Lima puluh tahun setelah Nabi Muhammad wafat, sebagian besar orang di kerajaan Islam tidak tahu siapa keluarga Rasulullah.

Dengan cibiran mengejek, Abdullah bin Ziyad berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mempermalukan dan membunuh kalian semua.”

Terkejut dengan hinaan Abdullah bin Ziyad, cucu Nabi Muhammad dengan tegas menjawab, “Sebaliknya, segala puji bagi Allah yang memuliakan kita dengan nabi-Nya dan membersihkan kita sepenuhnya dari kotoran! Hanya orang-orang yang rusak akhlaknya yang dipermalukan oleh Allah dan orang-orang bejat yang dibantah, dan mereka itu bukan kami, wahai Ibnu Ziyad!”

Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad, memperingatkan Abdullah bin Ziyad tentang pertanggungjawabannya di akhirat dengan mengutip Surah Al-Imran, seperti yang dilansir dari Themuslimvibe.com.

"Orang-orang kafir tidak boleh berpikir bahwa jeda kami adalah untuk kebaikan mereka. Kami hanya memberi mereka waktu untuk membiarkan mereka meningkatkan dosa-dosa mereka. Bagi mereka azab yang menghinakan”.

Perempuan berdaya ini dengan fasih terus melontar dialog kritisnya membantah klaim Yazid yang semakin terpojok, hingga akhirnya ia dan kerabat yang ditawan dibebaskan.

Dalam banyak hal Zainab binti Ali adalah sosok perempuan panutan yang melakukan "perang" dialog melawan penindasan dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya.

"Panglima perang" perempuan Muslim ini bahkan dikatakan telah menyebabkan kebangkitan kembali umat Islam.

Kematian Zainab binti Ali

Zainab binti Ali, sang "panglima perang" perempuan abad ke-7 ini meninggal pada 15 Rajaab 62 Hijriah diusia 57 tahun, seperti dikutip Theislamicinformation.com

Menurut beberapa sumber, dia meninggal karena sakit selama perjalanan dengan keluarganya dari Madinah ke Damaskus di Suriah, di lokasi yang dikenal sebagai "Zaynabia".

Beberapa orang mengatakan bahwa makam cucu Nabi Muhammad tersebut dapat ditemukan di dalam Masjid Sayyidah Zainab di Damaskus, Suriah.

Baca juga: Perempuan Berdaya: Noor Inayat Khan, Mata-mata Bangsawan Muslim India yang Dibunuh Nazi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com