Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Universitas di Kabul Nyaris Kosong Setelah Taliban Kuasai Afghanistan

Kompas.com - 07/09/2021, 15:11 WIB
Aditya Jaya Iswara

Penulis

Sumber AFP

KABUL, KOMPAS.com - Universitas di Kabul hampir kosong pada hari pertama tahun ajaran baru Afghanistan, karena para profesor dan pelajar mematuhi aturan Taliban tentang jalannya belajar-mengajar di ruang kelas.

Taliban menjanjikan aturan yang lebih lunak daripada masa kekuasaan pertama mereka pada 1996-2001, ketika kebebasan perempuan di Afghanistan dibatasi ketat dan mereka dilarang mengenyam pendidikan tinggi.

Kali ini, Taliban berjanji perempuan akan diizinkan kuliah di universitas swasta, tetapi cara berpakaian dan pergerakannya diawasi ketat.

Baca juga: Taliban Rebut Lembah Panjshir, Jenderal Top Afghanistan Ikut Tewas

Mahasiswi hanya boleh kuliah jika mengenakan abaya dan niqab, lalu dipisah dari pria, atau setidaknya dibagi dengan tirai jika ada 15 mahasiswa atau kurang, kata Taliban.

“Mahasiswa kami tidak menerima ini dan kami harus menutup universitas,” kata Noor Ali Rahmani, direktur Universitas Gharjistan di Kabul yang kosong, Senin (6/9/2021).

"Siswa kami memakai jilbab, bukan niqab," tambahnya dikutip dari AFP.

Otoritas pendidikan Taliban mengeluarkan dokumen panjang pada Minggu (5/9/2021) yang menguraikan aturan di ruang kelas.

"Kami bilang kami tidak menerimanya karena itu akan sulit dilakukan," kata Rahmani kepada AFP.

"Kami juga bilang itu bukan Islam yang sebenarnya, bukan apa yang dikatakan Al Quran."

Mulai sekarang di perguruan tinggi dan universitas swasta, yang semakin banyak sejak kekuasaan pertama Taliban berakhir, perempuan hanya boleh diajar oleh sesama perempuan, atau "pria tua", dan menggunakan pintu masuk khusus perempuan.

Perempuan juga harus mengakhiri pelajaran lima menit lebih awal dari laki-laki untuk mencegah pembauran.

Sejauh ini, Taliban belum mengatakan apa-apa tentang universitas negeri.

Baca juga: Australia Tolak Beri Visa ke 100-an Mantan Satpam Kedubesnya di Afghanistan

Apa kata mahasiswi?

Foto pada Jumat (13/8/2021) memperlihatkan seorang guru sekolah yang menjadi pengungsi internal dari provinsi Takhar, Afghanistan, mengenakan burka. Wanita yang hanya menyebut nama depannya Nilofar (kiri) itu berbicara kepada Associated Press di dalam tenda di parkir umum Kabul. Banyak perempuan Afghanistan tidak keluar kediaman saat negara itu jatuh lagi ke penguasaan Taliban.AP PHOTO/RAHMAT GUL Foto pada Jumat (13/8/2021) memperlihatkan seorang guru sekolah yang menjadi pengungsi internal dari provinsi Takhar, Afghanistan, mengenakan burka. Wanita yang hanya menyebut nama depannya Nilofar (kiri) itu berbicara kepada Associated Press di dalam tenda di parkir umum Kabul. Banyak perempuan Afghanistan tidak keluar kediaman saat negara itu jatuh lagi ke penguasaan Taliban.
Namun, bagi beberapa mahasiswi, mereka masih bersyukur perempuan tetap bisa kuliah di universitas di bawah rezim baru Taliban.

Zuhra Bahman contohnya, yang menjalani program beasiswa untuk perempuan di Afghanistan, mengatakan di media sosial dia telah berbicara dengan beberapa teman sejawatnya.

"Mereka senang bisa kembali kuliah, meski berhijab," katanya.

"Taliban membuka universitas untuk perempuan adalah kemajuan penting. Ayo tetap berkuliah untuk menyepakati hak dan kebebasan lainnya."

Jalil Tadjlil, juru bicara Universitas Ibnu Sina di ibu kota, berujar bahwa pintu masuk terpisah sudah dibuat untuk laki-laki dan perempuan.

"Kami tidak memiliki wewenang untuk menerima atau menolak keputusan yang telah dijatuhkan," katanya kepada AFP.

Universitas itu di media sosial mengunggah foto mahasiswa dan mahasiswi yang dipisahkan oleh tirai.

Foto yang diunggah di Facebook oleh Departemen Ekonomi dan Manajemen menunjukkan, tirai abu-abu memisahkan enam mahasiswi yang mengenakan jilbab dan sepuluh mahasiswa, kemudian seorang dosen pria menulis di papan tulis.

Baca juga: Taliban Tuding Pemimpin Perlawanan Afghanistan Ahmad Massoud Kabur ke Turki

"Semuanya berubah"

Ilustrasi KuliahDok. Jobplanet Ilustrasi Kuliah
Biasanya, koridor kampus pada hari pertama semester akan dipadati oleh mahasiswa yang mengejar ketinggalan setelah musim panas.

Tetapi pada Senin (6/9/2021), jumlah pelajar yang sangat sedikit di kampus-kampus Kabul, membuat para pendidik bertanya-tanya berapa banyak anak muda dan berbakat yang meninggalkan negara itu.

Rahmani mengatakan, hanya 10-20 persen dari 1.000 mahasiswa yang mendaftar tahun lalu datang ke Universitas Gharjistan pada Senin, meskipun tidak ada jadwal kelas.

Dia memperkirakan tak kurang dari 30 persen siswa meninggalkan Afghanistan setelah Taliban berkuasa lagi pada pertengahan Agustus.

"Kita harus melihat dulu apakah ada mahasiswa yang datang," katanya.

Reza Ramazan, guru ilmu komputer di universitas tersebut mengatakan, mahasiswi sangat berisiko ketika bepergian ke kampus.

"Ini bisa berbahaya di pos pemeriksaan," katanya. "Taliban dapat memeriksa telepon dan komputer mereka."

Lalu bagi mahasiswa ilmu komputer Amir Hussein (28), semuanya berubah total setelah pengambilalihan Taliban.

“Banyak siswa yang tidak tertarik lagi untuk belajar karena tidak tahu akan seperti apa masa depan mereka,” ujarnya.

"Kebanyakan dari mereka ingin meninggalkan Afghanistan."

Baca juga: Biden Ingin AS Berhenti Jadi Polisi Dunia setelah Keluar dari Afghanistan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

Global
Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Global
13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

Global
Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Global
Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Global
Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Internasional
Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Global
Siapa 'Si Lalat' Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Siapa "Si Lalat" Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Internasional
Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Global
2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

Global
AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

Global
Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Global
Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Global
China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

Global
Pemungutan Suara di Paris Bikin Pulau Milik Perancis di Pasifik Mencekam, Mengapa?

Pemungutan Suara di Paris Bikin Pulau Milik Perancis di Pasifik Mencekam, Mengapa?

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com