Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Barat Ingin Hidup Berdampingan dengan Covid-19, China Ingin 0 Kasus Corona

Kompas.com - 14/08/2021, 20:13 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

BEIJING, KOMPAS.com - Berbeda dengan beberapa negara Barat yang menganut strategi "hidup bersama virus", China mengambil kebijakan "nol kasus" Covid-19 dengan aturan yang ketat.

Tapi risikonya, China bisa tertutup untuk dunia luar sampai tahun 2023.

Varian Delta yang menyebar dengan cepat memaksa beberapa negara yang melakukan "lockdown" ketat, seperti Singapura dan Australia, mulai berpikir ulang mengenai strategi tersebut.

Baca juga: Akhiri Lockdown Parsial Jilid 2, Singapura Mulai Transisi Hidup bersama Covid-19

Ketika seorang pakar penyakit menular China menyarankan hal yang sama bulan lalu, muncul tentangan besar baik dari Pemerintah maupun dari netizen di China.

Zhang Wenhong, direktur penyakit menular di sebuah rumah sakit besar di Shanghai, menulis sebuah unggahan di jejaring sosialnya.

"Semakin banyak orang yang merasa pandemi tidak akan berakhir dalam waktu dekat dan juga mungkin tidak akan berakhir dalam jangka panjang," tulisnya.

"Banyak pakar penyakit menular di seluruh dunia percaya sekarang virus corona sudah menetap dan dunia harus belajar hidup berdampingan dengannya."

Unggahan itu muncul di saat China menghadapi penularan varian Delta, yang menyebar dari Nanjing ke 12 kota lainnya dalam beberapa pekan terakhir.

Jumlahnya masih rendah sekitar 100 kasus per hari di negara yang berpenduduk 1,4 miliar tersebut.

Baca juga: Soal Roadmap Hidup Berdampingan dengan Covid-19, Ketua DPD: Vaksinasi Harus Optimal

Namun adanya kasus penularan baru ini membuat Dr Zhang menyarankan agar China mulai membuka diri dari kebijakan ketat yang diberlakukan saat ini, seperti melarang warga China bepergian ke luar negeri, kebijakan yang mirip di Australia.

"Setelah kasus penularan di Nanjing, kita pasti akan belajar lebih banyak lagi," tulisnya.

"Cara China memilih masa depan haruslah memastikan warganya berbagi masa depan dengan dunia lainnya, dan di saat yang sama melindungi warganya dari ketakutan terhadap virus."

Dr Zhang sebelumnya dikenal sebagai pakar yang mendukung kebijakan 'lockdown' ketat selama pandemi.

Tapi kini dengan pandangan barunya soal "hidup bersama virus", yang juga sudah diterima di banyak negara, menimbulkan reaksi negatif dari Pemerintah China.

Baca juga: Jika Covid-19 Tak Bisa Hilang, Begini Gambaran Hidup bersama Virus Corona

Seorang warga dites Covid-19 dengan nucleic acid di Nanjing, provinsi Jiangsu, China, pada 21 Juli 2021.STR/AFP Seorang warga dites Covid-19 dengan nucleic acid di Nanjing, provinsi Jiangsu, China, pada 21 Juli 2021.

China ingin "menang perang" melawan virus

Mantan menteri kesehatan China, yang mungkin sudah mendapat izin dari Pemerintah China, menggunakan tajuk rencana harian resmi pemerintah People's Daily bulan ini untuk menentang pendapat Dr Zhang.

Tanpa menyebut nama dokter Zhang, mantan menteri Gao Qiang menulis "Beberapa pakar di China menilai pendekatan yang dilakukan Inggris, Amerika Serikat dan beberapa negara lain untuk 'hidup berdampingan dengan virus' menjanjikan 'keterbukaan' sementara pendekatan karantina China membatasi."

Dia mengatakan negara-negara Barat "yang mencabut atau melonggarkan" aturan 'lockdown 'menunjukkan dominasi dan pengaruh mereka.

Gao mengatakan keputusan tersebut dibuat tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan warga.

"Ini adalah keputusan salah saat mencegah epidemi yang disebabkan karena buruknya sistem politik di Inggris, Amerika Serikat dan negara lain," tulisnya.

Baca juga: Walau Lockdown Lagi, Singapura Tetap Berencana Hidup bersama Covid-19

"Ini juga hasil dari pendekatan yang mementingkan hak individu."

Gao juga memberikan gambaran adanya perang antara virus dan kemanusiaan, dengan mengatakan China tidak melihat jika vaksinasi akan cukup untuk memenangkan perang.

Dr Zhang bukanlah satu-satunya suara yang menyarankan agar China melonggarkan dan keluar dari pembatasa aturan terkait Covid-19.

Mantan pakar penanggulangan penyakit Feng Zijian mengatakan minggu lalu jika China bisa kembali ke kehidupan normal ketika tingkat vaksinasi dicapai pada titik tertentu.

Komentarnya kemudian menghilang dari internet.

Polisi di provinsi Jiangxi bahkan menahan seorang pria yang memberikan komentar mendukung pelonggaran pembatasan, menurut media lokal.

Sensor terhadap komentar Dr Feng ditambah dengan tajuk Menteri Gao tampaknya menunjukkan sikap yang masih dianut China untuk berusaha menghentikan penyebaran virus dengan segala cara, berbeda dengan apa yang dilakukan negara-negara lain.

Ini menjadi menarik melihat bahwa dalam enam bulan mendatang China akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin.

Pihak berwenang belum mengeluarkan rencana bagaimana pengaturan atlet yang datang dari negara-negara yang memiliki banyak kasus Covid-19.

Baca juga: PM Inggris Minta Warganya Belajar Hidup Bersama Covid-19

Bisakah China yang terisolasi tetap berkembang?

Rujuan Gao mengenai kelemahan sistem politik negara-negara Barat adalah hal yang sudah biasa di China, di mana pimpinan Partai Komunis Xi Jinping digambarkan berhasil menangani penularan Covid.

Ini sekaligus upaya China untuk membuktikan mereka memiliki sistem yang lebih hebat ketimbang dunia Barat.

"Mereka menciptakan gambaran bahwa dengan adanya nol kasus sebagai keberhasilan, jadi beralih dari kebijakan itu akan memerlukan perubahan pandangan publik," kata Ian Chong, pengamat politik dari National University Singapore.

"Dengan dengan adanya varian Delta dan mungkin juga dengan varian berikutnya, menekan kasus hingga nol mungkin lebih susah. Jadi diperlukan indikator kesuksesan bagi partai dan kepemimpinan."

Untuk sementara, paling tidak dari pandangan mantan menteri kesehatan Gao, China masih berusaha memastikan virus tidak akan menyebar luas di sana.

Baca juga: 7 Alasan Singapura Berani Hidup Bersama Covid-19, Tidak Semua Negara Bisa Tiru

"Sejarah keberhasilan manusia untuk berkembang adalah sejarah memerangi virus sampai mati," tulisnya.

"Pilihannya manusia menghilangkan virus atau manusia yang ditelan oleh virus.

"Manusia tidak pernah hidup 'berdampingan' dengan virus dalam waktu yang lama."

Di saat negara yang mengandalkan pariwisata mengalami keterpurukan ekonomi karena penutupan perbatasan, China tidak mengalaminya.

Warga juga tidak menunjukkan rasa ketidakpuasan karena tidak bisa ke luar negeri, karena hanya sekitar 10 persen penduduk China yang memiliki paspor.

Walau susah mengukur pendapat publik di sana, namun terisolasinya China saat ini tidak akan meningkatkan tekanan politik di dalam negeri, seperti yang terjadi di Australia.

Baca juga: Hidup Bersama Covid-19, Warga Singapura Mungkin Bisa ke Luar Negeri Lagi Akhir 2021

Ribuan turis memadati Tembok Besar China selama masa liburan Hari Buruh di Beijing, China, pada 1 Mei 2021.AFP PHOTO/NOEL CELIS Ribuan turis memadati Tembok Besar China selama masa liburan Hari Buruh di Beijing, China, pada 1 Mei 2021.

Apakah China khawatir dengan kekuatan vaksinnya?

Yanzhong Huang, peneliti masalah kesehatan global di lembaga pemikir Council on Foreign Relations di Amerika Serikat mengatakan pendekatan nol kasus virus masih sangat populer di China saat ini.

Namun dia mengatakan alasan mengapa kebijakan itu dianut, adalah mungkin kekhawatiran pemimpin China mengenai vaksin negara mereka.

"Saya kira mereka tidak sepenuhnya percaya dengan tingkat efektivitas vaksin mereka dalam mencegah penularan varian Delta," katanya kepada ABC.

China sudah melakukan 1,7 miliar dosis vaksinasi, dengan menggunakan dua vaksin buatan sendiri Sinopharm dan Sinovac.

Berarti sekitar 60 persen dari jumlah penduduk di China sudah mendapat vaksinasi dua dosis.

Baca juga: Singapura Bersiap Hidup Bersama Covid-19, Epidemiolog: New Normal Bukan Berarti Bebas Sepenuhnya

"Vaksin itu masih efektif, saya kira, untuk mencegah kasus yang parah. Namun untuk sebuah negara yang mengejar nol kasus, adanya kasus berapa saja masih tidak bisa diterima," kata Dr Huang.

Ia mengatakan saat ini China akan tetap mempertahankan kebijakan untuk menekan kasus ke titik terendah.

"Pendekatan ini membuat orang tidak ingin berubah dan itu juga terjadi di Australia juga," katanya.

Walau ini memberikan rasa aman karena adanya penutupan perbatasan, namun menurut Dr Huang ini bisa juga membahayakan.

"Akhirnya ketika sebuah negara menutup diri dari luar dan tidak ada pertukaran secara epidemiologis, maka akan muncul apa yang disebut kesenjangan imunitas," katanya.

"Kecuali kita terus memperbarui vaksin, maka kita akan melihat negara yang menutup diri akan rentan terhadap varian virus yang baru, yang berpotensi lebih membahayakan."

Baca juga: Singapura Persiapkan Rencana Hidup Bersama Covid-19

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Menlu Turkiye Akan Kunjungi Arab Saudi untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Menlu Turkiye Akan Kunjungi Arab Saudi untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Global
Vatikan dan Vietnam Akan Menjalin Hubungan Diplomatik Penuh

Vatikan dan Vietnam Akan Menjalin Hubungan Diplomatik Penuh

Internasional
New York Kembalikan 30 Artefak yang Dijarah ke Indonesia dan Kamboja

New York Kembalikan 30 Artefak yang Dijarah ke Indonesia dan Kamboja

Global
Salah Bayar Makanan Rp 24 Juta, Pria Ini Kesal Restoran Baru Bisa Kembalikan 2 Minggu Lagi

Salah Bayar Makanan Rp 24 Juta, Pria Ini Kesal Restoran Baru Bisa Kembalikan 2 Minggu Lagi

Global
Saat Jangkrik, Tonggeret, dan Cacing Jadi Camilan di Museum Serangga Amerika...

Saat Jangkrik, Tonggeret, dan Cacing Jadi Camilan di Museum Serangga Amerika...

Global
Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza akibat Serangan Israel...

Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza akibat Serangan Israel...

Global
Arab Saudi Imbau Warga Waspadai Penipuan Visa Haji Palsu

Arab Saudi Imbau Warga Waspadai Penipuan Visa Haji Palsu

Global
China Beri Subsidi Rp 22,8 Juta ke Warga yang Mau Tukar Mobil Lama ke Baru

China Beri Subsidi Rp 22,8 Juta ke Warga yang Mau Tukar Mobil Lama ke Baru

Global
Atlet Palestina Bakal Diundang ke Olimpiade Paris 2024

Atlet Palestina Bakal Diundang ke Olimpiade Paris 2024

Global
Rangkuman Hari Ke-793 Serangan Rusia ke Ukraina: Serangan Jalur Kereta Api | Risiko Bencana Radiasi Nuklir

Rangkuman Hari Ke-793 Serangan Rusia ke Ukraina: Serangan Jalur Kereta Api | Risiko Bencana Radiasi Nuklir

Global
Hamas Pelajari Proposal Gencatan Senjata Baru dari Israel

Hamas Pelajari Proposal Gencatan Senjata Baru dari Israel

Global
Rektor Universitas Columbia Dikecam atas Tindakan Keras Polisi pada Pedemo

Rektor Universitas Columbia Dikecam atas Tindakan Keras Polisi pada Pedemo

Global
China Jadi Tuan Rumah Perundingan Persatuan Palestina bagi Hamas-Fatah

China Jadi Tuan Rumah Perundingan Persatuan Palestina bagi Hamas-Fatah

Global
Mahasiswa Paris Akhiri Demo Perang Gaza Usai Bentrokan di Jalanan

Mahasiswa Paris Akhiri Demo Perang Gaza Usai Bentrokan di Jalanan

Global
Perempuan Ini Bawa 2 Kg Kokain di Rambut Palsunya

Perempuan Ini Bawa 2 Kg Kokain di Rambut Palsunya

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com