Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Profil Johannes dan Hermann Kueng, 2 Bersaudara Penjajah Indonesia dari Swiss

Kompas.com - 10/08/2021, 17:48 WIB
Krisna Diantha Akassa,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

ZURICH, KOMPAS.com - Jika ada nama yang begitu terkenal di desa Heiden, Swiss, maka nama marga Kueng adalah salah satunya. Selain mashyur sebagai keluarga dokter, nama Kueng juga dikenal sebagai petualang besar di zamannya.

Di abad 19, dua bersaudara, Hermann dan Johannes Kueng, berpetualang ke Medan, Sumatera Utara. Malaria, kolera, bahkan nyawa menjadi taruhan dua bersaudara ini demi menjalankan bisnis perkebunan tembakaunya.

"Hermann nasibnya tragis, ditikam kulinya sendiri. Sementara Johannes, setelah berhasil menjalankan bisnis tembakaunya, bisa pulang dan meninggal di Heiden, desa kelahirannya,“ tutur Andreas Zangger, sejarawan Swiss, yang merekontruksi empat tokoh penjajah Indonesia dari Heiden, Swiss Timur.

Baca juga: Pakar Sejarah Sebut Swiss Terlibat Penjajahan di Indonesia

Meskipun lebih muda enam tahun, Hermann lebih dulu ke Indonesia. Setelah lulus magang di perusahaan tekstil Friederich Imhoof di Winterthur, Hermann bekerja sebagai tenaga ekspor impor di Reme Bros, Singapura selama enam tahun.

Zaman itu, selain keberanian, meninggalkan Swiss dan pindah ke Singapura hanya bisa dilakukan keluarga mapan dan memiliki koneksi cukup.

Ayahnya, yang juga bernama Johannes Kueng adalah dokter terpandang di Heiden. Ibunya, Charlotte Wilhelmine Kruesi, juga berasal dari keluarga guru.

Di Singapura, Hermann jatuh cinta kepada Mary Ganno. Wanita ini berayah Amerika dan beribu campuran Eropa. Zaman itu, sosok seperti Mary Ganno bisa menjadi penghambat karier seseorang. Hermann tidak luput dari diskriminasi itu.

Sadar tidak akan bisa berkarir lagi di Reme Bros, Herman mencoba peruntungan dengan merintis perkebunan tembakau di Sumatera.

Pada 1870, Hermann Kueng mendarat di Deli, Sumatera, merintis perkebunan tembakaunya. Namun setahun berselang, Hermann Kueng terbunuh di rumah barunya, bersama asistennya, Theo Meyer.

Baca juga: Heiden, Desa Swiss yang Menjadi Kelahiran Penjajah Indonesia

Kapak disebut-sebut sebagai senjata yang menewaskan Hermann dan Theo. Kuli dari China menjadi tertuduh dalam peristiwa tragis itu.

Mary Ganno tidak sempat mengunjungi Hermann di Sumatera. Ia bersama anaknya memutuskan tetap menetap di Singapura.

Di Heiden, Swiss, Johannes Kueng bertekad meneruskan usaha perkebunan adiknya. Johannes yang menamatkan sekolah pertukangan kayu, dan sempat menjadi asisten dokter di tempat praktik ayahnya, menganggap lebih cocok untuk mengurus perkebunan tembakau kakaknya.

Keahlian tukang kayu cocok untuk membangun pabrik, pengalaman sebagai asisten dokter berguna untuk mengobati buruh yang sakit.

Johannes berhasil mengelola perkebunan tembakau itu. Saentis Estate, nama perusahaan tembakau yang dikelolanya, maju pesat, meskipun pada akhirnya dijual juga. Johannes tercatat dua kali kembali ke Heiden.

Baca juga: Jenderal Hitoshi Imamura: Pemimpin Penjajahan Jepang di Indonesia

Pertama, di tahun 1881, Johannes Kueng kembali ke Swiss, membawa anak istrinya. Dia sendiri kembali ke Medan, sementara anak istrinya menetap di Heiden.Tahun 1896, Johannes Kueng, setelah menjual Saentis Estate, kembali selamanya ke Heiden.

"Ada 80 peti yang dibawah ayah dari Sumatera,“ tulis Frieda Kueng, salah satu anak Johannes Kueng. Selain berbagai pesenjataan, juga ada ular sanca hidup.

Sayang, ular ini mati setelah setahun di Heiden. Cuaca Swiss disebut sebagai faktor kematian ular itu. Ular ini kini dikeringkan dalam kotak kaca di museum Heiden.

Johannes Kueng tercatat menghabiskan masa tuanya dengan berkebun. Sebuah vila bernama Paradies menjadi saksi kejayaan yang dibawahnya dari bumi Indonesia.

Baca juga: 9 Juli dalam Sejarah: Argentina Resmi Merdeka dari Penjajahan Spanyol

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com