Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika Covid-19 Tak Bisa Hilang, Begini Gambaran Hidup bersama Virus Corona

Kompas.com - 26/07/2021, 07:00 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

KOMPAS.com - Apakah pandemi ini akan berakhir? Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 180 juta orang dan menyebabkan empat juta kematian secara global setelah diumumkan sebagai pandemi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Ada harapan besar vaksinasi bisa mengubah dunia menjadi normal seperti sedia kala, melonggarkan segala pembatasan yang telah membentuk kehidupan kita selama 16 bulan belakangan.

Para ilmuwan, di sisi lain, semakin yakin bahwa virus corona tidak akan hilang dalam waktu dekat.

Baca juga: Singapura Persiapkan Rencana Hidup Bersama Covid-19

Pada Januari, sebuah jurnal ilmiah yang dipublikasikan oleh Nature bertanya kepada 100 orang imunolog, virolog, dan pakar kesehatan dari seluruh dunia apakah Sars-Cov-2 bisa dimusnahkan.

Nyaris 90 persen dari responden menjawab 'tidak'. Ada bukti, kata mereka, bahwa virus corona akan menjadi endemi dan akan terus bersirkulasi di sejumlah tempat di dunia.

Ini bukan hal tak biasa menyangkut perjuangan manusia melawan penyakit, namun virus corona terbukti telah membuat tantangan tersendiri bagi kita.

Jadi, bagaimana para ilmuwan memprediksi kehidupan manusia dengan Covid di tahun-tahun mendatang?

Mengapa kita tak bisa segera menyingkirkan Covid-19?

Cacar adalah penyakit yang sudah resmi dihapuskan oleh WHO.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Cacar adalah penyakit yang sudah resmi dihapuskan oleh WHO.
Menghapuskan penyakit menular bukan sesuatu yang biasa dilakukan setiap hari. Sama sekali tidak. Faktanya, hingga hari ini WHO mengumumkan hanya dua penyakit yang disebarkan virus telah dihapuskan secara resmi, cacar dan sampar sapi.

Dan hanya cacar - penyakit kuno yang telah menyebar sebagai epidemi sepanjang sejarah manusia dan menyebabkan nyaris 500 juta kematian di abad ke-20 hingga penghapusannya pada 1980-an - yang mirip dengan Covid-19 dalam hal penyebaran geografis.

Sejumlah keadaan unik membantu penghapusan cacar, sebagian besarnya melalui perkembangan vaksin yang memotong penyebaran virus cacar.

Sayangnya, vaksin-vaksin Covid-19 yang telah dikembangkan sejauh ini belum bisa memberikan efek sama.

"Vaksin-vaksin yang kita miliki saat ini, dalam beberapa keadaan, tidak mencegah penularan. Mereka hanya mengubah infeksi dan membuat penyakitnya lebih tak berbahaya. Orang-orang yang sudah divaksin masih dapat menularkan virus ini ke orang lain," kata David Heyman, Profesor Epidemiologi dan Penyakit Menular di London School of Health and Tropical Medicine.

Paul Hunter, Professor of Medicine di University of East Anglia, Inggris, menganalisis lebih lanjut. Dia meyakini vaksin-vaksin yang ada sekarang tidak akan mencegah kita terinfeksi Covid-19 di masa depan.

"Covid tidak akan pernah hilang," dia mengantisipasi.

"Tidak dapat dihindari, kita akan tertular Covid beberapa kali dalam hidup, terlepas dari apakah kita sudah divaksin atau belum."

Baca juga: 7 Alasan Singapura Berani Hidup Bersama Covid-19, Tidak Semua Negara Bisa Tiru


Jadi, apa yang akan terjadi pada virus corona?

Profesor Heymann adalah satu dari banyak ahli yang meyakini Covid-19 akan menjadi penyakit endemik, artinya virus akan terus menyebar di sejumlah tempat dan populasi dunia untuk bertahun-tahun ke depan.

Ini bukan hal baru. Virus flu dan empat jenis virus corona lain yang menyebabkan flu biasa, misalnya, juga endemik. WHO memperkirakan sekitar 290.000 hingga 650.000 orang di seluruh dunia meninggal dunia karena penyakit yang terkait dengan flu setiap tahun.

Tetapi penyakit-penyakit ini sudah bisa ditangani, dengan korban kematian yang bisa dikalkulasi.

Para ilmuwan menduga - dan para politisi berharap - Covid-19 akan serupa.

Dalam skenario ini, virus Covid-19 akan terus ada tapi orang-orang telah mengembangkan semacam imunitas melalui vaksinasi dan infeksi alamiah.

Dengan begitu, kasus-kasus berat karena Covid-19 akan menjadi lebih sedikit, dan tingkat pelayanan rumah sakit juga tingkat kematian tidak akan setinggi sekarang.

Permasalahannya, hingga saat ini kita masih belum tahu apakah Covid-19 akan seperti itu. Professor Heymann menyebut Covid-19 sebagai "virus yang sangat tidak stabil".

"Saat virus ini berduplikasi di dalam sel-sel manusia, virus bermutasi dari waktu ke waktu. Dan beberapa mutasi yang dihasilkannya menyebabkan kekhawatiran."

Tapi Heymann juga berkata kekhawatiran akan Covid-19 bisa berkurang seiring waktu dengan cara-cara lain.

"Virus juga bisa berkurang virulensi (keparahannya), baik karena mutasi atau karena sebagian besar populasi telah divaksin."

Baca juga: Dulu Terparah Kini Bebas Masker, Lihat Cara Italia Tangani Covid-19

Apakah ini berarti kita harus divaksin berulang kali, sama seperti vaksin flu?

Masih belum jelas berapa lama imunitas berkat vaksin Covid-19 bertahan.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Masih belum jelas berapa lama imunitas berkat vaksin Covid-19 bertahan.
Virus punya "misi" tersendiri: menyebarkan diri ke sebanyak mungkin orang. Oleh karena itulah, mutasi virus adalah hal yang biasa.

"Dari sudut pandang evolusi, virus ini butuh bermutasi supaya dia bisa menyebar ke lebih banyak orang. Virus yang berhasil adalah virus yang menyebar dengan mudah," Trudy Lang, Profesor Kesehatan Global di Oxford University, menjelaskan.

Mutasi virus-virus flu sangat umum terjadi, sampai-sampai komposisi dari vaksin flu ditinjau ulang oleh jejaring badan kesehatan setiap tahun. Ada pula berbagai penyakit lain, seperti tetanus, yang membutuhkan dosis booster sepanjang hidup kita.

Sejauh ini, virus corona telah berkembang menjadi setidaknya empat varian besar - termasuk yang paling mudah menular, varian Delta.

Varian ini pertama kali teridentifikasi di India dan saat ini menjadi alasan lonjakan kasus di Eropa, Asia, dan Amerika.

Statistik menunjukkan, vaksinasi manjur melawan Delta.

Sebagai contoh, data terakhir dari Layanan Kesehatan Inggris menunjukkan bahwa 82 persen dari seluruh pasien yang terinfeksi varian ini di antara Februari sampai Juni dan membutuhkan perawatan di rumah sakit belum divaksin atau baru divaksin satu dosis.

Oleh karena itu, Layanan Kesehatan Inggris (NHS) telah merencanakan dosis ketiga atau booster vaksin sebelum musim dingin, yang akan diberikan kepada lebih dari 30 juta orang.

Di Amerika Serikat, Institut Kesehatan Nasional telah memulai uji klinis dengan orang-orang yang sudah divaksin penuh untuk mempelajari apakah suntikan booster akan menambah antibodi dan memperpanjang proteksi.

Kenyataannya, para ilmuwan masih belum tahu berapa lama imunitas dari vaksin Covid-19 yang ada sekarang bisa bertahan. Ini disebabkan, seluruh vaksin masih baru dan para peneliti masih menganalisis respons imun tubuh pada tipe-tipe vaksin berbeda.

"Belum ada yang tahu apakah kita butuh vaksin secara terus-menerus," ujar Profesor Heymann. "Covid-19 adalah virus yang berbeda dengan flu, dan merupakan kesalahan membuat orang berpikir sebaliknya pada saat ini."

Baca juga: Menengok Cara India Redakan Tsunami Covid-19, Bisakah Indonesia Tiru?

Apakah lockdown akan menjadi hal yang biasa?

Banyak negara terpaksa menetapkan karantina wilayah secara lokal atau nasional selama pandemi.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Banyak negara terpaksa menetapkan karantina wilayah secara lokal atau nasional selama pandemi.
Beberapa negara dan wilayah telah mencoba mengetatkan aturan perjalanan saat tingkat infeksi dan layanan rumah sakit naik.

Meskipun langkah ini terbukti membantu melambatkan penyebaran virus dan meringankan beban sistem kesehatan, lockdown membawa konsekuensi ekonomi, termasuk meningkatnya jumlah pengangguran.

Apakah karantina wilayah masih akan menjadi bagian dari skenario endemik? Ini tergantung pada kesuksesan program vaksinasi dalam mengurangi tingkat keterisian rumah sakit di setiap negara, kata para ahli.

Dalam beberapa bulan terakhir kita telah melihat karantina wilayah, baik secara lokal maupun nasional, di seluruh dunia: Australia, misalnya, me-lockdown tujuh kota, sementara Bangladesh memilih untuk membatasi pergerakan di seluruh negara.

"Sejauh yang memungkinkan, karantina wilayah akan menjadi bagian dari langkah penting bagi pemerintah sebuah negara dalam menghadapi penyebaran kasus," ujar Nicholas Thomas, profesor di bidang keamanan kesehatan di City University Hong Kong, kepada Bloomberg.

Apakah kita harus terus memakai masker?

Kewajiban memakai masker menjadi kontroversial di beberapa negara Barat.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Kewajiban memakai masker menjadi kontroversial di beberapa negara Barat.
Beberapa aturan dalam menghadapi pandemi memicu kontroversi, seperti kewajiban memakai masker.

Di Amerika Serikat, aturan ini bahkan menjadi perdebatan politik dalam Pemilu Presiden 2020.

Tapi kebijakan ini sangat disarankan oleh para ilmuwan, sebagai salah satu cara menahan penyebaran Covid-19, bahkan di area dengan tingkat vaksinasi tinggi.

"Jelas kita tidak bisa langsung memberlakukan karantina wilayah setiap kali ada lonjakan kasus," kata ahli perilaku publik Christina Gravert dari University of Copenhagen.

"Tapi sangat masuk akal untuk terus menghimbau orang-orang yang sakit untuk menjauh dari transportasi publik dan bekerja dari rumah, atau setidaknya memakai masker saat berada di sekitar orang lain."

Baca juga: Penyakit Langka Cacar Monyet Muncul Lagi Setelah 18 Tahun, Ini Gejalanya

Masker telah umum dipakai di beberapa negara Asia, tapi tidak di bagian dunia yang lain.

Survei tentang kemungkinan negara-negara Barat mewajibkan penggunaan masker cukup meragukan.

Amerika Serikat, contohnya, mengangkat kewajiban pemakaian masker pada April, dan tingkat pemakaiannya pada orang-orang yang sudah divaksin secara penuh menurun dari 74 persen ke 63 persen, menurut Indeks Coronavirus Axios-Ipsos.

Survei yang sama menemukan tingkat pemakaian masker juga menurun di antara orang-orang yang belum divaksin.

Beberapa pihak mendukung agar pemerintah mengimbau pemakaian masker di dalam ruangan sebagai bagian dari kampanye kesehatan publik, tapi beberapa pihak lain mengatakan ini sepenuhnya terserah kepada masing-masing individu.

Beberapa orang juga mengatakan pemakaian masker adalah tanda kesopanan umum, terutama di transportasi publik atau tempat-tempat ramai.

Bagaimana dengan perjalanan internasional?

Apakah 'paspor vaksin' seperti yang digunakan di Uni Eropa ini akan menjadi bagian dari perjalanan internasional?GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Apakah 'paspor vaksin' seperti yang digunakan di Uni Eropa ini akan menjadi bagian dari perjalanan internasional?
Saat ini, banyak pemerintahan terjebak dalam dilema antara kejatuhan ekonomi bila perbatasan negara ditutup untuk perjalanan non-esensial dan kebutuhan untuk melindungi populasi dari virus.

Negara berbeda punya aturan berbeda, dan pakar seperti Profesor Heymann mengkritik apa yang ia sebut sebagai koordinasi payah secara global.

"Dengan distribusi vaksin yang tak merata, WHO tidak akan merekomendasikan 'paspor vaksin', namun saya melihat beberapa negara akan menggunakannya," ujarnya.

"Tentu tidak etis mewajibkan sertifikat vaksinasi bila orang-orang tidak bisa melakukan perjalanan, apalagi jika mereka tidak bisa divaksin karena alasan tertentu."

Walau begitu, Uni Eropa telah mulai menerapkan Sertifikat Covid Digital, yang memperbolehkan warga negara dan penduduk melakukan perjalanan antarnegara tanpa pembatasan jika mereka sudah divaksin, memiliki hasil tes negatif, atau baru sembuh dari penyakit ini.

Paspor vaksin diakui oleh ke-27 anggota UE, juga Islandia, Norwegia, dan Swiss.

Namun bagaimana negara-negara lain di dunia menghadapi pergerakan manusia melalui perbatasan mereka, masih belum diketahui.

Perjalanan internasional telah menurun drastis sejak Maret 2020 dan UNCTAD, Badan PBB untuk Perdagangan dan Perkembangan, memperkirakan pandemi mengakibatkan kerugian sebesar US$1,4 triliun di sektor pariwisata selama 2021.

Negara-negara dengan pendapatan rendah mengalami kerugian terbanyak.

Baca juga: Yakin Virus Corona Tak Bisa Lenyap, Singapura Berencana Tangani Covid-19 seperti Endemik

Apakah kita akan memiliki "demokrasi vaksin"?

Vaksinasi di negara-negara miskin bukan hanya masalah kemanusiaan, tapi juga upaya untuk menghambat berkembangnya varian baru.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Vaksinasi di negara-negara miskin bukan hanya masalah kemanusiaan, tapi juga upaya untuk menghambat berkembangnya varian baru.
Hingga 5 Juli 2021, lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia telah divaksin penuh - angka ini masih di bawah 15 persen dari total populasi global.

"Dunia telah gagal. Sebagai komunitas global, kita telah gagal," begitu Direktur Jenderal PBB Tedros Adhanom Ghebreyesus berkata dalam sebuah pernyataan pers.

Selain isu kemanusiaan, "demokrasi vaksin" penting untuk mengontrol varian-varian Covid-19.

Dalam sebuah surat terbuka baru-baru ini, pimpinan WHO, Badan Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperingatkan ketiadaan vaksin di negara-negara miskin menciptakan kondisi yang mendorong munculnya varian-varian baru.

"Yang sedang terus terjadi, tahap kedua pandemi sedang berlangsung. Distribusi vaksin yang tidak adil tidak hanya membuat jutaan orang rentan terhadap virus, tapi juga membuat varian berbahaya bermunculan dan mengancam seluruh dunia," tulis mereka.

"Bahkan negara-negara dengan program vaksinasi yang bagus dipaksa untuk membuat pembatasan yang lebih ketat. Ini tidak harus terjadi."

Dalam pertemuan G7 baru-baru ini, para pemimpin dunia dari tujuh negara dengan ekonomi terkuat (Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS) berjanji menyumbangkan satu miliar dosis vaksin ke negara-negara miskin.

Ini masih jauh di bawah perkiraan kebutuhan vaksin di negara miskin menurut perkiraan WHO, yakni 11 miliar dosis. Dan vaksin yang mencapai semua lapisan masyarakat adalah kunci bagi imunitas, selama virus ini masih terus ada di masa mendatang.

"Ada tanggung jawab kesehatan publik dan kemanusiaan untuk memastikan kita mendapatkan distribusi vaksin yang setara di seluruh dunia," kata Profesor Heymann.

Baca juga: Vaksinasi Lambat, Gelombang Ketiga Covid-19 Menyebar Brutal di Afrika

Apakah binatang masih menimbulkan risiko?

Cerpelai ditemukan dapat menularkan Covid-19 ke manusia, menurut sebuah studi di Denmark.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Cerpelai ditemukan dapat menularkan Covid-19 ke manusia, menurut sebuah studi di Denmark.
Perang melawan Sars-Cov-2 juga sangat bergantung pada bagaimana perilaku virus ini terhadap binatang. Hingga saat ini, para ilmuwan masih meyakini bahwa virus corona berasal dari kelelawar dan kemungkinan melompat ke manusia melalui binatang perantara.

Berbagai studi memperlihatkan virus ini bisa menginfeksi kucing, kelinci, hamster dan terutama sangat mudah menular di kalangan cerpelai - ilmuwan di Denmark menemukan bukti transmisi dari cerpelai ke manusia.

Para ahli berkata, selama masih ada binatang di alam yang bisa tertular virus ini, maka selalu ada risiko virus ini bisa menulari manusia.

"Penyakit ini ada di luar sana. Jika tersedia kesempatan, mereka bisa saja melompat (ke manusia)," kata Dawn Zimmerman, dokter hewan liar di Program Kesehatan Global Institut Konservasi Biologi Smithsonian kepada BBC.

Baca juga: Ilmuwan Buru Wanita China Berjuluk Pasien Su, Diduga Pasien Nol Covid-19

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com