Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tan Malaka dan Sepak Terjangnya di Dunia meski Diasingkan Negaranya

Kompas.com - 03/06/2021, 08:30 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Sosok Tan Malaka membingkai sejarah kaum kiri di Indonesia. Dia aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa-masa awal pergerakan, dan untuk beberapa waktu menjabat sebagai wakil Komintern (Organisasi Komunis) di Asia Tenggara.

Setelah keluar dari PKI, Tan Malaka muncul kembali untuk memimpin sayap militan revolusi Indonesia hingga pembunuhannya pada 1949.

Baca juga: Tan Malaka: Masa Muda, Perjuangan, Peran, dan Akhir Hidupnya

Namun, banyak aspek karirnya masih samar. Helen Jarvis dalam tulisan berjudul “Tan Malaka: Revolusioner atau Pengkhianat,” berusaha menggambarkan perjalanan panjang revolusioner, putra Minangkabau ini " dari penjara ke penjara.''

Setelah menjadi pemimpin PKI pada 1921, dan semakin aktif menentang pemerintah kolonial ketika itu, Pemerintah Hindia Belanda mulai memburunya.

Pada 13 Februari 1922, dia ditangkap di Bandung dan kemudian diasingkan ke Belanda pada 24 Maret tahun itu.

Meski diasingkan jauh dari tanah air, perjuangannya tidak berhenti. Kompas.com secara khusus merangkum beberapa sepak terjangnya pria kelahiran 2 Juni 1897 itu, di kancah mancanegara berikut ini.

Baca juga: Timnas China Belajar Sejarah Partai Komunis Jelang Kualifikasi Piala Dunia

1. Kandidat Muda Parlemen (Belanda)

Begitu tiba di Belanda, Tan Malaka langsung terjun ke medan politik. Partai Komunis Belanda (CPH) memutuskan untuk mencalonkan Tan Malaka sebagai kandidat ketiga mereka dalam pemilihan parlemen pada 1922.

Itu adalah langkah yang berani: belum pernah ada orang Indonesia yang dicalonkan. Tan Malaka sebenarnya juga masih terlalu muda untuk duduk di parlemen.

Adapun amandemen konstitusi, yang membuat semua penduduk Hindia Belanda memenuhi syarat untuk pemilihan parlemen dan untuk memilih ketika tinggal di Belanda, saat itu belum lama diberlakukan.

Namun, keputusan itu secara politis cerdik, karena ada peningkatan keresahan di Belanda atas penindasan di Indonesia. Kebijakan Etis Liberal saat itu sudah mulai tererosi.

Tak menyangka akan terpilih, Tan Malaka justru meninggalkan Belanda, bahkan sebelum hasil jajak pendapat diumumkan.

Dia melakukan perjalanan ke Berlin, di mana dia menghabiskan beberapa bulan di perusahaan milik sesama pemikir kiri Indonesia, Darsono, yang bekerja di Biro Komintern Eropa Barat di kota itu.

Baca juga: Akun Resmi Partai Komunis China Bandingkan Peluncuran Roket dengan Kremasi Massal India

2. Pandangan kiri ala Tan Malaka (Rusia)

Pada Oktober 1922 Tan Malaka telah tiba di Moskwa, di mana ia akan menghabiskan tahun berikutnya berpartisipasi dalam kegiatan Komintern.

Dia mengambil bagian dalam perencanaan Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI) untuk Kongres Keempat, dalam sesi pleno Kongres pada November.

Dalam Komisi untuk Masalah Timur di kongres itu, Tan Malaka memainkan peran penting dan mulai menyatakan untuk pertama kalinya ide-ide khasnya sendiri.

Yaitu tentang hubungan antara partai-partai komunis dan ekspresi nasionalisme, seperti gerakan pan-Islam dan gerakan boikot terhadap kekuatan imperialis yang berkembang di India.

Tan Malaka dengan jelas memilih sisi Leninis, mendesak kolaborasi antara gerakan nasionalis anti-kolonial dan organisasi komunis lokal.

Tampaknya dukungan Tan Malaka terhadap gerakan-gerakan seperti progresif dan bahkan revolusioner, memiliki pengaruh dalam melunakkan garis Komintern sebelumnya. Pandangannya mengalahkan posisi anti-nasionalis yang diajukan oleh Manabendra Nath Roy.

Namun, Tan Malaka melampaui Lenin dalam menekankan peran Islam, termasuk Pan-Islam, dalam perjuangan anti-imperialis.

Da diminta untuk tetap tinggal di Moskwa untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Internasional, dan untuk menghasilkan sebuah buku tentang Indonesia untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.

Mulai Januari 1923 Tan Malaka terdaftar bersama Semaun, sebagai koresponden Indonesia untuk jurnal Profintern Die Rote Gewerkschafts-lnternationale. Dia berkontribusi pada jurnal di jurnal Indonesia

Baca juga: Berakhirnya Era Castro Setelah 6 Dekade, Partai Komunis Kuba Tunjuk Pemimpin Baru

3. Ketua Komintern Asia Tenggara (China)

Pada pleno ECC1 Juni 1923, Tan Malaka tampaknya ditunjuk sebagai agen Komintern untuk Asia Tenggara. Namun tidak ada bukti dokumenter yang ditemukan tentang sejauh mana dan rincian penunjukan ini.

Dia pergi ke markas di Canton China pada Desember 1923. Sedikit informasi tentang kegiatannya dalam enam bulan pertama di “Negeri Tirai Bambu.

Salah satu informasi dari Otobiografinya mengatakan dia bertemu Sun Yat-sen tak lama setelah kedatangannya.

Dari sumber lain, Tan Malaka diketahui mencurahkan banyak waktu untuk menemukan apa yang terjadi di PKI, sejak ia meninggalkan Indonesia.

Perubahan yang cukup besar sebenarnya telah terjadi. Setelah Mantan Presiden Partai Semaun, kembali pada Mei 1922, PKI mundur dari kebijakan aksi langsung yang dianjurkan Tan Malaka sebagai ketua.

Tindakan keras pemerintah kolonial terhadap partai dan gerakan serikat pekerja setelah bentrokan memakan korban. Pada akhir 1922 bentrokan mulai pecah lagi karena kondisi ekonomi yang memburuk.

Radikalisme yang tampak semakin nyata menyebabkan perpecahan definitif antara PKI dan Sarekat Islam pada awal 1923.

Meskipun gelombang pemogokan mengingatkan hari-hari aktivis Tan Malaka sendiri, dari jauh dia mengamati kondisi itu dengan keprihatinan.

Pasalnya dia percaya bentrokan tanpa pandang bulu tidak akan mempromosikan tujuan komunis, tetapi hanya akan memberi pihak berwenang kesempatan untuk menindak.

Baca juga: Warga Hong Kong Harus Jadi Patriot sebagai Bukti Loyalitas ke Partai Komunis China

Prihatin dengan penyimpangan PKI dari apa yang dianggapnya sebagai haluan komunis, Tan Malaka menulis kritik tegas.

Dia menekankan perlunya PKI untuk membangun dan mengandalkan basis proletar. Dia juga tertekan oleh ditinggalkannya aliansi dengan kelompok Islam, yang diwakili oleh perpecahan dengan Sarekat Islam.

Hal itu dalam pandangannya melemahkan solidaritas nasional yang akan diperlukan untuk menghapus pemerintahan kolonial Belanda.

4. Pesan dari Filipina

Pada 20 Juli 1925, Tan Malaka menyamar sebagai mahasiswa Filipina yang kembali dari Amerika Serikat. Melalui kontak dalam gerakan nasionalis lokal, ia berhasil mendapatkan penghasilan sebagai koresponden untuk surat kabar nasionalis El Debate.

Di sini dia terus menulis. Karyanya Naar de 'Republiek Indonesia' edisi kedua, terbit Desember 1925. Editor, Francisco Varona, El Debate diyakini membantunya menyunting tulisan tersebut. Penerbitan karya lain “Semangat Moeda” dilakukan pada 1926.

Ada beberapa bukti bahwa Tan Malaka memang menjalin kontak dengan setidaknya calon Presiden Filipina Crisanto Evangelista dari PCP, yang kemungkinan melalui Francisco Varona.

Saat itu di Indonesia, sekitar Natal 1925, para pemimpin PKI mengadakan pertemuan klandestin di kota Prambanan, Jawa Tengah. Mereka memutuskan untuk melancarkan pemberontakan dalam waktu enam bulan, karena pembatasan ketat pada aktivitas partai.

Meskipun tanggal pemberontakan ditunda, keputusan itu disahkan oleh pimpinan partai yang diasingkan di Singapura tanpa berkonsultasi dengan Tan Malaka, yang sedang sakit di Manila.

Baca juga: Resmi, Pemerintah Nepal dan Pemberontak Komunis Akhirnya Berdamai

Tan Malaka, bagaimanapun, merasa ngeri dengan rencana itu. Dia memberi tahu Alimin dan mulai menyiapkan argumen tertulis untuk menentang proyek tersebut.

Dia menguraikan keberatannya, merinci kesalahan-kesalahan dalam rencana itu dan mengulangi bahwa jalan menuju revolusi tidak terletak pada pemberontakan, tetapi dalam mengembangkan aksi massa dan pengorganisasian diri di dalam proletar dan kaum tani.

Namun, Muso dan Alimin masih ingin melancarkan revolusi. Mereka diyakini lalai menyampaikan putusan itu ke Indonesia. Dalam keadaan seperti itu rencana pemberontakan semakin didorong oleh bagian-bagian partai yang lebih bersemangat, khususnya cabang Batavia.

Pemberontakan akhirnya terjadi terpencar-pencar di Batavia dan Banten, Jawa Barat, pada 12-13 November 1926, dan di Sumatera Barat pada 1 Januari 1927.

Pemerintah Belanda karena itu mendapat alasan untuk melancarkan serangan terhadap gerakan komunis. Hasilnya, PKI tersingkir dalam gerakan nasionalis sampai setelah kemerdekaan diproklamasikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com