JENEWA, KOMPAS.com - Sebuah panel ahli mengungkapkan bahwa besarnya bencana pandemi virus corona seharusnya dapat dicegah.
Ironisnya, keragu-raguan dan koordinasi yang buruk dari pemimpin dunia menghalangi respons global yang seharusnya berlangsung cepat.
“Jika WHO membunyikan alarm lebih cepat dan para pemimpin dunia yang 'menyangkal sains' menanggapi ancaman itu dengan serius, maka kami tidak akan melihat pandemi yang berkembang dengan cepat,” kata Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (IPPPR) dalam laporan, yang dirilis Rabu (12/5/2021) melansir Daily Mail.
Baca juga: Update Corona Global: Korban Tewas 3,3 Juta Orang, Varian Covid-19 India Menyebar ke 44 Negara
IPPPR diketuai bersama oleh mantan Perdana Menteri Selandia Baru Helen Clark, dan mantan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, seorang penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2011.
Negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Mei tahun lalu meminta Laporan dari panel ahli internasional ini.
Laporan yang akhirnya dirilis pada Rabu (12/5/2021) berjudul “Covid-19: Make it the Last Pandemic”, berpendapat bahwa sistem alarm global perlu dirombak untuk mencegah bencana serupa.
IPPPR meminta negara-negara terkaya di dunia untuk mendanai organisasi baru yang didedikasikan untuk mempersiapkan pandemi berikutnya.
"Situasi yang kita hadapi hari ini sebenarnya bisa dicegah," kata Sirleaf kepada wartawan.
"Ini karena banyak sekali kegagalan, kesenjangan, dan penundaan dalam kesiapsiagaan dan respons."
Baca juga: Penemuan Jenazah di Sungai Gangga Timbulkan Pertanyaan Jumlah Kematian Covid-19 India
Dalam laporan tersebut, panel ahli mengatakan serangkaian keputusan buruk “memberikan kesempatan” Covid-19 menyebar secara global dan menghancurkan ekonomi dunia.
“Lembaga itu (WHO) 'gagal melindungi orang', dan para pemimpin yang menyangkal sains mengikis kepercayaan publik pada intervensi ilmu kesehatan,” kata IPPPR dalam laporan akhirnya yang telah lama ditunggu.
Akibatnya tanggapan awal terhadap wabah yang terdeteksi di Wuhan, China pada Desember 2019, “tidak memiliki urgensi.”
“Februari 2020 menjadi 'bulan yang hilang' dan ‘harus dibayar mahal’. Sebab negara-negara tidak memperhatikan peringatan tersebut,” kata panel itu.
Covid-19 telah menginfeksi setidaknya 160 juta orang di hampir setiap negara di dunia, sejak virus pertama kali muncul di Wuhan, China, pada Desember 2019.
Sebanyak 3,3 juta orang telah tewas akibatnya, meskipun angka itu hampir pasti di bawah perkiraan bruto.
Ini adalah laporan terbaru lainnya, yang menuduh WHO bertindak terlalu lambat pada tahap awal pandemi.
Keluhan itu pertama kali diajukan oleh Presiden AS Donald Trump, saat ia menarik dana AS untuk badan PBB tersebut.
Trump menuduh WHO dan Pemimpinnya Dr Tedros Ghebreyesus terlalu cepat menerima data yang diberikan oleh pemerintah China, yang menggambarkan situasi lebih baik dari keadaannya.
Hal itu “membutakan” para pemimpin dunia terhadap ancaman yang mereka hadapi.
Baca juga: WHO Sebut Varian Covid-19 yang Menyebar di India Sangat Mengkhawatirkan
Kritik serupa dilontarkan ke WHO lagi, setelah panel ahli yang dikirim ke Wuhan untuk melacak asal-usul virus, menerbitkan sebuah laporan pada Februari.
Laporan itu dituding hanya memunculkan teori Partai Komunis China tentang asal-usul virus. Sebab isinya mengesampingkan bahwa virus itu bisa saja bocor dari laboratorium, dan malah memberi dukungan pada teori virus bisa saja diimpor dengan daging beku.
Teori itu didorong Beijing untuk menyalahkan pandemi ke pihak lain di luar perbatasannya.
Di tengah badai kritik, kepala WHO Dr Tedros, yang dinilai memiliki relasi yang ‘nyaman’ dengan China, menarik kesimpulan organisasinya.
Dia akhirnya mengatakan “semua teori” termasuk kebocoran laboratorium tetap dibahas.
Pejabat AS, terutama dari pemerintahan Trump, telah mengemukakan teori kebocoran laboratorium sebagai penjelasan 'paling masuk akal' untuk asal pandemi.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Sinopharm Asal China Dapat Persetujuan WHO
Laporan itu mengatakan munculnya pandemi Covid-19 merupakan kombinasi dari beberapa tindakan awal dan cepat, tetapi juga ada penundaan, keraguan, dan penolakan di sisi lain.
“Pilihan strategis yang buruk, keengganan untuk menangani ketidaksetaraan dan sistem yang tidak terkoordinasi menciptakan kombinasi berbahaya” yang memungkinkan pandemi berubah menjadi bencana krisis kemanusiaan,” ujar mantan Presiden Liberia.
Laporan itu menemukan bahwa ancaman pandemi telah diabaikan dan negara-negara sangat tidak siap untuk menghadapinya.
Panel tersebut tidak menyoroti jeda waktu yang dimiliki organisasi kesehatan dunia.
Menurut laporan itu, WHO harusnya menyatakan situasi tersebut sebagai Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional (PHEIC), tingkat kewaspadaan tertinggi, pada 22 Januari 2020.
Sebaliknya, WHO menunggu delapan hari lagi sebelum melakukannya.
Baca juga: WHO: Infeksi Covid-19 Dunia 2 Minggu Terakhir Lebih Banyak dari 6 Bulan Pertama Pandemi
Namun demikian, “mengingat kelambanan reaksi sejumlah negara, kita mungkin masih berakhir di tempat yang sama (sebelum peringatan disampaikan),” kata Clark.
Baru pada Maret setelah WHO menggambarkannya sebagai pandemi Covid-19, istilah yang tidak secara resmi menjadi bagian dari sistem peringatannya, negara-negara dunia sontak beraksi.
“Adapun wabah awal, jelas ada penundaan di China. Tetapi ada penundaan juga di mana-mana,” tambahnya.
Tanpa jeda antara identifikasi pertama di Wuhan dan deklarasi PHEIC, dan kemudian 'bulan yang hilang' pada Februari 2020, “kami yakin kita tidak akan melihat perkembangan pandemi yang cepat, seperti yang telah terjadi selama 15 atau 16 bulan terakhir. Sesederhana itu,” kata Clark.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.