Di Naypyidaw, ibu kota Myanmar, Retno bertemu Suu Kyi, panglima militer U Min Aung Hlaing, Menlu Kyaw Tin, dan penasihat keamanan U Thaung Tun. Setelah sembilan jam di Naypyidaw, Retno kembali ke Yangon untuk bertemu dengan utusan PBB.
Di Dhaka, ia bertemu dengan Menlu Banglades Abul Hassan Mahmood Ali, Perdana Menteri Sheikh Hasina Wazed, dan perwakilan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) di Banglades Tayba Sharif.
Untuk mencari penyelesaian atas isu kudeta di Myanmar, Menlu Retno telah menggelar pertemuan trilateral dengan Menlu Thailand Don Pramudwinai dan Wunna Maung Lwin, Menlu Myanmar yang ditunjuk oleh junta militer, di Thailand pada 24 Februari 2021.
Dalam pertemuan tersebut, Menlu Retno menyampaikan posisi Indonesia yang meminta pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik untuk menempatkan keselamatan rakyat Myanmar sebagai prioritas utama.
Ia juga mendesak junta militer untuk membuka akses untuk kunjungan kemanusiaan dan menahan diri dari menggunakan kekerasan untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah.
Namun, dalam shuttle diplomacy yang dilakukannya, Menlu Retno juga sebaiknya perlu memastikan agar negara anggota ASEAN dan negara-negara di luar kemitraan ASEAN untuk tidak menambah sanksi di sektor-sektor tertentu yang langsung berdampak kepada rakyat.
Oleh karena itu, ia perlu meningkatkan komunikasi dengan menlu dari negara-negara yang menjadi investor utama di Myanmar seperti Singapura dan China.
Menlu Retno juga perlu untuk segera terbang ke Myanmar untuk berkomunikasi secara langsung dengan semua pihak, termasuk pejabat militer Myanmar dan Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) yang dibentuk anggota parlemen dari NLD.
Ia perlu mendesak junta militer untuk tidak lagi menggunakan ancaman dan cara kekerasan seperti menembakkan peluru karet dan peluru tajam terhadap demonstran, karena kedua metode tersebut tidak akan efektif dalam menghentikan unjuk rasa, pemogokan nasional, dan pembangkangan sipil yang dilakukan warga.
Menlu Retno juga perlu mendesak junta militer untuk menghentikan penangkapan tokoh prodemokrasi, aktivis HAM, dan aktivis mahasiswa. Menurut Asosiasi Bantuan Independen untuk Tahanan Politik, sekitar 200 politisi dan aktivis telah ditangkap. Sebagian besar politisi yang ditangkap ialah anggota parlemen dari NLD.
Walaupun saat ini Menlu Retno mungkin sedang berfokus untuk membangun dialog untuk mencari penyelesaian atas isu kudeta militer di Myanmar, masyarakat Indonesia perlu untuk terus mengingatkannya agar pemerintah Indonesia tidak melupakan komitmennya untuk mengakhiri krisis kemanusiaan Rohingya.
Hingga saat ini, baik junta militer maupun pemerintah sipil NLD belum mengakui warga Muslim Rohingya sebagai bagian dari Myanmar walaupun mereka telah tinggal dan hidup di Negara Bagian Rakhine sejak abad ke-15.
Karena tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, orang-orang Rohingya didiskriminasi. Pada saat pemilu pada November lalu, misalnya, mereka tidak diperbolehkan memberikan hak suaranya.
PBB bahkan menyatakan, militer Myanmar telah melakukan pembersihan etnis dengan intensi genosida terhadap warga Rohingya. Mereka diusir, disiksa, dan dibunuh. Rumah mereka juga dibakar.
Lebih dari 730.000 warga Rohingya kemudian melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine untuk menyelamatkan diri dari pembersihan etnis yang dilakukan oleh militer Myanmar.
Alih-alih mengecam kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer, Suu Kyi justru menyangkal pembersihan etnis dan kekerasan sistematik terhadap warga Rohingya.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sebaiknya melakukan pertimbangan yang mendalam sebelum memberikan dukungan kepada pemerintahan sipil pimpinan Suu Kyi karena ia belum berpihak kepada etnis Muslim Rohingya.
Menghormati dan melindungi hak asasi manusia merupakan salah satu prinsip di dalam Piagam ASEAN yang hingga saat ini belum ditaati oleh Myanmar sebagai anggota ASEAN.