Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelombang Protes Anti-kudeta Mulai Bergema di Kota Terbesar Myanmar

Kompas.com - 03/02/2021, 11:39 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Reuters

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Gelombang pertama protes terhadap kudeta militer yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi mulai terjadi Selasa malam (2/2/2021).

Reuters melaporkan pengunjuk rasa membuat suara gaduh dari panci dan klakson mobil, bunyinya bergema di kota terbesar Myanmar, Yangon.

Partai pemenang Nobel Perdamaian yang ditahan itu menyerukan pembebasannya oleh junta yang merebut kekuasaan pada Senin (1/2/2021). Mereka juga menuntut pengakuan atas kemenangannya dalam pemilihan 8 November.

Pihak militer menahan Suu Kyi di lokasi yang awalnya dirahasiakan.

Namun seorang pejabat senior dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengatakan pemimpinnya diketahui berada di bawah tahanan rumah di ibu kota Naypyidaw.

Langkah itu merupakan bagian terakhir dari perebutan kekuasaan militer di negara yang dirusak selama beberapa dekade oleh pemerintahan militer.

Militer telah menolak untuk menerima kemenangan telak pemilihan NLD, dengan alasan tuduhan penipuan yang tidak berdasar.

Tentara menahan para pemimpin NLD, menyerahkan kekuasaan kepada komandannya, Jenderal Min Aung Hlaing. Mereka juga memberlakukan keadaan darurat selama setahun.

Baca juga: Bagaimana Hidup di Myanmar di Bawah Pemerintahan Diktator Militer?

Utusan Myanmar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Christine Schraner Burgener, mendesak Dewan Keamanan "secara kolektif mengirimkan sinyal yang jelas untuk mendukung demokrasi di Myanmar."

Dewan sedang merundingkan kemungkinan pernyataan yang akan mengutuk kudeta tersebut, menyerukan militer untuk menghormati aturan hukum dan hak asasi manusia, dan segera membebaskan mereka yang ditahan secara tidak sah, kata para diplomat.

Namun untuk pernyataan semacam itu, konsensus dibutuhkan dalam dewan yang beranggotakan 15 anggota tersebut.

Seorang diplomat dengan misi PBB di China mengatakan akan sulit mencapai konsensus tentang draf pernyataan tersebut.

"Kami berpandangan bahwa tindakan apa pun oleh Dewan harus berkontribusi pada stabilitas politik dan sosial Myanmar serta perdamaian dan rekonsiliasi, menghindari peningkatan ketegangan atau semakin memperumit situasi," kata diplomat itu.

Pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan pengambilalihan tersebut ditetapkan sebagai kudeta, yang memicu diberlakukannya pembatasan bantuan luar negeri.

Sementara bantuan kemanusiaan, termasuk untuk minoritas Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan program-program yang mempromosikan demokrasi atau menguntungkan masyarakat sipil akan terus berlanjut.

Pemerintahan Presiden Joe Biden mengancam akan menjatuhkan kembali sanksi kepada para jenderal yang merebut kekuasaan Burma.

Perwira tinggi militer AS, Jenderal Angkatan Darat Mark Milley, ketua Kepala Staf Gabungan, telah mencoba menghubungi militer Myanmar setelah kudeta. Namun usaha itu tidak berhasil, menurut seorang pejabat AS.

Baca juga: Mulai Rasakan “Perubahan” Pasca-kudeta, Warga Myanmar Suarakan Kekhawatiran di Medsos

Kondisi Suu Kyi

Pejabat NLD Kyi Toe mengatakan dalam sebuah unggahan di Facebook mengetahui Suu Kyi "dalam keadaan sehat" dan tidak akan dipindahkan.

Unggahan sebelumnya mengatakan dia ada di rumahnya. Reuters tidak dapat menghubunginya untuk informasi lebih lanjut.

Dalam protes publik terbesar terhadap kudeta sejauh ini, orang-orang di Yangon meneriakkan "Kejahatan Pergi!". Mereka menggedor panci logam dalam gerakan tradisional untuk mengusir kejahatan atau karma buruk.

Petugas medis di setidaknya 20 rumah sakit pemerintah bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil terhadap para jenderal. Salah satunya difoto dengan tulisan "Kediktatoran harus gagal" di bagian belakang jas hazmat mereka.

Aplikasi perpesanan offline Bridgefy menyatakan sudah diunduh lebih dari 1 juta kali di Myanmar. Aktivis di negara Asia Tenggara mendorong pengunduhan Bridgefy sebagai solusi untuk gangguan telepon dan koneksi internet.

Jenderal Min Aung Hlaing pada pertemuan pertama pemerintahan barunya menyerukan tentara harus mengambil alih kekuasaan setelah klaim kecurangan pemilu ditolak oleh komisi pemilihan.

Dia telah menjanjikan pemilihan yang bebas dan adil serta penyerahan kekuasaan kepada pemenang, tanpa memberikan kerangka waktu.

Baca juga: Kudeta Myanmar Hari Kedua: Tentara Duduki Yangon, AS Ancam Sanksi

Junta telah menggantikan menteri utama dan menunjuk kepala bank sentral baru. Than Nyein, yang memimpin dalam rezim militer sebelumnya, kembali diangkat.

Kudeta tersebut menandai kedua kalinya militer menolak mengakui kemenangan pemilihan telak bagi NLD. Sebelumnya pada 1990, junta juga menolak hasil jajak pendapat, yang dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pemerintahan multi-partai.

Suu Kyi, 75 tahun, mengalami sekitar 15 tahun tahanan rumah antara 1989 dan 2010, saat dia memimpin gerakan demokrasi negara itu.

Partainya berkuasa pada 2015 setelah menggantikan kekuasaan militer yang memerintah dari 1962. Hal itu dilakukan di bawah konstitusi yang menjamin peran para jenderal dalam pemerintahan.

Posisi internasionalnya sebagai ikon hak asasi manusia rusak parah karena pengusiran ratusan ribu Muslim Rohingya pada 2017. Dia membela pihak militer yang dituduh melakukan genosida.

Para diplomat PBB mengatakan mereka prihatin dengan masa depan minoritas Rohingya, yang masih di Myanmar. Termasuk ratusan ribu lainnya pengungsi di negara tetangga Bangladesh.

"Jika kami kembali sekarang, tidak ada keamanan untuk hidup dan harta benda kami. Kami membutuhkan bantuan dari PBB. Kami tidak bisa kembali sendirian," kata pengungsi Rohingya Absarul Zaman di sebuah kamp di Bangladesh.

Baca juga: Khawatir Nasib Rohingya dalam Kudeta Myanmar, DK PBB Bakal Bertemu

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com