"Metodenya adalah dengan membuat kelompok palsu, mengeklaim serangan menggunakan identitas kelompok ini, dan dengan demikian menutupi peran (milisi yang telah mapan) dalam serangan itu," demikian ungkap analis Michael Knights dalam laporan untuk Pusat Pemberantasan Terorisme di akademi militer AS West Point pada Oktober 2020.
Meskipun semua kelompok tersebut berikrar setia kepada Iran, mereka memiliki tujuan politik yang berbeda.
Baca juga: Biden Bekukan Penjualan Senjata Miliaran Dollar AS ke Arab Saudi dan UEA
"Namun ketika ada serangan terhadap negara lain (seperti yang terjadi saat itu), itu tidak dapat dilakukan tanpa izin Iran karena potensi konsekuensinya sangat besar bagi Irak dan Iran," kata Malik.
Serangan lain yang dilakukan oleh kelompok milisi baru Irak ini terkadang mendapat kecaman dari rekan-rekan mereka, atau bahkan diabaikan.
Tetapi drone bunuh diri di Riyadh mendapatkan komentar dan dirayakan oleh semua paramiliter loyalis Iran.
Bagi Malik, tanggapan serupa ini menunjukkan bahwa serangan pesawat tak berawak kemungkinan besar disetujui oleh Iran.
Baca juga: Ledakan Besar Guncang Ibu Kota Arab Saudi
Analis tersebut percaya bahwa serangan ini adalah bagian dari kampanye Iran untuk menekan pemerintahan Presiden AS Joe Biden guna mencabut sanksi terhadap negara itu dan kembali ke kesepakatan nuklir Iran 2015 yang disepakati dengan pemerintahan Obama, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Mantan Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan pada 2018, dan menerapkan sanksi "tekanan maksimum" terhadap Teheran.
Saat ini, Iran berada di bawah tekanan ekonomi yang sangat besar, dan akan berdampak pada pemilihan presiden Iran yang dijadwalkan pada Juni.
Akibatnya, para analis mengatakan bahwa kepemimpinan Iran ingin supaya Biden secepat mungkin kembali ke JCPOA.
Baca juga: Minum Anggur Merah dan Telanjang di Bak Mandi, Influencer di Arab Saudi Dikecam Netizen
"Tujuan Iran adalah menghapus sanks. Jadi, mereka berusaha menekan di tiga area utama," kata Malik.
Termasuk di pengayaan uranium yang pada akhirnya dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir serta melakukan latihan dengan rudal dan drone.
"Ini juga termasuk memberikan lebih banyak tekanan pada sekutu AS seperti Arab Saudi," ujar Malik.
"Bagi Iran, status quo tidaklah berkelanjutan dan, diam-diam, ada pemahaman di antara semua pihak yang terlibat bahwa Iran harus terus menekan," Justin Bronk, seorang peneliti di Royal United Services Institute, sebuah wadah pemikir kebijakan pertahanan yang berbasis di London, mengatakan kepada DW.
Tapi semua itu mesti dilakukan tanpa melampaui garis merah AS, apalagi sampai membunuh warga negara AS, yang akan memaksa AS melakukan tanggapan militer terhadap Iran.
Baca juga: Pemerintahan Biden Setop Dukungan ke Arab Saudi yang Perangi Houthi di Yaman