Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

432 Tahun Lalu Italia Juga Lockdown dan Social Distancing, Ini Kisahnya...

Kompas.com - 12/01/2021, 21:39 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Paspor kesehatan salah satu cara populer untuk mencegah munculnya wabah adalah dengan secara berhati-hati memeriksa status kesehatan siapa pun yang hendak memasuki kota.

Meskipun sistem itu gagal di Alghero, di mana pasien pertama pada tahun 1582 menyelinap melewati penjaga yang ditempatkan di pelabuhan, skema pemeriksaan itu umum diterapkan di tempat lain di Eropa pada saat itu.

Dalam beberapa kasus, pemangku otoritas mengeluarkan dokumen fisik yang memungkinkan pemegangnya melewati perbatasan meski sejumlah pengetatan diberlakukan.

Izin diberikan kepada orang-orang, baik karena mereka dinyatakan bebas penyakit atau secara kebetulan mengenal orang yang tepat.

"Jadi, jika Anda seorang musafir dan melakukan bisnis dari satu kota ke kota lain, dari kota yang terkena wabah atau ke kota yang dijangkiti wabah, Anda memerlukan paspor kesehatan," kata Philip Slavin, profesor sejarah di University of Stirling.

Baca juga: Italia Tawarkan Vaksinasi Covid-19 Gratis Dimulai dari Dokter dan Penghuni Panti Jompo

Ketika pandemi Covid-19 dimulai, konsep "paspor kesehatan" diberlakukan lagi. Baru-baru ini beberapa bandara internasional seperti yang berada di London, New York, Hong Kong, dan Singapura telah menguji coba "CommonPass".

"CommonPass" adalah dokumen digital yang dapat menampilkan hasil tes dan catatan vaksinasi penggunanya.

Gagasannya adalah untuk dengan mudah memastikan status infeksi mereka demi perjalanan internasional yang lebih aman dan efisien.

Meski epidemi di Alghero terjadi beberapa abad sebelum ditemukannya konsep ilmiah tentang kekebalan tubuh, Angelerio memberi tugas kepada orang-orang yang telah sembuh dari penyakit pes bubo ini.

Para penggali kuburan, menurutnya, harus dipekerjakan dari kelompok orang yang sudah sembuh. Pekerjaan itu berisiko tinggi karena mereka harus mengangkut bilik pengakuan dosa ke sisi tempat tidur pasien yang sekarat dan tentu saja, mengurus jenazah.

Isolasi Italia adalah pelopor awal dalam mengisolasi orang-orang yang dicurigai menderita penyakit menular.

Karantina terhadap orang-orang itu dilakukan dalam skala yang sangat besar. Rumah sakit wabah pertama (lazaretto) didirikan di Venesia pada tahun 1423.

Tak lama setelah itu, mereka memiliki fasilitas terpisah untuk pasien aktif dan pasien dalam pemulihan atau yang sempat berkontak orang yang terinfeksi.

Tahun 1576, di rumah sakit itu menampung sekitar 8.000 pasien aktif dan sekitar 10.000 pasien isolasi maupun yang tengah pemulihan. Akhirnya rumah sakit itu menjadi model standar penanganan penyakit.

Rumah sakit serupa dibangun di seluruh Italia, termasuk di Sardinia. Separuh fasilitas ini merupakan rumah sakit dan sebagian lainnya adalah penjara.

Keberadaan fasilitas karantina merupakan keharusan. Dalam beberapa kasus, pasien dibawa langsung ke sana oleh pengawas wabah.

Baca juga: Nenek 101 Tahun di Italia Ini 3 Kali Lolos dari Wabah Virus Corona

"Fasilitas itu tidak dipandang positif. Publik saat itu sering menyamakannya dengan neraka," kata Bamji. Namun Bamji menyebut anggapan itu lebih menggambarkan stigma yang mengelilingi para pasien ketimbang kondisi faktual.

"Anggaran besar dihabiskan untuk membangun fasilitas itu, dan ada bukti bahwa makanannya cukup enak," kata Bamji.

Bamji berkata, sekitar setengah dari orang yang tinggal di fasilitas itu meninggal. Tentu saja pasien lainnya diizinkan pulang.

Jumlah itu menunjukkan komparasi yang secara umum sama di populasi. Adapun menurut Angelerio, lazaretto di Alghero tertata dengan sangat baik.

Pengawas wabah diminta mengurus semua orang yang masuk dan keluar dari fasilitas itu, dari urusan tempat tidur, furnitur, hingga makanan.

Orang-orang dari kelas ekonomi bawah tidak dimintai bayaran. Pasien yang sakit terkadang dilarikan ke sana dari rumah. Sementara itu, bayi yatim piatu yang tidak memiliki pengasuh akan diberikan susu dari kambing yang diberi pakan dan diternakkan secara liar.

Kucing mati

Di samping semua persamaan penanganan wabah antara abad ke-16 dan jenis yang kita kenal saat ini, terdapat beberapa perbedaan mencolok.

Pada abad pertengahan di Sardinia, takhayul dan agama masih menjadi elemen kunci dari kebijakan kesehatan masyarakat yang diambil Angelerio.

Dia menyatakan kepada publik bahwa wabah adalah hukuman ilahi untuk memperingatkan manusia agar berperilaku dengan standar moral tertinggi. Beberapa strategi Angelerio tidak efektif bahkan membingungkan.

Baca juga: Kisah Pizza Goreng yang Ditemukan Saat Kemiskinan Italia di Perang Dunia II

Metedo isolasi pasien yang terjangkit wabah juga diterapkan pada pandemi flu Spanyol tahun 1918.UNIVERSAL HISTORY ARCHIVE via BBC INDONESIA Metedo isolasi pasien yang terjangkit wabah juga diterapkan pada pandemi flu Spanyol tahun 1918.
Salah satu contohnya adalah instruksi bahwa "kalkun dan kucing harus dibunuh dan dibuang ke laut".

Ini adalah cara penanganan epidemi yang mengejutkan. Penulis bernama Daniel Defoe melaporkan, selama wabah tahun 1665 di London, wali kota memerintahkan pembantaian terhadap 40.000 anjing dan 200.000 kucing.

Otoritas London menunjuk secara khusus orang-orang yang akan menjalani tugas itu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak yang bertolak belakang dengan tujuan yang dimaksud, karena binatang yang dikenal sebagai pembawa wabah adalah tikus.

Tikus juga menjadi target pembantaian di beberapa kota saat itu, tapi tidak disebutkan dalam catatan Angelerio.

Pada tahun 2020, meskipun ada bukti kuat bahwa kucing dan anjing dapat terinfeksi Covid-19, dua binatang domestik ini tetap dicintai. Banyak badan amal hewan melaporkan rekor jumlah adopsi dalam beberapa bulan terakhir.

Kantor cabang organisasi non-profit yang mengampanyekan kesejahteraan hewan (RSPCA) di Australia menerima 20.000 permohonan adopsi anjing dan kucing sejak awal pandemi Covid-19.

Baca juga: Studi Sebut Covid-19 Sudah Ada di Italia sejak September 2019, China: Bukti Kami Tak Bersalah

Menurut Benedictow, perbandingan antara wabah pes dan Covid-19 harus ditelisik secara skeptis.

"Wabah pes jauh lebih buruk dan memiliki tingkat kematian yang hampir tak terbayangkan. Biasanya 60 persen dan bahkan 70 persen penduduk kota atau distrik kehilangan nyawa," ujarnya.

Lalu apa yang terjadi dengan penduduk Alghero? Wabah pes bubo itu berlangsung selama delapan bulan. Setelahnya, wabah itu tidak berulang di kota itu selama 60 tahun.

Saat wabah itu kembali muncul, hal pertama yang dilakukan otoritas kota Alghero adalah membuka buklet yang disusun Angelerio.

Para dokter di kota itu, selama wabah tahun 1652, mengikuti instruksi Angelerio. Mereka menerapkan karantina wilayah, isolasi pasien, desinfeksi barang dan rumah, serta membentuk beberapa lapis pengawas kesehatan di sekitar kota.

Pelaut naas yang tiba di Alghero hampir empat setengah abad yang lalu mungkin telah memicu wabah pes.

Tapi pelaut malang itu juga memicu dibentuknya panduan komprehensif untuk menegakkan kebersihan dan jarak sosial, jauh sebelum era ilmu kedokteran modern dimulai.

Baca juga: RS Kewalahan, Pasien Suspek Covid-19 di Italia Terima Oksigen Dalam Mobilnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com