Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Perang Arab Saudi yang Mungkin Tak Akan Dimenangi Mohammed bin Salman

Kompas.com - 10/12/2020, 12:57 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

RIYADH, KOMPAS.com - Hari-hari belakangan ini adalah waktu yang tidak nyaman bagi kalangan pemimpin Arab Saudi, khususnya bagi Putra Mahkota Mohammed bin Salman atau disingkat MBS.

Di dalam negeri putra mahkota tetap populer, tetapi di panggung internasional ia tak mampu melepaskan diri dari selubung kecurigaan atas dugaan perannya dalam pembunuhan wartawan Arab Saudi Jamal Khashoggi pada 2018.

Kini, pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) bersiap-siap menempati Gedung Putih dan presiden terpilih Joe Biden telah menegaskan, ia akan mengambil pendekatan lebih tegas dibandingkan pendahulunya terhadap sikap-sikap tertentu Arab Saudi.

Baca juga: Putra Mahkota Saudi Bantah Kirim Tim Pembunuh ke Kanada

Masalah-masalah apa yang dipertaruhkan dan mengapa penting bagi mereka yang berkuasa di Washington dan Riyadh?

Perang Yaman

Perang ini sudah menjadi bencana bagi hampir semua pihak yang terlibat, terlebih bagi seluruh penduduk miskin dan kekurangan gizi di Yaman.

Arab Saudi tidak memulai perang ini, tetapi kelompok Houthi-lah yang mengawalinya ketika menyerbu ibu kota Yaman, Sanaa, pada akhir 2014 dan menggulingkan pemerintah sah.

Houthi adalah kelompok suku dari wilayah pegunungan utara dan mewakili kurang dari 15 persen dari total penduduk negara itu.

Pada Maret 2015, MBS selaku Menteri Pertahanan Arab Saudi secara diam-diam membentuk koalisi negara-negara Arab dan kemudian masuk ke dalam perang dengan gempuran udara yang luar biasa.

Serangan itu diharapkan memaksa Houthi menyerah dalam hitungan bulan.

Hampir enam tahun kemudian, meskipun ribuan orang telah terbunuh atau kehilangan tempat tinggal dan kedua belah pihak melakukan tindak kejahatan perang, koalisi pimpinan Arab Saudi gagal menggusur kelompok Houthi dari Sanaa dan dari sebagian wilayah barat yang padat penduduk.

Baca juga: Putra Mahkota Jepang Izinkan Putrinya Nikahi Rakyat Biasa

Koalisi pimpinan Arab Saudi gagal mengusir Houthi dari Sanaa.REUTERS via BBC INDONESIA Koalisi pimpinan Arab Saudi gagal mengusir Houthi dari Sanaa.
Dengan bantuan Iran, Houthi meluncurkan rudal yang semakin akurat mengenai sasaran dan pesawat nirawak pembawa bom ke dalam wilayah Arab Saudi, menghantam fasilitas perminyakan sampai Jeddah.

Ini adalah kebuntuan yang menelan biaya besar dan berbagai rencana perdamaian sudah gagal berturut-turut.

Perang Yaman ini membunuh rakyat Yaman dan menguras keuangan Arab Saudi, sementara memicu kecaman di luar negeri.

Arab Saudi kemudian ingin mencari jalan keluar yang menyelamatkan mukanya.

Tetapi karena telanjur menyatakan dengan kata-kata mereka sendiri, "untuk menghentikan Iran mendapatkan tempat berpijak di wilayah perbatasan selatan", Arab Saudi menegaskan tidak dapat menerima milisi bersenjata dukungan Iran berkuasa di Yaman.

Kelompok milisi Houthi mengaku meluncurkan rudal ke fasilitas perminyakan di Jeddah pada November 2020.REUTERS via BBC INDONESIA Kelompok milisi Houthi mengaku meluncurkan rudal ke fasilitas perminyakan di Jeddah pada November 2020.
Kendati demikian, waktu semakin mendekati akhir bagi upaya perang Arab Saudi.

Menjelang 2016, di akhir masa pemerintahannya Presiden Barack Obama kala itu sudah mulai menahan sebagian dukungan AS.

Presiden Donald Trump membatalkan kebijakan itu dan memberikan Riyadh seluruh bantuan intelijen dan materi yang diminta. Kini pemerintahan Biden telah mengisyaratkan kebijakan tersebut kemungkinan tidak akan diteruskan.

Kini muncul tekanan untuk mengakhiri perang, apa pun caranya.

Baca juga: Hendak Mengungsi ke Yaman, Migran Somalia Tak Tahu di Sana Ada Perang

Perempuan-perempuan yang dipenjarakan

Masalah ini adalah bencana hubungan masyarakat di panggung internasional bagi penguasa Arab Saudi.

Sebanyak 13 aktivitis perempuan Arab Saudi yang tidak menggunakan jalan kekerasan dijebloskan ke penjara.

Dalam beberapa kasus mereka mengalami kekerasan berat, hanya karena menuntut hak perempuan boleh mengemudi sendiri dan menuntut diakhirinya sistem perwalian yang dianggap sangat tidak adil.

Banyak di antara mereka, termasuk tahanan paling terkenal Loujain Al Hathloul, ditangkap pada 2018 tak lama sebelum larangan mengemudi bagi perempuan dicabut.

Pihak berwenang menegaskan Al Hathloul bersalah karena memata-matai dan "menerima dana dari kekuatan asing", tetapi mereka tidak menyodorkan bukti-bukti.

Menurut teman-temannya, Al Hathloul hanya menghadiri konferensi hak asasi manusia di luar negeri dan melamar pekerjaan di PBB.

Keluarganya melaporkan ia telah dipukuli, disengat, dan diancam akan diperkosa dalam tahanan.

Ditambahkan, terakhir kali keluarga bertemu Al-Hathloul terguncang di luar kendali.

Baca juga: Aktivis Wanita Arab Saudi Dipenjara, Disiksa, dan Diadili ala Teroris

Loujain Al Hathloul tercatat sebagai sosok terkenal dalam gerakan mendapatkan hak menyetir bagi perempuan di Arab Saudi.REUTERS via BBC INDONESIA Loujain Al Hathloul tercatat sebagai sosok terkenal dalam gerakan mendapatkan hak menyetir bagi perempuan di Arab Saudi.
Sama halnya dengan perang Yaman, ini adalah lubang yang digali sendiri oleh kepemimpinan Arab Saudi dan sekarang mencari jalan keluar yang menyelamatkan harga dirinya.

Setelah menahan sejumlah perempuan begitu lama, tanpa bukti yang dapat diterima di pengadilan di sebuah negara yang memiliki sistem kehakiman independen, jalan keluar yang paling nyata adalah skema "pengampunan murah hati".

Diperkirakan masalah ini akan disuarakan oleh pemerintahan Biden.

Boikot Qatar

Di atas permukaan, persoalan ini kemungkinan akan terselesaikan setelah mediasi di balik layar yang melelahkan yang dilakukan Kuwait. Tetapi bawah permukaan, masalah itu jauh lebih dalam.

Pada 2017, dalam hitungan hari menyusul lawatan Presiden Trump ke Riyadh, Arab Saudi bersama Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir memboikot negara tetangga, Qatar.

Mereka berdalih dukungan Qatar terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras tidak dapat diterima, sama dengan dukungan terhadap terorisme.

Baca juga: Penumpang Wanita Disuruh Telanjang Saat Diperiksa, Australia Komplain ke Qatar

Pemboikotan terhadap Qatar terjadi tidak lama setelah kunjungan Presiden Trump ke Riyadh pada tahun 2017.EPA via BBC INDONESIA Pemboikotan terhadap Qatar terjadi tidak lama setelah kunjungan Presiden Trump ke Riyadh pada tahun 2017.
Uni Emirat Arab mengeluarkan dokumen berisi daftar orang-orang yang dicap sebagai teroris yang tinggal di Qatar, tetapi negara itu menepis tuduhan pihaknya mendukung terorisme dan menolak memenuhi tuntutan keempat negara.

Salah satu tuntutannya adalah mengendalikan saluran televisi unggulannya, Al Jazeera.

Sama dengan Houthi di Yaman, terdapat harapan yang tidak pada tempatnya bahwa Qatar akan runtuh dan pada akhirnya akan menyerah.

Itu belum terjadi, antara lain karena Qatar mempunyai kekayaan besar. Qatar mempunyai ladang gas luas di lepas pantai dan menanamkan modal lebih dari 53 miliar dollar AS (Rp 748 triliun) di Inggris saja- dan juga mendapat sokongan dari Turki serta Iran.

Ini bermakna bahwa dalam beberapa tahun belakangan muncul keretakan mendalam di Timur Tengah.

Satu kelompok terdiri dari negara-negara kerajaan, Sunni konservatif di Teluk - Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain - bersama dengan sekutu mereka, Mesir.

Di sisi lain terdapat Qatar, Turki dan berbagai gerakan politik Islam yang didukung kedua negara seperti Ikhwanul Muslimin dan Hamas di Gaza.

Arab Saudi dan negara sekutu-sekutunya menuntut Qatar menutup jaringan televisi Al Jazeera.AFP via BBC INDONESIA Arab Saudi dan negara sekutu-sekutunya menuntut Qatar menutup jaringan televisi Al Jazeera.
Gerakan transnasional ini adalah kutukan bagi para pemimpin kuartet, yang menganggapnya sebagai ancaman eksistensial bagi kekuasaan mereka.

Tak diragukan lagi pemboikotan terhadap Qatar selama 3,5 tahun telah merugikan kedua belah pihak baik dari sisi ekonomi maupun politik.

Hal tersebut juga telah menjadikan persatuan Teluk Arab sebagai ejekan pada saat para pemimpin Teluk merasa semakin khawatir tentang program rudal dan nuklir Iran.

Baca juga: Perwira Iran: Ilmuwan Nuklir Dibunuh Senapan Mesin yang Dikendalikan Satelit

Panasihat presiden AS, Jared Kushner, berunding dengan pemimpin Qatar, SyekhTamim bin Hamad Al Thani, di Doha pada tanggal 2 Desember lalu.EPA via BBC INDONESIA Panasihat presiden AS, Jared Kushner, berunding dengan pemimpin Qatar, SyekhTamim bin Hamad Al Thani, di Doha pada tanggal 2 Desember lalu.
Utusan Presiden Trump, Jared Kushner, telah melakukan pembicaraan di Teluk guna mengakhiri sengketa, dan tentu pemerintahan Biden nanti juga menginginkan penyelesaian.

Bagaimana pun juga, Qatar menjadi tuan rumah bagi pangkalan Pentagon terbesar di luar AS yaitu di Al-Udaid.

Namun apa pun yang disepakati dalam mediasi, masih harus dilihat dalam tataran penerapan.

Diperlukan waktu bertahun-tahun bagi Qatar untuk memaafkan negara-negara tetangganya itu, dan diperlukan waktu bertahun-tahun pula bagi mereka untuk memercayai Qatar lagi.

Baca juga: Sheikh Abu Dhabi Investasi ke Klub Israel dengan Reputasi Rasialisme Anti-Arab

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com