RIYADH, KOMPAS.com - Hari-hari belakangan ini adalah waktu yang tidak nyaman bagi kalangan pemimpin Arab Saudi, khususnya bagi Putra Mahkota Mohammed bin Salman atau disingkat MBS.
Di dalam negeri putra mahkota tetap populer, tetapi di panggung internasional ia tak mampu melepaskan diri dari selubung kecurigaan atas dugaan perannya dalam pembunuhan wartawan Arab Saudi Jamal Khashoggi pada 2018.
Kini, pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) bersiap-siap menempati Gedung Putih dan presiden terpilih Joe Biden telah menegaskan, ia akan mengambil pendekatan lebih tegas dibandingkan pendahulunya terhadap sikap-sikap tertentu Arab Saudi.
Baca juga: Putra Mahkota Saudi Bantah Kirim Tim Pembunuh ke Kanada
Masalah-masalah apa yang dipertaruhkan dan mengapa penting bagi mereka yang berkuasa di Washington dan Riyadh?
Perang ini sudah menjadi bencana bagi hampir semua pihak yang terlibat, terlebih bagi seluruh penduduk miskin dan kekurangan gizi di Yaman.
Arab Saudi tidak memulai perang ini, tetapi kelompok Houthi-lah yang mengawalinya ketika menyerbu ibu kota Yaman, Sanaa, pada akhir 2014 dan menggulingkan pemerintah sah.
Houthi adalah kelompok suku dari wilayah pegunungan utara dan mewakili kurang dari 15 persen dari total penduduk negara itu.
Pada Maret 2015, MBS selaku Menteri Pertahanan Arab Saudi secara diam-diam membentuk koalisi negara-negara Arab dan kemudian masuk ke dalam perang dengan gempuran udara yang luar biasa.
Serangan itu diharapkan memaksa Houthi menyerah dalam hitungan bulan.
Hampir enam tahun kemudian, meskipun ribuan orang telah terbunuh atau kehilangan tempat tinggal dan kedua belah pihak melakukan tindak kejahatan perang, koalisi pimpinan Arab Saudi gagal menggusur kelompok Houthi dari Sanaa dan dari sebagian wilayah barat yang padat penduduk.
Baca juga: Putra Mahkota Jepang Izinkan Putrinya Nikahi Rakyat Biasa
Ini adalah kebuntuan yang menelan biaya besar dan berbagai rencana perdamaian sudah gagal berturut-turut.
Perang Yaman ini membunuh rakyat Yaman dan menguras keuangan Arab Saudi, sementara memicu kecaman di luar negeri.
Arab Saudi kemudian ingin mencari jalan keluar yang menyelamatkan mukanya.
Tetapi karena telanjur menyatakan dengan kata-kata mereka sendiri, "untuk menghentikan Iran mendapatkan tempat berpijak di wilayah perbatasan selatan", Arab Saudi menegaskan tidak dapat menerima milisi bersenjata dukungan Iran berkuasa di Yaman.