Kendati demikian, waktu semakin mendekati akhir bagi upaya perang Arab Saudi.
Menjelang 2016, di akhir masa pemerintahannya Presiden Barack Obama kala itu sudah mulai menahan sebagian dukungan AS.
Presiden Donald Trump membatalkan kebijakan itu dan memberikan Riyadh seluruh bantuan intelijen dan materi yang diminta. Kini pemerintahan Biden telah mengisyaratkan kebijakan tersebut kemungkinan tidak akan diteruskan.
Kini muncul tekanan untuk mengakhiri perang, apa pun caranya.
Baca juga: Hendak Mengungsi ke Yaman, Migran Somalia Tak Tahu di Sana Ada Perang
Masalah ini adalah bencana hubungan masyarakat di panggung internasional bagi penguasa Arab Saudi.
Sebanyak 13 aktivitis perempuan Arab Saudi yang tidak menggunakan jalan kekerasan dijebloskan ke penjara.
Dalam beberapa kasus mereka mengalami kekerasan berat, hanya karena menuntut hak perempuan boleh mengemudi sendiri dan menuntut diakhirinya sistem perwalian yang dianggap sangat tidak adil.
Banyak di antara mereka, termasuk tahanan paling terkenal Loujain Al Hathloul, ditangkap pada 2018 tak lama sebelum larangan mengemudi bagi perempuan dicabut.
Pihak berwenang menegaskan Al Hathloul bersalah karena memata-matai dan "menerima dana dari kekuatan asing", tetapi mereka tidak menyodorkan bukti-bukti.
Menurut teman-temannya, Al Hathloul hanya menghadiri konferensi hak asasi manusia di luar negeri dan melamar pekerjaan di PBB.
Keluarganya melaporkan ia telah dipukuli, disengat, dan diancam akan diperkosa dalam tahanan.
Ditambahkan, terakhir kali keluarga bertemu Al-Hathloul terguncang di luar kendali.
Baca juga: Aktivis Wanita Arab Saudi Dipenjara, Disiksa, dan Diadili ala Teroris
Setelah menahan sejumlah perempuan begitu lama, tanpa bukti yang dapat diterima di pengadilan di sebuah negara yang memiliki sistem kehakiman independen, jalan keluar yang paling nyata adalah skema "pengampunan murah hati".
Diperkirakan masalah ini akan disuarakan oleh pemerintahan Biden.