WELLINGTON, KOMPAS.com - Penyelidikan atas penembakan di masjid Christchurch, Selandia Baru, menemukan serangkaian kegagalan pengamanan menjelang serangan 2019, namun menyimpulkan bahwa tragedi itu tidak dapat dicegah.
Penyelidikan tersebut dilakukan setelah aksi teroris asal Australia, Brenton Tarrant, menewaskan 51 orang di dua masjid pada 15 Maret 2019.
Melansir BBC pada Selasa (08/12/20), hasil penyelidikan menemukan bahwa Tarrant telah mampu mengumpulkan banyak sekali senjata. Sementara pihak berwenang gagal menegakkan pemeriksaan pada lisensi senjata api.
Temuan selanjutnya juga melihat bahwa para pejabat terlalu fokus pada terorisme Islam.
Namun, mengoreksi kegagalan ini tidak akan menghentikan aksi warga negara Australia itu untuk melakukan serangan tersebut, katanya.
Brenton Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat awal tahun ini.
Sejumlah petunjuk berhasil dikumpulkan polisi setelah pembantaian. Diantaranya termasuk adanya penyalahgunaan steroid, catatan rumah sakit setelah dia secara tidak sengaja menembak dirinya sendiri, dan kunjungan ke situs-situs sayap kanan.
Adapun bukti-bukti itu dinilai tidak akan cukup untuk dapat memprediksi serangan tersebut.
Baca juga: Penembakan di Masjid Selandia Baru, PM hingga Kepala Polisi Minta Maaf
"Komisi tidak menemukan kegagalan dalam badan pemerintah manapun yang memungkinkan perencanaan dan persiapan teroris terdeteksi," kata Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern setelah rilis laporan itu.
"Tapi mereka mengidentifikasi banyak pelajaran untuk dipelajari dan area signifikan yang membutuhkan perubahan."
Ardern menyoroti kegagalan pada rezim perizinan senjata api dan konsentrasi sumber daya yang tidak tepat untuk dapat mengidentifikasi tingkat ancaman kelompok Islamis.
"Meski komisi tidak menyimpulkan bahwa penyelesaian masalah tersebut akan dapat menghentikan serangan, bagaimanapun hal ini adalah kegagalan. Untuk itu, atas nama pemerintah saya minta maaf."
Pemerintah Selandia Baru mengatakan akan menerima semua daftar rekomendasi dalam laporan penyelidikan. Termasuk, pembentukan badan intelijen dan keamanan nasional baru dan proposal kepada polisi untuk mengidentifikasi dan menanggapi kejahatan rasial dengan lebih baik.
Pemerintah juga berencana membuat pelayanan komunitas etnis dan program pascasarjana untuk komunitas etnis.
Baca juga: Warga Bersorak dan Tabur Bunga Saat Penembak Masjid Christchurch Dipenjara Seumur Hidup
Pada 15 Maret, Pria bersenjata yang kemudian diketahui berkebangsaan Australia menembaki jamaah di dalam Masjid Al Noor. Ia menyiarkan serangan itu di Facebook Live melalui kamera kepala yang dia kenakan.
Dia kemudian pergi ke Linwood Islamic Center, di mana dia menembak orang-orang di luar dan kemudian menembak ke jendela.
Seorang pria dari dalam gedung lalu bergegas keluar dan mengambil salah satu senapan pelaku penyerang sebelum mengejarnya.
Petugas polisi kemudian mengejar dan menangkap pria bersenjata itu. Setelah penangkapannya, penyerang mengatakan kepada polisi bahwa rencananya adalah membakar masjid setelah serangan pertamanya dan dia berharap dia melakukannya.
Selama hukumannya pada Agustus tahun ini, pengadilan mendengar bahwa dia berencana menargetkan masjid lain, tetapi berhasil ditahan oleh petugas dalam perjalanan.
Baca juga: Usai Tragedi Christchurch, Ini Deretan Penembakan Masjid Lainnya di Dunia
Awal tahun ini, pelaku penyerangan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Hakim menyebut tindakannya tidak manusiawi, dengan mengatakan dia tidak menunjukkan belas kasihan.
Pembantaian itu juga mendorong Selandia Baru untuk mereformasi undang-undang senjatanya.
Kurang dari sebulan setelah penembakan, parlemen negara itu memberikan suara 119 banding 1 tentang reformasi yang melarang senjata semi-otomatis gaya militer, serta benda-benda yang dapat digunakan sebagai bagian dalam membuat senjata api terlarang.
Pemerintah menawarkan untuk memberi kompensasi kepada pemilik senjata yang 'kepemilikannya menjadi ilegal' dalam skema pembelian kembali.
Pujian luas atas cara Selandia Baru menangani pasca tragedi. Tapi ada juga kritik bahwa pihak berwenang mungkin telah mengabaikan peringatan bahwa kejahatan rasial terhadap komunitas Muslim meningkat.
Menanggapi hal itu, pemerintah meluncurkan Komisi Penyelidik Kerajaan untuk kasus pembantaian tersebut. Ini adalah tingkat penyelidikan independen tertinggi yang tersedia di bawah hukum Selandia Baru.
Laporan tersebut memakan waktu sekitar 18 bulan untuk dikumpulkan dan berisi wawancara dengan ratusan orang termasuk badan keamanan, pemimpin komunitas Muslim, dan pakar internasional.
"Pada akhirnya, laporan sekitar 800 halaman ini dapat disaring menjadi satu premis sederhana," kata Ardern.
"Warga Muslim Selandia Baru harus aman. Siapa pun yang menyebut Selandia Baru sebagai rumah, terlepas dari ras, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual harus aman."
Baca juga: Suasana Hening Saat 50 Nama Korban Tewas Penembakan di Masjid Selandia Baru Dibacakan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.