DOHA, KOMPAS.com - "Kita mandek" begitulah seorang delegasi menggambarkan negosiasi perdamaian intra-Afghanistan yang mulanya menuai banyak pujian saat dimulai pada 12 September di Doha.
Setelah awal pembicaraan langsung antara Taliban dan delegasi yang dipimpin pemerintah Afghanistan di Doha, halangan semakin rumit, menurut laporan yang dilansir dari Al Jazeera pada Rabu (23/9/2020).
Grup kontak terdiri dari delegasi Taliban dan pemerintah Afghanistan dibentuk untuk menetapkan syarat dan ketentuan sebelum pembicaraan formal dimulai dengan partisipasi kelompok yang lebih besar.
Grup tersebut adalah upaya untuk membuka jalan bagi pengaturan agenda pembicaraan yang bertujuan untuk mencapai perdamaian abadi di negara yang dilanda perang bertahun-tahun itu.
Pembicaraan intra-Afghanistan direncanakan dalam kesepakatan antara Taliban dan Amerika Serikat yang ditandatangani pada Februari.
Pemerintahan Trump ingin pihak-pihak yang bersaing di Afghanistan untuk mencapai kesepakatan damai, karena ingin menarik pasukan Amerika dari negara itu setelah hampir 20 tahun terjadi perang luar negeri terlama di sana.
Grup kontak pemerintah Afghanistan diwakili oleh Mohammad Masoom Stanekzai, Nader Nadery, Zarar Ahmad Muqbil Osmani, Fawzia Koofi, Mohammad Natiqi dan Khalid Noor.
Sedangkan, Taliban telah diwakili Maulvi Abdul Kabir, Abbas Stanekzai, Noorullah Noori, Shaikh Delawar dan Shaikh Qasim sebagai perwakilannya.
Baca juga: Pasukan Taliban Kembali Perangi Pasukan Afghanistan Setelah Dibebaskan
Al Jazeera telah melihat versi keempat dan versi terbaru dari rancangan agenda untuk syarat dan ketentuan yang dibahas dalam pertemuan awal grup kontak.
Ada 20 poin pertama disiapkan di Kabul sebelum tim tiba di Doha.
Sebagian besar poin bersifat teknis. Perbedaan kesepakatan kedua belah pihak telah muncul atas hukum Islam, masalah yang terkait dengan sekte dan kelompok minoritas lain, serta bahasa yang digunakan dalam rancangan tersebut.
Semua pihak berbicara kepada Al Jazeera dengan syarat anonim, karena keadaan proses yang rapuh dan beberapa tidak berwenang untuk berbicara dengan media.
Ditekankan bahwa mazhab hukum “Hanafi” yang diikuti oleh mayoritas Muslim Sunni Afghanistan harus menjadi pedoman untuk semua aspek syarat dan ketentuan negosiasi damai.
Setelah penolakan awal terhadap dimasukkannya yurisprudensi ke dalam dokumen, yang juga membahas tentang detail teknis, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk menjadikannya pedoman yang menyeluruh.
Dengan dominasi ulama Sunni-Hanafi dari pihak saingan, hal ini menjadi rumit ketika penyelesaian perselisihan dikaitkan dengan satu mazhab, karena tidak ada perwakilan untuk mazhab lain, seperti mazhab jurisprudensi Jaafria.
Afghanistan adalah rumah bagi kelompok minoritas dari sekolah yurisprudensi Islam lainnya, termasuk Muslim Syiah.
Negara berpenduduk 30 juta itu juga merupakan rumah bagi minoritas Hindu dan Sikh yang jumlahnya semakin berkurang, yang takut terpinggirkan, jika interpretasi agama mayoritas ditetapkan sebagai satu-satunya prinsip panduan untuk menyelesaikan perselisihan.
Draf saat ini menyerukan untuk mengizinkan mazhab pemikiran Islam lainnya untuk diterapkan ke pengikut masing-masing.
Namun, masalah yang terkait dengan minoritas non-Muslim akan diselesaikan sesuai dengan hukum agama mereka, asalkan itu dalam “hukum syariah”, yaitu tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
Perubahan kecil seperti mengubah "Quran dan Sunnah" menjadi "syariah" membutuhkan banyak diskusi bolak-balik antara kedua sisi.
Terminologi ini juga menjadi poin penting karena anggota mempertimbangkan setiap kata dari draf keempat.
Satu sisi harus menyerah pada frase "keadilan sosial" demi "keadilan Islam". Sementara pihak lain, harus mengalah pada desakan untuk menggambarkan gejolak di Afghanistan mulanya sebagai "jihad" menjadi "konflik", istilah yang lebih dapat diterima bagi kedua belah pihak.
Baca juga: Setelah 2 Dekade Berperang, Tercapaikah Pembicaraan Damai Taliban dengan Pemerintah Afghanistan?
Ada juga perbedaan pendapat tentang apakah "perjanjian Doha" dapat dimasukkan sebagai bagian dari teks dalam syarat dan ketentuan.
Ini membuka kotak pandora karena "perjanjian Doha" yang dilakukan pada Februari hanya berlangsung antara pemerintah AS dan Taliban. Pemerintah Afghanistan bukanlah pihak di dalamnya.
Pemerintah Afghanistan yang didukung Barat ingin menyebutkan "loya jirga", dewan tetua suku tradisional Afghanistan, dan perjanjian mereka dengan AS, yang ditandatangani di Kabul setelah kesepakatan Doha.
Beberapa pejabat pemerintah Afghanistan, termasuk Wakil Presiden pertama Amrullah Saleh, telah membuat pernyataan yang berapi-api terhadap Taliban, yang juga dibalas pihak Taliban.
Namun, selama pembicaraan damai di Doha, upaya telah dilakukan untuk menjaga agar pembicaraan tetap hangat.
Beberapa kalimat tidak nyaman telah dipertukarkan, di mana delegasi mengatakan "orang harus ditempatkan pada tempatnya", tetapi pada umumnya nada suara tetap tenang.
Baca juga: Bom di Kabul Targetkan Wakil Presiden Afghanistan, Warga jadi Korbannya
Sejauh ini, tidak ada pertengkaran sengit atau sindiran nama, meski pun ada beberapa momen emosional dalam beberapa pertemuan antara grup kontak.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memecahkan kebekuan dan membuat lelucon, sehingga para politisi garang di kedua sisi tidak mengambil kendali atas rapat.
Mitra internasional Afghanistan tidak percaya bahwa ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk turun tangan membantu memajukan keadaan.
“Tampaknya mereka (sendiri) semakin maju,” kata seorang diplomat.
"Kesempatan tidak akan ditutup dari pihak kami, kami akan terus menemukan cara-cara kreatif untuk terlibat," kata seorang delegasi pemerintah Afghanistan kepada Al Jazeera, menegaskan bahwa ada harapan nyata untuk melanjutkan pembicaraan dan bergerak menuju dialog yang bermakna.
Sementara itu, Taliban mengatakan berkomitmen pada perjanjian damai dan membuat kemajuan.
Kelompok itu telah memerangi pasukan Afghanistan sejak digulingkan dari kekuasaan dalam invasi pimpinan AS pada 2001.
Baca juga: Trump Bakal Segera Umumkan Penarikan Pasukan AS dari Irak dan Afghanistan
Sementara pembicaraan berlanjut di Doha, para pejabat keamanan Afghanistan mengatakan lusinan tentara pemerintah telah tewas di seluruh Afghanistan dalam 48 jam terakhir.
Kementerian Dalam Negeri menuduh Taliban melakukan serangan di 24 provinsi, termasuk Uruzgan, Kandahar, Wardak, Takhar dan Baghlan.
Namun, para pemimpin Taliban telah memberi tahu Al Jazeera bahwa serangan-serangan ini terhadap pos-pos keamanan yang baru didirikan, dan menuduh pemerintah Afghanistan berusaha memperluas wilayahnya dengan mengirim pasukan tambahan.
Perwakilan Khusus AS untuk Rekonsiliasi Afghanistan, Zalmay Khalilzad menghadapi ujian berat atas kesaksiannya di depan sidang perwakilan rumah pada Selasa (22/9/2020).
Anggota Kongres Tom Malinowski bertanya kepada utusan khusus AS, “Kita semua berupaya untuk perdamaian dan saya mengerti orang ingin mencapainya, tetapi saya pikir apa yang Anda jual kepada kami bukanlah perdamaian. Ini adalah dongeng untuk membuat kami merasa lebih baik tentang meninggalkan Afghanistan."
Khalilzad menegaskan itu adalah cara terbaik untuk maju mengingat kendala. "Penarikan kami bersyarat dan akan didasarkan pada tindakan bukan hanya kata-kata dari Taliban," tegasnya kepada Al Jazeera.
Baca juga: Trump Bakal Segera Umumkan Penarikan Pasukan AS dari Irak dan Afghanistan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.