KOMPAS.com - Undang-undang Kehakiman tahun 1789 disahkan oleh Kongres yang ditandatangani oleh Presiden George Washington, membentuk Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) sebagai pengadilan tertinggi.
Mahkamah Agung AS terdiri dari 6 hakim yang bertugas di pengadilan itu sampai waktu kematian mereka atau sampai waktu pensiun.
Tepat pada hari ini, pada tahun 1789, Presiden Washington menominasikan John Jay sebagai Hakim Agung AS, dan John Rutledge, William Cushing, John Blair, Robert Harrison dan James Wilson untuk jadi hakim anggota.
Lalu, pada 26 September, keenam penunjukan itu dikonfirmasi oleh Senat AS.
Baca juga: Kematian Hakim Agung AS Bisa Picu Pertarungan Politik Paling Berisiko Trump-Biden
Melansir History, Mahkamah Agung AS dibentuk oleh Pasal 3 Konstitusi AS. Konstitusi memberikan yurisdiksi tertinggi kepada Mahkamah Agung atas semua Undang-undang, terutama yang konstitusionalitasnya dipermasalahkan.
Pengadilan tinggi ini juga ditunjuk untuk mengawasi kasus-kasus yang menyangkut perjanjian Amerika Serikat, diplomat asing, hukum kelautan, dan yurisdiksi maritim.
Pada tanggal 1 Februari 1790, sesi pertama Mahkamah Agung AS diadakan di Royal Exchange Building Kota New York.
Mahkamah Agung AS tumbuh menjadi badan peradilan paling penting di dunia karena perannya sebagai pusat dalam tatanan politik Amerika.
Menurut Konstitusi, ukuran pengadilan ditentukan oleh Kongres, dan jumlah hakim bervariasi selama abad ke-19 sebelum akhirnya stabil pada tahun 1869 menjadi sembilan.
Baca juga: Biden Sebut Langkah Trump Ganti Hakim Agung AS adalah Penyalahgunaan Kekuasaan
Namun, angka ini dapat diubah kapan saja oleh Kongres. Dalam masa krisis konstitusional, pengadilan tertinggi negara selalu memainkan peran definitif dalam menyelesaikan, baik atau buruknya masalah-masalah besar pada saat itu.
Mengingat pentingnya peran Mahkamah Agung, kematian Hakim Agung AS baru-baru ini, Ruth Bader Ginsburg membuat percikan baru di tengah kampanye pemilihan presiden AS.
Presiden AS Donald Trump berusaha untuk sesegera mungkin menggantikan Ginsburg, sementara rivalnya, mantan wakil presiden Joe Biden menolak rencana tersebut.
Menurut Biden, rencana Trump untuk mengganti posisi Ginsburg saat ini adalah bentuk dari "penyalahgunaan kekuasaan".
Pada Minggu (20/9/2020), Joe Biden yang berpidato di Constitutional Center di Philadelphia mengatakan bahwa rencana presiden Trump merupakan penyalahgunaan kekuasaan.
"Konstitusi Amerika Serikat memberikan kesempatan kepada warga Amerika untuk didengarkan, dan suara mereka harus didengar... mereka (pemerintahan Trump) harus menjelaskan, mereka tidak akan mendukung penyalahgunaan kekuasaan ini," kata Biden.
Baca juga: Profil Ruth Bader Ginsburg, Hakim Agung Ternama AS yang Juga Pejuang Hak Perempuan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.