Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan Berdaya: Perjuangan Perempuan Kulit Hitam Mendapatkan Hak Pilih yang Setara

Kompas.com - 19/08/2020, 18:06 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Sumber ABC News

KOMPAS.com - Pada 18 Agustus 1920, menjadi momen penting untuk hak pilih perempuan khususnya kulit hitam di Amerika Serikat (AS), di mana UU Amandemen ke-19 diretifikasi, memberikan kepastian semua perempuan memiliki hak pilih yang sama.

Tennessee menjadi negara bagian ke-36 yang meratifikasi Amandemen ke-19.

Sekarang sudah genap 100 tahun menandai peringatan hak pilih perempuan, semakin banyak jejak sejarah disorot tentang peran perempuan kulit hitam dalam memastikan semua perempuan memiliki hak untuk memilih.

Hari ini, hanya beberapa bulan lagi sebelum pemilihan presiden AS 2020, di mana perempuan kulit hitam telah diharapkan menjadi kelompok suara yang penting. Itulah yang dikatakan sejarawan tentang peran perempuan kulit hitam dalam gerakan hak pilih.

Di 100 tahun perayaan perjuangan perempuan kulit hitam saat ini, bahkan perempuan kulit hitam memiliki kesempatan untuk maju ke panggung pemilihan presiden AS 2020, yang diwakilkan oleh Kamala Harris sebagai wakil presiden mendampingi calon presiden AS Joe Biden.

"Bagaimana jika perempuan kulit hitam, ternyata, benar-benar selalu menjadi yang terdepan dalam perebutan hak suara perempuan Amerika, dan bagaimana jika kita sebagai suatu bangsa hanya mengejar itu?"

Melansir ABC News pada Selasa (18/8/2020), itulah pertanyaan yang diajukan oleh Martha S. Jones, salah satu dari sekian banyak sejarawan yang sekarang menulis ulang buku-buku sejarah tentang peran perempuan kulit hitam dalam gerakan hak pilih perempuan di AS.

Sejarawan perempuan Afrika-Amerika seperti dirinya telah mengetahui banyak hal tentang cerita tentang perjuangan perempuan kulit hitam untuk mendapatkan hak pilih, sejak lama.

Jones adalah seorang profesor sejarah dan sarjana hukum Amerika. Bergabung dalam Society of Presidential Alumni Black Profesor. Dia mengajar sebagai ahli sejarah di Universitas Johns Hopkins.

"Seperti banyak mata pelajaran lainnya, bagaimana kita mendapatkan ilmu dari ruang kelas, jurnal profesional kita, serta buku-buku kita, kemudian dimasukan ke dalam pikiran populer, akan selalu menjadi tantangan," ujar Jones di acara Good Morning America.

Sejarawan seperti Jones mengatakan perempuan kulit hitam memainkan peran penting untuk perempuan mendapatkan hak pilih dan mencalonkan diri dalam pemilihan.

Baca juga: Tidak Kerjakan PR, Anak Kulit Hitam Berkebutuhan Khusus Dipenjara

Jones mengatakan mereka, para perempuan kulit hitam memperjuangkan haknya tidak bersama dengan perempuan kulit putih, seperti Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony, yang selama beberapa dekade diidolakan sebagai pemimpin gerakan perempuan.

"Wanita kulit hitam hadir dan mereka melakukan perjuangan publik. Mereka sangat terlibat dalam pertanyaan tentang hak-hak wanita," kata Jones pada Good Morning America.

Hanya saja mereka tidak melakukan perjuangan itu di bawah nama organisasi yang menyebut diri mereka asosiasi hak pilih.

"(Asosiasi) bukanlah tempat yang mudah, atau ramah, atau nyaman, atau bersahabat bagi wanita Afrika-Amerika," kata Jones, yang mengulas sebuah buku baru musim gugur ini, Vanguard: How Black Women Broke Barriers, Won the Vote, dan Insisted on Equality for All.

Pada pertengahan 1800-an, perempuan kulit hitam angkat suara tentang hak-hak perempuan, pada saat yang sama munculnya gerakan hak pilih perempuan. Namun, karena perbedaan ras, suara mereka tidak didengar secara setara.

Perempuan kulit hitam juga tidak mendapatkan dukungan perempuan kulit putih saat mereka memperjuangkan langkah-langkah kesetaraan lainnya, seperti UU Amandemen ke-14 dan ke-15, yang memberikan hak kewarganegaraan kepada mantan budak dan memberikan hak suara bagi pria kulit hitam.

"Kami tahu bahwa bahkan selama pawai besar di puncak disahkannya Amandemen ke-19, perempuan kulit hitam dipisahkan," kata wakil direktur hukum hak suara di Pusat Hukum Kemiskinan Selatan (SPLC), Nancy G. Abudu.

Abudu kemudian mengatakan bahwa perempuan kulit putih sebenarnya tidak ada di antara gerakan untuk mempromosikan anti-hukuman mati dan kampanye lain yang penting bagi wanita kulit hitam.

Dalam buku History of Woman's Suffrage, karya perempuan kulit putih, Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony, upaya perempuan kulit hitam yang berpengaruh dan menjadi catatan sejarah gerakan itu, juga telah ditinggalkan.

Alhasil, perjuangan kulit hitam ditinggalkan dalam buku sejarah perempuan AS juga.

Baca juga: Seorang Pria Kulit Hitam di Inggris Ditabrak Lari hingga Alami Cedera Serius

"Untuk memasukkan cara perempuan kulit hitam bekerja, Anda harus lebih kreatif dan melihat melampaui kelompok hak pilih kulit putih," kata Kimberly Hamlin, penulis buku Free Thinker: Sex, Suffrage, and the Extraordinary Life of Helen Hamilton Gardener, bersama rekannya profesor sejarah di Universitas Miami.

"Lihatlah gerakan klub perempuan kulit hitam dan gerakan yang sederhana dari mereka, di mana Anda melihat perempuan kulit hitam selama ini berjuang tidak hanya untuk hak pilih perempuan, tetapi juga untuk hak-hak sipil orang Afrika-Amerika," ujar Hamlin.

Klub perempuan kulit hitam, seperti Asosiasi Nasional Klub Wanita Kulit Berwarna (National Association of Colored Women/NACW) adalah pusat aktivisme politik, kata para sejarawan.

Beberapa orang dari klub tersebut menggali detail luar biasa tentang peran yang dimainkan anggota mereka sendiri pada masa lalu dalam mendapatkan hak pilih bagi perempuan.

"Itu adalah kisah yang tak terungkap," kata Beverly Carter, pensiunan pengacara dan sejarawan Dubois Circle, klub wanita kulit hitam yang berbasis di Baltimore yang didirikan pada 1906.

"Dan itu kisah yang sangat menarik," imbuh Carter.

Dalam menghabiskan 5 tahun terakhir memeriksa setiap catatan dan dokumen dalam sejarah klub NACW, Carter menemukan bahwa NACW memiliki hampir puluhan hak pilih aktif yang mengadakan pertemuan hak pilih di rumah mereka, berbicara di depan umum dan bergabung dengan pawai.

"Yang mengejutkan saya adalah seberapa banyak keterlibatan yang dimiliki klub yang satu ini (NACW)," kata Carter.

"Saya mencoba untuk menjelaskan tugas-tugas monumental yang dilakukan para wanita ini, terutama dengan rintangan yang dihadapi mereka," ujar Carter.

Begitu Amandemen ke-19 disahkan pada 1920, pekerjaan perempuan kulit hitam, untuk kepentingan semua perempuan, belum selesai.

Baca juga: Seorang Wanita Tak Dikenal Halangi Seorang Pria Kulit Hitam Antarkan Makanan

Mereka harus melanjutkan perjuangan mereka untuk mendapatkan hak suara penuh hingga 1965, dengan disahkannya UU Hak Pilih yang melarang diskriminasi rasial dalam pemungutan suara.

Kerja keras yang dilakukan para perempuan kulit hitam hak pilih meninggalkan bekas yang masih terasa dalam politik saat ini.

Dalam pemilihan umum 2018, 55 persen pemilih perempuan kulit hitam yang memenuhi syarat memberikan suara, 6 poin persentase di atas jumlah pemilih nasional, menurut Biro Sensus AS.

Pekerjaan perempuan kulit hitam juga berlanjut hingga hari ini dalam upaya memastikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk memilih.

Hal itu dapat dilihat pada karya wanita seperti Stacey Abrams, yang tahun lalu meluncurkan organisasi Fair Fight, sebuah inisiatif bernilai jutaan dolar yang bertujuan untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap semua pemilih.

Usahanya itu ia lakukan setelah kalah dalam pemilihan gubernur Georgia pada 2018.

"Anda tidak dapat menjelaskan Stacey Abrams dari kisah Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton. (Gerakan Abrams) tidak muncul begitu saja dan dia sendiri mengatakan itu, bahwa dia lahir dari tradisi aktivisme dan politik wanita Afrika-Amerika," terang Jones.

Berikut adalah 6 perempuan kulit hitam yang berada di garis depan tradisi aktivisme Afrika-Amerika, khususnya dalam mendapatkan hak pilih bagi perempuan, seperti yang dilansir dari ABC News pada Selasa (18/8/2020).

Baca juga: Misteri Banyak Orang Kulit Hitam Tewas Gantung Diri, Publik Ragukan Hasil Penyelidikan

1. Ida B. Wells

Gambar Ida B. Wells, 1920Chicago History Museum/Getty Images via ABC News Gambar Ida B. Wells, 1920

Wells lahir sebagai budak di Mississippi pada 1862 dan kemudian menjadi seorang guru, sekaligus ibu dari 4 anak.

Wells merupakan sosok penting dalam gerakan anti-hukuman mati, yang terkenal menghadapi hak pilih kulit putih yang pro-hukuman mati.

Dia juga memimpin organisasi perempuan kulit hitam yang merupakan akar dari gerakan hak pilih, yaitu membantu mendirikan NACW dan kemudian Klub Hak Pilih Alpha (Alpha Suffrage Club/ASC) di Chicago, yang mengorganisir wanita untuk membantu memilih kandidat, menurut Layanan Taman Nasional (National Park Service/NPS).

"Gerakan klub, yang diorganisir di bawah payung NACW, mungkin adalah analog terdekat yang kita miliki dengan organisasi hak pilih yang dipimpin oleh perempuan kulit hitam," kata Jones.

Wells secara khusus memprotes pemisahan gerakan hak pilih pada Parade Hak Pilih 1913 di Washington, D.C. Wells diminta bersama perempuan kulit hitam lainnya untuk berbaris di belakang parade, tetapi dia menolak.

Sebaliknya, menurut NPS, dia menunggu perempuan kulit putih dari Chicago untuk berbaris dalam pawai dan kemudian bergabung dengan pawai.

2. Mary McLeod Bethune

Potret Dr. Mary McLeod Bethune (1875 - 1955), aktivis hak sipil, presiden serta pendiri Bethune Cookman College, sekitar 1920-an.Chicago History Museum/Getty Images via ABC News Potret Dr. Mary McLeod Bethune (1875 - 1955), aktivis hak sipil, presiden serta pendiri Bethune Cookman College, sekitar 1920-an.

Bethune adalah anak mantan budak kelahiran South Carolina yang kemudian menjadi guru dan pendiri Universitas Bethune-Cookman di Pantai Daytona, Florida.

Dia menjadi suara terkemuka tentang hak-hak sipil, hak-hak perempuan dan hak-hak anak, menjabat sebagai presiden Federasi Klub Wanita Berwarna (Federation of Colored Women's Clubs/FCWC), presiden NACW, dan pendiri Dewan Nasional Wanita Negro (National Council of Negro Women/NCNW), menurut Universitas Bethune-Cookman.

Selain memperjuangkan kesetaraan perempuan kulit hitam, Bethune berada di garis depan dalam memastikan kontribusi perempuan kulit hitam akan diingat.

Menurut NPS, dia menyadari pentingnya melestarikan catatan sejarah tentang kekayaan dan keragaman kontribusi perempuan Afrika-Amerika terhadap budaya Amerika, dengan menjalankan Mary McLeod Bethune Council House, sebuah Situs Sejarah Nasional di Washington, DC.

Baca juga: Laporkan Pria Kulit Hitam yang Menegurnya, Wanita Ini Terancam Dipenjara

Dia membayangkan koleksi permanen dan terus bertambah yang akan digunakan oleh sejarawan dan pendidik.

"Dia secara unik memahami pentingnya menjaga arsip sejarah perempuan kulit hitam dan dampaknya terhadap generasi mendatang," menurut sumber NPS, yang mencatat Bethune adalah presiden perempuan pertama dari organisasi yang sekarang dikenal sebagai Asosiasi untuk Studi Kehidupan dan Sejarah Afrika-Amerika (Association for the Study of African American Life and History/ASALH).

3. Mary Church Terrell

Potret aktivis Hak Sipil Amerika dan Hak Pilih Wanita dan jurnalis Mary Church Terrell (1863 - 1954), akhir abad ke-19.Stock Montage/Getty Images via ABC News Potret aktivis Hak Sipil Amerika dan Hak Pilih Wanita dan jurnalis Mary Church Terrell (1863 - 1954), akhir abad ke-19.

Terrell adalah putri salah satu jutawan Afrika-Amerika pertama di Selatan, yang kemudian mendapatkan gelar sarjana dan master dari Oberlin College dan menjadi seorang guru.

Terrell aktif dalam gerakan anti-hukuman mati dan terus fokus pada hak-hak sipil dan kemajuan bagi orang Afrika-Amerika.

Kata-katanya sendiri, "Lifting as we climb," menjadi moto NACW, dan dia menjabat sebagai presiden pertama kelompok itu, menurut Kimberly Hamlin, penulis buku Free Thinker: Sex, Suffrage, and the Extraordinary Life of Helen Hamilton Gardener.

"Dari perempuan kulit hitam yang mencoba untuk memenuhi janji Amandemen ke-15 dan hak pilih universal, Terrell berdiri di garis depan," kata Hamlin.

"Dan dari wanita kulit hitam yang kadang-kadang diundang untuk berbicara di pertemuan hak pilih kulit putih, Mary Church Terrell adalah yang paling menonjol," ungkapnya.

"Sayangnya, pemimpin hak pilih kulit putih tidak selalu mendengarkan apa yang dia katakan, tetapi dia akan diundang dan pidatonya tetap menjadi bagian penting dari catatan sejarah, terutama 'Kemajuan Wanita Kulit Berwarna' dari 1898," tambahnya.

4. Hallie Quinn Brown

Pendidik, penulis, dan aktivis Hallie Quinn Brown berpose untuk sebuah potret, sekitar 1880-an.Universal Images Group via Getty Images via ABC News Pendidik, penulis, dan aktivis Hallie Quinn Brown berpose untuk sebuah potret, sekitar 1880-an.

Brown lahir pada 1849 dari mantan budak, dan kemudian menjadi profesor di almamaternya, Wilberforce University di Ohio.

Brown menjadi aktivis untuk kesetaraan perempuan dan pembicara serta penulis terkenal yang memainkan peran sentral dalam pendirian NACW, menurut Wilberforce University, sebuah perguruan tinggi dan universitas kulit hitam (HBCU).

Baca juga: Peragakan Chokehold yang Digunakan untuk Pria Kulit Hitam Saat Berfoto, 3 Polisi Ini Dipecat

"Saya percaya ada kemungkinan besar pada perempuan untuk memiliki hak sama seperti pria ...Kami bergerak maju dengan menawannya. Saya ulangi, kami menginginkan perempuan yang agung dan mulia, tersebar di seluruh negeri," kata Brown pada 1889, menurut Jones.

Koleksi esai biografi Brown pada 1926, Homespun Heroines and Other Women of Distinction, menceritakan kisah 60 wanita Afrika-Amerika.

"Wanita seperti Brown membuat sejarah sendiri dan secara bersamaan mencoba menuliskannya dan mengangkat orang lain," kata Hamlin.

5. Frances Ellen Watkins Harper

Frances Ellen Watkins Harper digambarkan dalam sebuah potret, sekitar tahun 1898.Library of Congress via ABC News Frances Ellen Watkins Harper digambarkan dalam sebuah potret, sekitar tahun 1898.

Harper digambarkan oleh Hamlin sebagai orang "keren pertama" yang menulis salah satu novel pertama, yang diterbitkan oleh seorang wanita Afrika-Amerika, Iola Leroy, dan memberikan pidato di Selatan yang mengadvokasi hak suara untuk semua, termasuk perempuan kulit hitam.

Harper adalah penduduk asli Baltimore, Maryland pertama yang mulai berbicara tentang hak-hak orang Afrika-Amerika pada 1850-an, dan merupakan salah satu pendiri American Woman Suffrage Association (AWSA) pada 1869, menurut NPS.

Pada 1866, dia menyampaikan pidatonya yang kuat tentang ketidaksetaraan rasial di Konvensi Kesebelas Hak-Hak Wanita Nasional di New York City, mengatakan, "Kalian perempuan kulit putih berbicara tentang hak di sini. Saya berbicara tentang apa-apa yang keliru."

"Saya tidak percaya bahwa memberikan perempuan surat suara akan segera menyembuhkan semua penyakit dalam hidup," kata Harper di konvensi tersebut, yang juga menampilkan hak pilih kulit putih, seperti Stanton dan Anthony.

Baca juga: Saya Ingin Anak-anak Saya Bangga Menjadi Orang Kulit Hitam

"Saya tidak percaya bahwa perempuan kulit putih adalah tetesan embun yang baru saja dihembuskan dari langit. Saya pikir seperti pria, mereka dapat dibagi menjadi tiga kelas, baik, buruk, dan acuh tak acuh."

"Yang baik akan memilih sesuai dengan keyakinan mereka dan prinsip-prinsip; yang buruk, seperti yang didiktekan oleh prasangka atau kedengkian mereka; dan yang acuh tak acuh akan memberikan suara pada sisi terkuat dari pertanyaan, yang berada pada partai yang menang."

6. Sojourner Truth

Potret seorang abolisionis dan feminis Amerika, Sojourner Truth (1797 - 1883), mantan budak yang menganjurkan emansipasi, c. 1880.Hulton Archive/Getty Images via ABC News Potret seorang abolisionis dan feminis Amerika, Sojourner Truth (1797 - 1883), mantan budak yang menganjurkan emansipasi, c. 1880.

Truth, lahir di Isabella Baumfree, meninggal pada 1883, jauh sebelum perempuan memperoleh hak suara di AS, tetapi dia adalah pendahulu dari perjuangan untuk kesetaraan perempuan kulit hitam.

Seorang mantan budak, Truth berkeliling negara sebagai pendukung gerakan anti-perbudakan dan hak-hak perempuan.

Melalui aktivismenya, Truth "memperluas definisi "pembaru" di luar perempuan kulit putih, terpelajar, kelas menengah yang terutama membentuk gerakan perempuan," menurut Sojourner Truth Memorial Committee, yang mendirikan patung Truth di Florence, Massachusetts, di mana dia tinggal pada 1840-an dan 1850-an.

"Selama dia tinggal di Florence dan setelah itu, Truth mencari nafkah sebagai pembicara publik, berhasil membawa kasus ke pengadilan, melakukan aksi untuk tujuan reformasi, mengajukan petisi kepada Kongres, bertemu dengan presiden, dan mencoba memberikan suara pemilihan pada 1872," menurut komite.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com