Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buntut Ledakan Beirut, Segudang Borok Lebanon Terkuak

Kompas.com - 09/08/2020, 12:01 WIB
Aditya Jaya Iswara

Penulis

Sumber BBC

BEIRUT, KOMPAS.com - Ledakan di Beirut terjadi pada masa sulit Lebanon, yang juga menguak segudang borok lain di negara tersebut.

Sebab sebelumnya Lebanon telah dihantam krisis ekonomi, yang mendorong puluhan ribu orang terjerumus ke jurang kemiskinan dan memicu protes besar-besaran untuk menentang pemerintah.

Krisis ekonomi itu bahkan sudah terjadi sebelum pandemi virus corona melanda.

Baca juga: Benarkah Hezbollah Tidak Terlibat dalam Ledakan Dahsyat di Lebanon?

Ada apa dengan ekonomi Lebanon?

Jumlah utang Lebanon adalah yang tertinggi ketiga di dunia, jika dibandingkan dengan selisih uang yang dihasilkannya.

BBC pada Rabu (5/8/2020) melaporkan, pengangguran di Lebanon mencapai 25 persen dan hampir sepertiga penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Akhir tahun lalu juga terungkap apa yang analis sebut sebagai skema piramida efektif yang disponsori negara, atau skema Ponzi, yang dijalankan oleh bank sentral.

Bank sentral meminjam dari bank-bank komersial dengan tingkat bunga di atas pasar guna membayar kembali utangnya sekaligus mempertahankan nilai tukar mata uang Lebanon dengan dolar AS.

Akibatnya masyarakat frustrasi atas kegagalan pemerintah menyediakan kebutuhan pokok.

Pemadaman listrik terjadi tiap hari, kekurangan air bersih, layanan kesehatan publik yang terbatas, dan koneksi internet yang konon terburuk di dunia.

Banyak orang menyalahkan elite penguasa yang mendominasi dunia politik selama bertahun-tahun, telah menimbun kekayaan dan tidak melakukan perubahan besar dalam menyelesaikan masalah negara.

Baca juga: Demo Ledakan Beirut, Massa Duduki Kantor Kemenlu Lebanon

Mengapa gelombang protes meningkat?

Pada awal Oktober 2019, kekurangan mata uang asing membuat pound Lebanon kehilangan nilai terhadap dollar untuk pertama kalinya dalam dua dekade.

Ketika importir gandum dan bahan bakar minta dibayar dalam dollar, serikat pekerja melakukan pemogokan.

Pelabuhan Beirut setelah ledakan dahsyat akibat 2.750 ton amonium nitrat pada Rabu (5/8/2020).REUTERS via BBC INDONESIA Pelabuhan Beirut setelah ledakan dahsyat akibat 2.750 ton amonium nitrat pada Rabu (5/8/2020).
Kemudian, kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di pegunungan barat negara itu menyoroti minimnya dana dan kelengkapan layanan pemadam kebakaran.

Di pertengahan Oktober 2019, pemerintah mengusulkan pajak baru untuk tembakau, bensin, dan telepon dari aplikasi seperti WhatsApp, guna mendapat lebih banyak pemasukan.

Namun reaksi keras dari rakyat Lebanon membuat rencana itu dibatalkan.

Puluhan ribu orang turun ke jalan yang mengawali mundurnya Perdana Menteri Saad Hariri.

Aksi protes itu melibatkan semua sektarian, yang merupakan fenomena langka sejak perang saudara di Lebanon pada 1975-1989. Akibatnya, roda kehidupan Lebanon terhenti.

Baca juga: Karut-marut Beirut: Usai Dihantam Ledakan, Kini Diserbu Ribuan Demonstran

PM Hassan Diab yang baru diangkat kemudian mengumumkan Lebanon akan gagal menyicil utang luar negeri untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Dikatakannya, cadangan uang mata asing sudah mencapai tingkat "kritis dan berbahaya", lalu dana yang tersisa dibutuhkan untuk membayar barang impor vital.

Pandemi memperburuk keadaan

Setelah kematian Covid-19 pertama dan lonjakan kasus, lockdown diberlakukan pada pertengahan Maret untuk mencegah penyebaran virus corona.

Di satu sisi itu meredakan aksi unjuk rasa, tetapi juga membuat krisis ekonomi makin parah dan menguak ketidakmampuan sistem kesejahteraan sosial Lebanon.

Banyak tempat usaha terpaksa memberhentikan staf atau mempekerjakan mereka tanpa dibayar; kesenjangan antara nilai pound Lebanon pada nilai tukar resmi dan pasar gelap kian melebar, dan bank pun memperketat kontrol modal.

Seorang demonstran mengibarkan bendera Lebanon di depan pasukan polisi, dalam aksi unjuk rasa di Beirut, Lebanon, pada Sabtu (8/8/2020).REUTERS/GORAN TOMASEVIC Seorang demonstran mengibarkan bendera Lebanon di depan pasukan polisi, dalam aksi unjuk rasa di Beirut, Lebanon, pada Sabtu (8/8/2020).
Harga barang-barang semakin melambung, sehingga banyak keluarga tak mampu membeli kebutuhan pokok.

Baca juga: Istri Dubes Belanda Tewas dalam Ledakan Lebanon

Kesulitan ekonomi yang meningkat memicu kerusuhan baru. Pada April seorang pemuda ditembak mati oleh tentara dalam demo yang berlangsung ricuh di Tripoli, dan beberapa bank dibakar.

Sementara itu pemerintah akhirnya menyetujui rencana pemulihan yang diharapkan dapat mengakhiri krisis ekonomi, dan mendapat bantuan dari International Monetary Fund (IMF) untuk paket dana talangan senilai 10 miliar dollar AS (Rp 147,12 triliun, kurs Rp 14.700/dollar AS).

Kemudian saat lockdown dilonggarkan pada Mei, harga beberapa bahan makanan masih naik dan perdana menteri memperingatkan Lebanon berisiko mengalami "krisis pangan besar".

"Banyak orang Lebanon tidak membeli daging, buah-buahan, dan sayuran lagi, mungkin juga bakal sulit membeli roti," tulis Hassan Diab di Washington Post.

Baca juga: Ada 28 Orang Terluka Dibawa ke RS, dalam Protes Anti-Pemerintah Lebanon

Kenapa krisis sangat keras menghantam Lebanon?

Kebanyakan analis menunjuk pada satu faktor kunci, yakni sektarianisme politik atau kelompok yang menjaga kepentingan mereka sendiri.

BBC memberitakan, Lebanon secara resmi mengakui 18 komunitas agama, yakni 4 Muslim, 12 Kristiani, sekte Druze, dan Yudaisme.

Kursi pimpinan di tiga lembaga politik utama yaitu presiden, ketua parlemen, dan perdana menteri, dibagi antara tiga komunitas terbesar: Kristen Maronit, Islam Syiah, dan Islam Sunni menurut perjanjian sejak 1943.

Total 128 kursi parlemen juga dibagi rata antara Kristen dan Islam (termasuk Druze).

Baca juga: Pimpinan Hezbollah Bantah Keras Klaim Keterlibatannya dalam Ledakan Dahsyat di Lebanon

Keragaman agama inilah yang dituding jadi sasaran empuk campur tangan kekuatan eksternal, seperti yang terlihat dengan dukungan Iran terhadap gerakan Syiah Hezbollah, yang dipandang sebagai kelompok militer dan politik terkuat di Lebanon.

Papan reklame raksasa yang terpasang di persimpangan La Guardia di Tel Aviv, Israel, yang menampilkan sosok karikatur pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah.AL ARABIYA / AP Papan reklame raksasa yang terpasang di persimpangan La Guardia di Tel Aviv, Israel, yang menampilkan sosok karikatur pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah.
Sejak akhir perang saudara, para pemimpin politik dari setiap sektarian mempertahankan kekuasaan dan pengaruh mereka melalui sistem jaringan patronase, yaitu melindungi kepentingan komunitas agama yang mereka wakili dengan menawarkan imbalan uang.

Upaya itu mereka lakukan secara legal maupun ilegal.

Lebanon berada di peringkat 137 dari 180 pada Indeks Persepsi Korupsi Transparency International 2019. Semakin bawah peringkat artinya semakin buruk.

Badan pengawas mengatakan, korupsi "meresap ke semua lapisan masyarakat" di Lebanon, dengan partai politik, parlemen, dan polisi dianggap sebagai "lembaga paling korup di negara itu".

Dikatakan pula, sistem pembagian kekuasaan sektarian itulah yang mendorong jaringan patronase dan menghambat sistem pemerintahan Lebanon.

Baca juga: Rakyat Jengah, Sebuah Petisi Mendesak agar Lebanon Diperintah Perancis

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Saat Dokter Jantung Ladeni Warganet yang Sebut Non-Perokok Sebagai Pecundang...

Saat Dokter Jantung Ladeni Warganet yang Sebut Non-Perokok Sebagai Pecundang...

Global
Agungkan Budaya Gila Kerja, Petinggi Mesin Pencari Terbesar China Malah Blunder

Agungkan Budaya Gila Kerja, Petinggi Mesin Pencari Terbesar China Malah Blunder

Global
Karyawan Ini Nekat Terbang Sebentar ke Italia Demi Makan Pizza, Padahal Besok Kerja

Karyawan Ini Nekat Terbang Sebentar ke Italia Demi Makan Pizza, Padahal Besok Kerja

Global
Warga Israel Bakar Kompleks Gedung UNRWA di Yerusalem Timur

Warga Israel Bakar Kompleks Gedung UNRWA di Yerusalem Timur

Global
100.000 Orang Terpaksa Tinggalkan Rafah Gaza di Bawah Ancaman Serangan Darat Israel

100.000 Orang Terpaksa Tinggalkan Rafah Gaza di Bawah Ancaman Serangan Darat Israel

Global
Jeda Pengiriman Senjata AS Tak Berdampak, Israel Terus Gempur Rafah

Jeda Pengiriman Senjata AS Tak Berdampak, Israel Terus Gempur Rafah

Global
Kontestan Israel Lolos ke Final Kontes Lagu Eurovision, Tuai Kecaman

Kontestan Israel Lolos ke Final Kontes Lagu Eurovision, Tuai Kecaman

Global
Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Global
Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Global
Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Global
PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

Global
Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Global
Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Global
Tasbih Antikuman Diproduksi untuk Musim Haji 2024, Bagaimana Cara Kerjanya?

Tasbih Antikuman Diproduksi untuk Musim Haji 2024, Bagaimana Cara Kerjanya?

Global
Kata Netanyahu Usai Biden Ancam Setop Pasok Senjata ke Israel

Kata Netanyahu Usai Biden Ancam Setop Pasok Senjata ke Israel

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com