KOMPAS.com - Sonata Khrisna Deva, Warga Negara Indonesia (WNI) asal Jawa Barat, sudah hampir 2 bulan terjebak di tengah laut lantaran kapalnya tidak mendapat tempat berlabuh.
Negara-negara banyak yang menolak kapal pesiar berlabuh di kawasannya, setelah diketahui penularan Covid-19 banyak berasal dari kapal pesiar.
Kapal pesiar Holland-American Line, yang berkantor pusat di Amerika Serikat, sebenarnya sudah tidak lagi memiliki tamu penumpang.
Namun, ada hampir 1.000 anak buah kapal termasuk asal Indonesia, yang masih bertahan di atas kapal pesiar dan belum bisa pulang.
Baca juga: Ramadhan 2020, Masjid Australia Bagikan Hidangan Takjil Drive-through
"Kapal ini rutenya hanya Australia dan Selandia Baru, bolak-balik di kawasan itu saja," kata Sonata kepada ABC News.
"Tetapi karena tidak ada yang mau menerima kami dan banyak pelabuhan sudah ditutup, dari Auckland, Selandia Baru, kami akhirnya menuju Amerika Serikat," tambahnya.
Pria itu menuturkan, rencana awal kapal menuju San Diego dan sesampainya di sana awak kapal akan diterbangkan pulang dengan pesawat sewaan.
"Waktu itu San Diego masih membolehkan (merapat), tapi di perjalanan kami mendapat kabar pelabuhan ditutup."
Akhirnya kapal mengarah dan merapat di San Pedro, California.
Baca juga: AS Nilai China Sengaja Sembunyikan Tingkat Keparahan Virus Corona
"Akhirnya (kapal) bisa merapat, tapi kami juga enggak boleh turun. Hanya (untuk) isi bahan bakar dan loading bahan makanan," katanya.
Sonata yang sehari-hari bekerja di bagian house-keeping kapal mengatakan terakhir kali ia merapat dan turun ke darat sekitar tanggal 10 Maret 2020.
Artinya, sudah hampir dua bulan ia berada di tengah lautan dan penantiannya belum berakhir.
Sonata melanjutkan, rencana dipulangkan dengan pesawat dari San Pedro juga gagal.
"Tapi akhirnya pihak perusahaan sudah mengumumkan akan memulangkan kami dengan menggunakan kapal pesiar yang ada," terangnya.
Kapal-kapal inilah yang akhirnya akan digunakan untuk membawa pulang kru kapal ke beberapa negara.
Menurut Sonata, kapal yang sekarang ditumpanginya akan digunakan untuk mengantarkan pulang seluruh kru kapal asal negara asalnya masing-masing.
Baca juga: Kronologi Perselisihan Australia-China soal Penyelidikan Asal-usul Covid-19
"Selain ke Filipina, kapal pesiar yang ada akan bertolak ke Afrika dan Indonesia," kata Sonata.
Pihak perusahaan menjanjikan, semua kru kapal akan tiba di negara masing-masing paling lambat tanggal 7 Juni 2020.
Meski harus bersabar, Sonata bersyukur kondisinya dan teman-temannya masih sehat.
"Setelah masa Covid-19 itu, di sini pencegahannya jadi lebih ketat. Suhu naik sedikit atau ada gejala batuk sedikit, langsung isolasi sendiri," ujar Sonata.
Ia juga tetap berpuasa. "Alhamdulillah, puasa. Di sini untungnya banyak kru asal Indonesia, pengurus masjidnya juga orang Indonesia," tutur Sonata.
Ia mengaku kedekatannya dengan kru asal Indonesia lainnya sedikit mengobati kerinduannya pada Indonesia di masa-masa pandemi.
Baca juga: Soal Investigasi Covid-19 dan Ancaman Boikot, China Bela Duta Besarnya di Australia
Sonata juga tidak khawatir akan kehilangan pekerjaannya, karena pihak perusahaan telah meyakinkan akan tetap mempekerjakannya setelah kondisi kembali normal.
"Istilahnya, kami masih tetap pegawai. Tapi karena nggak melaut, ya nggak digaji. Nanti setelah dipulangkan, bisa dipanggil kerja lagi kalau kondisi (sudah) normal," katanya yang baru mulai bekerja di kapal pesiar Desember 2019 lalu.
Awal April lalu, seperlima dari 1.040 awak kapal Ruby Princess yang bersandar di New South Wales, Australia diketahui menunjukkan gejala tertular virus corona.
Di Australia 11 kematian dan 600 kasus positif Covid-19 diketahui memiliki kaitan dengan kapal pesiar, sehingga menjadi sumber penularan terbesar Covid-19 di Australia.
Baca juga: Diancam Bakal Diboikot China, Begini Peringatan Australia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.