Persoalan lain yang diwanti-wanti lembaga masyarakat sipil seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) adalah sekitar 1.735 lubang bekas galian tambang yang ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan di Kalimantan Timur.
Angka itu berbeda dengan temuan pemerintah yang hanya mencapai 500-an lubang tambang.
Setidaknya 36 orang, yang sebagian besar anak di bawah umur, meregang nyawa di lubang tambang bekas galian batu bara di berbagai wilayah provinsi itu sejak 2011.
BBC Indonesia pernah mengulas persoalan ini secara rinci dalam artikel berjudul Ibu kota baru: Ribuan lubang tambang terbengkalai di Kaltim, 'cucu saya tewas di sana, saya harus tuntut siapa?'
Ada pula kekhawatiran komunitas adat Dayak Paser tentang penggusuran seiring pengembangan ibu kota baru.
"Kami tidak setuju dengan proyek itu. Kami takut dan sangat cemas," kata Dahlia, perempuan Dayak Paser berusia 23 tahun.
Dahlia mengaku belum pernah menginjakkan kaki ke Jakarta dan hanya melihat ibu kota itu melalui layar televisi. Ia tidak terkesan dengan gegap gempita Jakarta.
"Kami merasa seperti dijajah, hutan kami hilang, kami sulit mendapat air. Perusahaan perkebunan dan tambang lebih banyak mempekerjakan orang luar daerah," ujar Dahlia.
Kisah lebih lengkap tentang komunitas adat ini bisa Anda baca dalam artikel BBC Indonesia berjudul Warga Dayak Paser khawatir 'makin tersingkir' dari wilayah adat, 'tidak mau tambah melarat'.
Dalam liputan ini BBC Indonesia sempat berbincang dengan Bambang Brodjonegoro yang saat proyek ibu kota diumumkan berstatus sebagai Kepala Bappenas.
"Ibu kota baru akan dibangun dengan lebih modern, lebih baik ketimbang Jakarta," ujarnya saat berdiri di atas menara, melihat perbukitan penuh dengan pohon sawit.
"Air ledeng ibu kota baru aman untuk dikonsumsi. Akan ada gas yang tersambung ke rumah-rumah warga."
"Kita akan punya kendaraan listrik, transportasi publik, semua infrastruktur dasar yang sekarang tidak ada di kota-kota lain di Indonesia," tuturnya.
Sekitar pukul 09.00 pagi kala itu, Davi tengah bersiap berangkat ke sekolah hutannya.
Davi adalah salah satu orang utan yatim piatu di pusat rehabilitasi yang dikelola Yayasan Borneo Orang Utan Survival (BOS). Tempat itu berada di lingkar luar wilayah ibu kota baru.
Orang Utan merupakan primata yang kini sangat terancam punah, termasuk yang berada di hutan Kalimantan, menurut International Union for Conservation of Nature.
Saat kami melihat Davi, ia tengah berada di pundak Isna, pegiat di BOS yang ibarat 'ibu baru' baginya.
"Hubungan kami seperti ibu dan anak karena saya menjaga Davi sejak dia bayi. Mereka butuh figur ibu dan untuk itulah keberadaan kami di sini."
"Kami memberi mereka makan, mengajari mereka mencari makan, dan ketika mereka dewasa, kami menunjukkan kepada mereka cara memanjat pohon," tutur Isna.
Suaka bagi para orang utan itu berdiri di atas hutan yang dihijaukan kembali sejak tahun 1998, seluas 1.800 hektare. Beruang matahari juga menjadi salah satu penghuni tempat rehabilitasi tersebut.
Pimpinan BOS, Jamartin Sihite menyebut mereka secara terus-menerus bergelut dengan ancaman perambahan hutan ilegal dan perluasan kebun sawit.
"Banyak orang menganggap hutan adalah lahan kosong. 'Mengapa kamu mempertahankan hutan jika saya membutuhkan lahan'," ujarnya mengutip perkataan kelompok yang lebih condong ke industri ketimbang lingkungan.
Dan salah satu musuh abadi suaka orang utan itu, kata Sihite, adalah kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun di Kalimantan.
Pada tahun 2015 misalnya, Sihite menyebut 300 hektare lahan suaka orang utan yang dikelolanya terbakar.
Sihite berharap, para pimpinan pemerintah pusat yang nantinya tinggal di ibu kota baru akan merasakan langsung dampak kebarakan hutan yang selama ini diderita warga dan satwa di Kalimantan.
"Saat mereka mendekat ke alam dan menyadari betapa mahal keberadaannya, segala sesuatu akan lebih mudah," ujar Sihite.
"Jika tidak ada lagi hutan untuk orang utan, para pejabat itu akan melihatnya sendiri. Saya tidak perlu lagi terbang ke Jakarta dan menjelaskan situasinya kepada mereka," kata dia.
Di Jakarta, pendapat itu disetujui Sibarani Sofian. Ia tengah menanti persiapan proyek pembangunan desain ibu kota rampung, termasuk dasar hukum yang urung dibahas pemerintah dan DPR.
"Di Indonesia, segala peraturan sudah ada tapi penegakannya tidak mudah. Keputusan yang diambil tidak selalu satu pihak, ada dinamika politik dan ekonomi."
"Di titik itu saya belum terbayang ibu kota baru akan menjadi seperti apa. Mengelola ibu kota butuh keterampilan dan jam terbang. Mumpung kita sekarang mulai dari awal, mari kita mengelolanya dengan baik," kata Sibarani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.