Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Konflik Israel-Palestina, Kegagalan PBB, dan Anarki Sistem Internasional

Serangan tersebut dilakukan dalam suasana hari terakhir perayaan umat Yahudi di Israel, serta menambah panjang deretan pertumpahan darah yang terjadi di sekitar kawasan tersebut.

Serangan awal Hamas pada awal Oktober lalu juga tercatat sebagai peristiwa paling berdarah sepanjang sejarah modern Israel, khususnya pascaperistiwa Holocaust.

Dilansir dari The Economist pada 12 Oktober 2023, korban tewas dari pihak Israel atas serangan tersebut diestimasikan mencapai 1.300 orang, dan korban luka-luka mencapai 3.300 orang.

Lebih lanjut, sekitar 150 orang dijadikan sandera pascaserangan tersebut.

Sementara jumlah korban tewas dari warga sipil Palestina akibat serangan balasan pasukan Israel hingga saat ini terestimasi mencapai 8.600 orang.

Ada beberapa catatan penting dalam serangan kali ini, yang salah satunya disinyalir merupakan buah dari kegagalan intelijen Israel.

Intelijen Israel gagal mengantisipasi maupun mencegah serangan awal dari Hamas tersebut, sehingga menimbulkan korban jiwa yang sangat besar dari warga sipil.

Benjamin Netanyahu selaku Perdana Menteri Israel telah mengeluarkan pernyataan mengutuk secara keras serta mendeklarasikan perang atas serangan yang dilakukan oleh kelompok Hamas.

Serangan balik dilakukan dengan melancarkan “Operation Iron Swords”, dengan mengupayakan isolasi di wilayah Gaza serta menerapkan operasi tempur skala besar di lingkungan perkotaan padat.

Sikap ini memantapkan posisi seorang Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri dalam memainkan peran yang strategis terhadap konflik Israel-Palestina, di mana ia telah menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di Israel tersebut selama lebih dari 16 tahun.

Kegagalan PBB

Di tengah-tengah badai yang sedang terjadi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seakan menjadi lembaga yang kurang bertaji dalam kasus penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Sebagai organisasi internasional yang seringkali melakukan humanitarian intervention dalam berbagai konflik, kehadiran PBB seakan belum efektif dalam membantu penyelesaian permasalahan ini.

Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Maliki sempat memohon kepada Dewan Keamanan PBB untuk mendesak gencatan senjata, demi mengurangi potensi jumlah korban penduduk Gaza akibat serangan pasukan Israel.

Majelis Umum PBB menyetujui resolusi gencatan senjata terkait konflik perang di Gaza, serta menyerukan humanitarian truce (gencatan senjata kemanusiaan) antara pasukan Israel dan militan Hamas di Gaza, Palestina.

Resolusi gencatan senjata di Gaza tersebut diajukan oleh Yordania dalam sidang pada Jumat, 27 Oktober 2023 lalu mewakili negara-negara Arab.

Terdapat sebanyak 120 suara mendukung, 14 menolak, dan 45 abstain terhadap resolusi Majelis Umum PBB tersebut.

Meski suara mayoritas mendukung adanya gencatan senjata, Israel dengan sekutunya, yakni Amerika Serikat, mengkritik keras resolusi tersebut dimana PBB tidak menyebut kata Hamas di dalamnya.

Israel dan AS diketahui menolak resolusi tersebut, bahkan menyebut PBB tidak memiliki legitimasi maupun relevansi dalam konflik ini.

Sejak serangan awal Oktober lalu dimulai, PBB juga gagal menghasilkan hingga empat resolusi terkait konflik Israel-Palestina, akibat dari veto yang dilakukan oleh negara anggota tetapnya, termasuk AS.

Meski PBB telah berperan dalam membantu korban di jalur Gaza melalui dukungan logistik makanan dan kesehatan, hal ini dirasa tidak cukup, dan membuat representasi PBB sebagai bagian dari sistem internasional terasa “gagal” serta tidak begitu efektif.

Anarki dalam Sistem Internasional

Apa yang dialami oleh PBB sebagai bagian dari representasi sistem internasional saat ini semakin mengonfirmasi adanya kondisi “anarki” dalam politik global.

Dari perspektif teori hubungan internasional, khususnya realisme, fenomena ini menunjukkan bahwa jelas terjadi kondisi dimana terdapat tidak adanya otoritas tertinggi dalam komunitas politik internasional.

Anarki berarti kondisi tanpa adanya aturan yang mengikat, ataupun kekacauan. Menguatnya kembali konflik dan persaingan dalam kancah politik global, termasuk kondisi “anarki”, semakin mempertegas kegagalan perspektif liberalisme dalam hubungan internasional.

PBB menjadi wajah utama sebagai pembawa perdamaian serta peningkatkan kerjasama antar negara di berbagai aspek kehidupan.

PBB yang sejatinya diharapkan sebagai organisasi internasional yang dapat berperan sebagai otoritas tertinggi dalam berbagai permasalahan di tingkat global hanya menjadi bagian dari alat kepentingan negara-negara kuat dalam meraih kepentingan geopolitiknya.

Tidak seperti konflik Rusia-Ukraina di mana sanksi sosial dan ekonomi dari komunitas internasional ikut berperan kuat, sanksi yang sama terhadap Israel dalam konteks konfliknya dengan Palestina seakan absen dalam kehadirannya.

Apabila menginginkan peningkatan peran yang lebih kuat dalam konteks konflik Israel-Palestina, PBB perlu memberikan dorongan bagi negara-negara anggotanya untuk memberlakukan embargo ekonomi demi menghentikan serangan Israel, dibanding hanya menerapkan sanksi sosial lewat resolusi gencatan senjata.

Hal ini perlu dilakukan, untuk menekan manuver politik luar negeri Israel dengan menganggu stabilitas dalam negerinya.

Kebijakan ekonomi dapat menjadi senjata ampuh dalam membatasi pergerakan dan kebijakan luar negeri, layaknya yang terjadi dalam kasus konflik Rusia-Ukraina.

https://www.kompas.com/global/read/2023/11/02/082242170/konflik-israel-palestina-kegagalan-pbb-dan-anarki-sistem-internasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke