JAKARTA, KOMPAS.com – Sejumlah negara mulai beralih dari membiayai proyek-proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi investasi ke energi terbarukan.
Transformasi ini akan memberikan implikasi dan tantangan yang perlu disiasati oleh negara tujuan investasi energi fosil di kawasan Asia Tenggara.
China, Jepang, dan Korea Selatan merupakan tiga negara terbesar yang membiayai proyek energi fosil di Asia Tenggara.
Sebanyak 123 gigawatt PLTU batu bara yang beroperasi di luar China mendapat dukungan finansial ataupun dukungan engineering, procurement, dan construction (EPC) dari Beijing. Proyek-proyek energi fosil tersebut sebagian besar dibangun dalam dua dekade terakhir.
Tetapi, pada September 2021, Presiden China Xi Jinping berjanji ntuk mendukung negara berkembang yang akan bertransisi energi ke energi terbarukan.
Dia menambahkan, China tidak akan membiayai lagi pembangunan PLTU batu bara baru di luar negeri. Sejak janji ini dikumandangkan, sebanyak 12,8 gigawatt PLTU batu bara yang semula direncanakan akan dibangun, dibatalkan.
Selain itu, beberapa perusahaan dan institusi keuangan dalam negeri China juga menghentikan pembiayaan untuk proyek batu bara.
Contohnya, Bank of China (BOC) berhenti membiayai proyek penambangan batu bara dan PLTU batu bara baru di luar negeri, kecuali untuk proyek-proyek yang telah menandatangani perjanjian pinjaman.
Ada pula Tsingshan Holding Group, pemain utama di kawasan industri luar negeri terutama di industri baja, mengumumkan tidak akan membangun PLTU batu bara baru di luar negeri.
Analis dari Center for Research on Energy and Clean Air Isabella Suarez mengungkapkan, untuk kali pertamanya, pernyataan Xi dituangkan dalam kebijakan dalam negeri China.
Hal itu Suarez sampaikan dalam webinar bertajuk Status Transisi Energi di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), 29 Juli.
Tidak hanya itu, berkembang pula wacana untuk mengembangkan secara bersama implementasi pembangunan hijau dalam kerangka Belt and Road Initiatives (BRI).
Menurut Isabella, hal yang perlu China lakukan untuk memastikan janjinya terlaksana adalah menentukan jangka waktu dan target pencapaiannya, sebagaimana rilis yang diterima Kompas.com dari IESR.
Di sisi lain, negara yang selama ini mendapat pembiayaan proyek energi fosil perlu memulai untuk melakukan pembatalan pembangunan PLTU batu bara.
“Selain itu, juga perlu mengarahkan pembiayaan internasional ke energi terbarukan yang lebih hijau, infrastruktur, efisiensi jaringan, serta mengimplementasi pembangunan hijau dalam BRI,” ucap Suarez.
Program Lead for Climate Finance Solutions for Our Climate (SFOC) Dongjae Oh memaparkan, Korea Selatan juga menjadi negara terbesar ketiga di dunia yang membiayai proyek PLTU batu bara.
Sebanyak 87 persen atau 8,7 miliar dollar AS pembiayaan hilirisasi batu bara dari Korea Selatan berada di kawasan Asia Tenggara antara 2011 hingga 2020.
Pada April 2022, Presiden Korea Selatan mendeklarasikan untuk menghentikan pembiayaan baru bagi proyek PLTU batu bara di luar negeri.
Namun menurut Dongjae, Korea Selatan masih sangat bergantung pada energi fosil lainnya yakni minyak dan gas.
“Jika dibandingkan pembiayaan batu bara yang hanya mencapai 10 miliar dollar AS, pembiayaan minyak dan gas bisa mencapai 127 miliar dollar AS dalam 10 tahun,” ungkap Dongjae.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menerima pembiayaan terbesar dari Korea Selatan untuk industri minyak dan gas. Investasi ini akan membuat kawasan Asia Tenggara beralih menggunakan minyak dan gas.
Dongjae menambahkan, jika hal tersebut terjadi, maka kawasan Asia Tenggara akan gagal mencapai target Persetujuan Paris dengan besarnya emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh gas.
Selain itu mempertahankan energi fosil dengan penggunaan penangkap karbon alias CCS hanya akan membuat harga bahan bakar fosil lebih mahal.
Selain itu, volatilitas harga akan membuat daya saing tenaga gas yang rendah dibandingkan energi terbarukan, sehingga dapat menyebabkan krisis keuangan bagi perusahaan utilitas di tingkat regional.
“Pemerintah Korea Selatan dan Asia Tenggara harus bekerja sama untuk meningkatkan penghentian pengoperasian batu bara dan mempercepat transisi ke energi terbarukan. Di lain pihak, Korea Selatan harus menghentikan dana atau investasi batu bara dan gas, mengingat harga energi terbarukan semakin murah,” tegas Dongjae.
Manajer Program Ekonomi Hijau IESR Lisa Wijayani mengungkapkan, penghentian pendanaan terhadap energi fosil dari China dan Korea Selatan merupakan langkah konkret dalam mendukung transisi energi secara global.
“Indonesia seharusnya dapat menggunakan kesempatan ini untuk mengembangkan pembangunan energi terbarukan. Taksonomi hijau dan kebijakan terkait investasi hijau yang jelas hendaknya mampu menarik minat investor untuk mengalihkan pendanaan mereka ke sektor hijau seperti energi terbarukan,” ujar Lisa Wijayani.
https://www.kompas.com/global/read/2022/08/08/173100370/pltu-mulai-ditinggalkan-asia-tenggara-perlu-siapkan-langkah-transisi