SINGAPURA, KOMPAS.com - Lima pakar hak asasi manusia PBB bergabung dalam seruan agar Singapura menghentikan eksekusi Nagaenthran Dharmalingam, seorang dengan keterbelakangan mental.
Nagaenthran Dharmalingam adalah pria warga negara Malaysia yang dihukum karena penyelundupan narkoba lebih dari 10 tahun yang lalu.
Melansir Al Jazeera pada Selasa (9/11/2021), pria berusia 33 tahun itu dijatuhi hukuman mati pada 2010 setelah setahun sebelumnya ditangkap melintasi perbatasan dengan 42,72 gram diamorfin.
Nagaenthran mulanya akan dieksekusi gantung pada Rabu (10/11/2021), tetapi hukuman itu ditunda setelah para pengacaranya mengajukan banding terakhir.
Mereka berpendapat bahwa IQ Nagaenthran hanya 69, mempengaruhi kemampuannya untuk membuat keputusan yang tepat.
Pengadilan banding mempertimbangkan kasus tersebut pada Selasa (9/11/2021), tetapi banding tersebut ditunda setelah Nagaenthran didiagnosis positif Covid-19.
Para pakar PBB mencatat bahwa negara-negara yang mempertahankan hukuman mati hanya diizinkan untuk menjatuhkan itu untuk kejahatan paling serius "yaitu yang melibatkan pembunuhan yang disengaja" dan bahwa pelanggaran narkoba tidak memenuhi ambang batas itu.
Sehingga, para pakar PBB mendesak pemerintah Singapura untuk mengubah hukuman Nagaenthran Dharmalingam sesuai hukum internasional tentang pelaku dengan keterbelakangan mental.
“Menggunakan jenis hukuman ini untuk mencegah perdagangan narkoba tidak hanya ilegal menurut hukum internasional, tetapi juga tidak efektif,” kata pernyataan itu.
“Tidak ada bukti persuasif bahwa hukuman mati memberikan kontribusi lebih dari hukuman lain untuk memberantas perdagangan narkoba,” imbuhnya.
Kasus Nagaenthran Dharmalingam yang memiliki keterbelakangan mental telah menarik perhatian global, yang terdiri dari pakar hukum, kelompok hak asasi manusia, Uni Eropa.
Bahkan pengusaha Inggris Richard Branson mendesak pemerintah Singapura untuk meninjau kembali hukuman mati kepada seseorang yang memiliki keterbelakangan mental.
Dalam intervensi yang jarang terjadi, Perdana Menteri Ismail Sabri dan para politisi senior lainnya di Malaysia juga telah mengajukan banding ke Singapura atas kasus warga negaranya yang mengalami keterbelakangan mental tersebut.
Pada Selasa (9/11/2021), Amnesty International mendesak pihak berwenang untuk memberikan waktu yang cukup untuk mengajukan banding.
“Untuk memenuhi standar keadilan internasional, banding tidak boleh terburu-buru, tetapi perlu kesempatan yang berarti untuk mempertimbangkan kembali kasus Nagaenthran,” kata Rachel Chhoa-Howard, peneliti Singapura yang menyerukan agar eksekusi dibatalkan.
“Ada banyak bukti pelanggaran hak asasi manusia termasuk kekhawatiran mendalam tentang kapasitas mental Nagaenthran dan kondisi kesehatan saat ini, yang akan membuat eksekusinya melanggar hukum, dan harus ditangani sepenuhnya,” terangnya.
Para pakar PBB juga menyatakan keprihatin tentang interogasi Nagaenthran yang keterbelakangan mental, mencatat bahwa dia tidak memiliki akses ke “penyesuaian prosedural untuk kecacatannya selama interogasinya”.
Mereka juga menggarisbawahi bahwa hukuman mati tidak boleh dilakukan pada penyandang disabilitas psikososial dan disabilitas intelektual yang serius.
Pihak berwenang Singapura telah menyatakan bahwa Nagaenthran mengetahui apa yang dia lakukan ketika dia melakukan pelanggaran.
Singapura telah lama memberlakukan hukuman mati bagi orang yang kedapatan membawa narkoba ke negara itu.
Namun ada amandemen undang-undang pada 2012, untuk memungkinkan hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup pada mereka yang ditemukan membawa obat-obatan dalam jumlah lebih kecil yang memberikan bantuan signifikan kepada jaksa atau dalam kasus "keterbelakangan pikiran".
Singapura belum melakukan eksekusi sejak 2019.
https://www.kompas.com/global/read/2021/11/09/170554270/pbb-serukan-untuk-singapura-batalkan-eksekusi-pria-keterbelakangan-mental