Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

"Post Truth" dan Tantangan Kebijakan Kemendikbudristek

Kompas.com - 17/04/2024, 11:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Istilah Post Truth sebelum dipopulerkan Oxford Dictionary beberapa tahun lalu, sudah dipakai Steve Tesich pada 1992 ketika Amerika Serikat diguncang skandal Watergate, Iran-Contra, dan sejumlah skandal lainnya.

Pada waktu itu, para politisi cenderung mengabaikan kebenaran. Kebenaran tidak lagi menjadi ukuran pemaknaan.

Kini, fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan politisi saja, tetapi telah menyebar sebagai kenyataan sosial di masyarakat.

Post-truth adalah iklim sosial politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak keyakinan meski fakta memperlihatkan hal berbeda.

Era pasca-kebenaran ditandai dengan beberapa indikasi, yaitu maraknya penyebaran informasi palsu atau hoaks, merebaknya emosi sosial, dan menguatnya populisme.

Situasi ini terjadi ketika semua orang begitu mudah menjadi pencipta maupun penyebar informasi ke jagat media sosial tanpa kewarasan memverifikasi dan mempertanyakan kredibilitas konten.

Di tengah semakin canggihnya teknologi digital, begitu mudahnya orang memunculkan berita-berita bohong untuk menciptakan kebencian dengan memanipulasi fakta. Kebencian ditanamkan dengan mengubah kata-kata, foto, bahkan video.

Situasi ini membawa sejumlah konsekuensi serius bagi masyarakat. Konsekuensi pertama adalah kemerosotan nilai kebenaran dan kedua meningkatnya intoleransi.

Dalam situasi seperti itu, publik akhirnya tak memperoleh informasi yang benar, terjadi cara berpikir dan beropini yang salah, masyarakat tidak percaya selain dengan kelompoknya, pengelompokan dan radikalisme menguat sehingga rawan terjadi perpecahan.

Untuk menangkal penyebaran hoaks, masyarakat dan media harus bergerak bersama-sama memverifikasi dan mengklarifikasi segala informasi.

Jika kultur ini dibangun bersama-sama, maka era pasca-kebenaran akan sirna dan tak perlu lagi ada peredaran berita palsu, ujaran kebencian, serta gerakan radikalisme.

Inilah tantangan Kemendikbudristek agar publik semakin cerdas memaknai setiap informasi yang didapatkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com