Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Post Truth" dan Tantangan Kebijakan Kemendikbudristek

Entah dari mana sumbernya, beberapa hari terakhir, ramai di media massa dan media sosial tentang keinginan Nadiem mengubah seragam sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Tanggapan beragam dari berbagai pihak muncul. Padahal aturan mengenai seragam sekolah telah dikeluarkan Kemdikbudristek sejak 2022 melalui Permendikbudristek No 50/2022 yang masih berlaku hingga sekarang dan tidak diubah.

Upaya Kemdikbudristek

Sebenarnya Kemendikbudristek sangat cepat merespons setiap misskonsepsi masyarakat terhadap kebijakannya.

Melalui laman Instagram Kemdikbud.ri, mereka kembali mengunggah aturan-aturan dalam penggunaan seragam sekolah sebagaimana yang dimaksud dalam Permendikbud No 50/2022.

Sebelumnya, menyangkut implementasi Kurikulum Merdeka, melalui siaran persnya Kemendikbudristek memastikan bahwa implementasi Kurikulum Merdeka tetap berjalan sebagaimana rencana.

“Mulai tahun ajaran 2022/2023 ini, Kurikulum Merdeka menjadi salah satu opsi yang dapat dipilih secara sukarela oleh satuan pendidikan,” tegas Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, pada Jumat (15/7/2022), di Jakarta.

Anindito juga menegaskan bahwa tidak ada pembatalan implementasi Kurikulum Merdeka. Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 044/H/KR/2022 yang ditandatangani 12 Juli 2022 adalah untuk menetapkan lebih dari 140.000 satuan pendidikan yang menerapkan Kurikulum Merdeka pada tahun ajaran 2022/2023.

“SK tersebut merevisi SK sebelumnya karena terdapat perubahan beberapa satuan pendidikan yang melakukan refleksi dan mengubah level implementasinya, misalnya dari level mandiri belajar ke mandiri berubah atau sebaliknya,” papar Anindito.

Anindito kembali menyampaikan bahwa Kemendikbudristek mendorong satuan pendidikan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kesiapan masing-masing satuan pendidikan.

“Kurikulum Merdeka dirancang untuk memberi fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk membuat kurikulum operasional satuan pendidikan yang kontekstual, agar pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan belajar murid,” ujar Anindito.

Ekstra Kurikuler Pramuka

Polemik tentang ekstra kurikuler Pramuka muncul setelah terbit Permendikbud No 12/2024 tentang ekstra kurikuler yang wajib diikuti oleh siswa.

Dalam Permendikbud tersebut Pramuka tetap menjadi ekstra kurikuler yang ada di sekolah, namun tidak wajib diikuti oleh siswa, dengan kata lain hanyalah ekstra kurikuler pilihan.

Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka Budi Waseso meminta Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 itu dicabut.

Menurut Budi, polemik penghapusan Pramuka dari ekstrakurikuler wajib bagi siswa menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi, kata Budi, memberikan arahan kepada Kwarnas terkait pembinaan karakter generasi muda.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo menegaskan bahwa setiap sekolah hingga jenjang pendidikan menengah wajib menyediakan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Merdeka.

Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah mewajibkan sekolah menyelenggarakan minimal satu ekstrakurikuler.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka juga mewajibkan satuan pendidikan untuk memiliki gugus depan.

Permendikbudristek 12/2024 tidak mengubah ketentuan bahwa Pramuka adalah ekstrakurikuler yang wajib disediakan sekolah. Sekolah tetap wajib menyediakan setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler, yaitu Pramuka.

Dalam praktiknya, Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 hanya merevisi bagian Pendidikan Kepramukaan dalam Model Blok yang mewajibkan perkemahan, menjadi tidak wajib.

Namun demikian, jika satuan pendidikan akan menyelenggarakan kegiatan perkemahan, maka tetap diperbolehkan. Selain itu, keikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler juga bersifat sukarela.

“UU 12/2010 menyatakan bahwa gerakan pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis. Sejalan dengan hal itu, Permendikbudristek 12/2024 mengatur bahwa keikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk Pramuka, bersifat sukarela,” papar Anindito.

Pendidikan Kepramukaan dalam Sistem Pendidikan Nasional diperkaya dengan pendidikan nilai-nilai gerakan pramuka dalam pembentukan kepribadian yang berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup.

Dengan seluruh pertimbangan tersebut, setiap peserta didik berhak ikut serta dalam Pendidikan Kepramukaan.

Sebagai informasi, Pendidikan Kepramukaan merupakan kegiatan ekstrakurikuler wajib dalam Kurikulum 2013.

Pendidikan Kepramukaan memiliki tiga model, yakni Blok, Aktualisasi, dan Reguler. Model Blok merupakan kegiatan wajib dalam bentuk perkemahan yang dilaksanakan setahun sekali dan diberikan penilaian umum.

Model Aktualisasi merupakan kegiatan wajib dalam bentuk penerapan sikap dan keterampilan yang dipelajari di dalam kelas yang dilaksanakan dalam kegiatan Kepramukaan secara rutin, terjadwal, dan diberikan penilaian formal.

Adapun Model Reguler merupakan kegiatan sukarela berbasis minat peserta didik yang dilaksanakan di gugus depan.

Kemendikbudristek memastikan akan memperjelas ketentuan teknis mengenai ekstrakurikuler Pramuka dalam Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka yang akan terbit sebelum tahun ajaran baru.

Post Truth jadi hantu kebenaran

Misskonsepsi atas berbagai kebijakan Kemendikbud ini tentu tidak lepas pada fenomena Post Truth (Pasca Kebenaran).

Istilah Post Truth sebelum dipopulerkan Oxford Dictionary beberapa tahun lalu, sudah dipakai Steve Tesich pada 1992 ketika Amerika Serikat diguncang skandal Watergate, Iran-Contra, dan sejumlah skandal lainnya.

Pada waktu itu, para politisi cenderung mengabaikan kebenaran. Kebenaran tidak lagi menjadi ukuran pemaknaan.

Kini, fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan politisi saja, tetapi telah menyebar sebagai kenyataan sosial di masyarakat.

Post-truth adalah iklim sosial politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak keyakinan meski fakta memperlihatkan hal berbeda.

Era pasca-kebenaran ditandai dengan beberapa indikasi, yaitu maraknya penyebaran informasi palsu atau hoaks, merebaknya emosi sosial, dan menguatnya populisme.

Situasi ini terjadi ketika semua orang begitu mudah menjadi pencipta maupun penyebar informasi ke jagat media sosial tanpa kewarasan memverifikasi dan mempertanyakan kredibilitas konten.

Di tengah semakin canggihnya teknologi digital, begitu mudahnya orang memunculkan berita-berita bohong untuk menciptakan kebencian dengan memanipulasi fakta. Kebencian ditanamkan dengan mengubah kata-kata, foto, bahkan video.

Situasi ini membawa sejumlah konsekuensi serius bagi masyarakat. Konsekuensi pertama adalah kemerosotan nilai kebenaran dan kedua meningkatnya intoleransi.

Dalam situasi seperti itu, publik akhirnya tak memperoleh informasi yang benar, terjadi cara berpikir dan beropini yang salah, masyarakat tidak percaya selain dengan kelompoknya, pengelompokan dan radikalisme menguat sehingga rawan terjadi perpecahan.

Untuk menangkal penyebaran hoaks, masyarakat dan media harus bergerak bersama-sama memverifikasi dan mengklarifikasi segala informasi.

Jika kultur ini dibangun bersama-sama, maka era pasca-kebenaran akan sirna dan tak perlu lagi ada peredaran berita palsu, ujaran kebencian, serta gerakan radikalisme.

Inilah tantangan Kemendikbudristek agar publik semakin cerdas memaknai setiap informasi yang didapatkan.

https://www.kompas.com/edu/read/2024/04/17/113020871/post-truth-dan-tantangan-kebijakan-kemendikbudristek

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke