Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Prof. Dr. phil. Al Makin, S.Ag. MA, kelahiran Bojonegoro Jawa Timur 1972 adalah Profesor UIN Sunan Kalijaga. Penulis dikenal sebagai ilmuwan serta pakar di bidang filsafat, sejarah Islam awal, sosiologi masyarakat Muslim, keragaman, multikulturalisme, studi minoritas, agama-agama asli Indonesia, dialog antar iman, dan studi Gerakan Keagamaan Baru. Saat ini tercatat sebagai Ketua Editor Jurnal Internasional Al-Jami’ah, salah satu pendiri portal jurnal Kementrian Agama Moraref, dan ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UIN Sunan Kalijaga periode 2016-2020. Makin juga tercatat sebagai anggota ALMI (Asosiasi Ilmuwan Muda Indonesia) sejak 2017. Selengkapnya di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al_Makin.

Apakah Sekolah Masih Perlu?

Kompas.com - 18/01/2024, 12:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM era serba disrupsi saat ini, wajar saja jika terbersit pertanyaan tentang peran sekolah dan kampus. Apakah sekolah masih diperlukan? Apakah kampus perlu dipertahankan?

Saat ini eranya serba disrupsi, sering terjadi interupsi, keganjilan, munculnya keanehan, anomali, dan perubahan mendadak.

Disrupsi merujuk pada sesuatu yang beda tampil dan tidak sama dengan hal-hal biasa. Tentu saja seperti sudah banyak dibincang, soal digitalisasi.

Banyak tokoh-tokoh sukses dalam berbagai bidang tanpa harus dididik di sekolah, kuliah, atau melewati pendidikan formal.

Kenyataannya, pendidikan tidak hanya didapat di kampus megah, gedung sekolah, atau hal-hal formal. Pendidikan tidak selalu dengan mengikuti pelajaran di kelas dan berjenjang yang membutuhkan waktu, ongkos, dan kesabaran. Haruskah kita mengikuti alur itu terus?

Nyatanya, saat ini, dengan adanya berbagai aplikasi online, semua serba terbuka aksesnya. Semua jenis informasi sudah tersedia di Google. Semua jenis pidato ditayang di Youtube, tinggal search dan klik.

Semua informasi mendadak bisa diikuti di Instagram dan Tiktok. Manusia tinggal membuka layanan lewat laptop ringan atau layer kecil telepon genggam.

Masih perlukah hadir di kelas pelajaran guru dan menerima tugas? Masihkan harus duduk lama berjam-jam dan bertahun-tahun? Bisakah semua itu diringkas dalam tayangan reel, postingan, atau tulisan-tulisan di website?

Begini, banyak orang sukses dalam ekonomi, seperti menjadi konglomerat, pemimpin sosial dan publik, dan bidang-bidang lain tidak bergelar sarjana.

Tidak harus S2, S3 bahkan guru besar. Tidak selalu. Bahkan tidak lulus SMA pun memimpin masyarakat. Lalu, apa perlunya sekolah?

Dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) minggu ini di Surabaya, banyak perserta membicarakan tantangan kampus, sekolah, dan pendidikan formal.

Era revolusi digital telah mempercepat tukar informasi, penyebaran berita, dan silang sengkarut pendapat. Semua dipercepat dengan instan. Apakah sekolah dan kampus siap?

Elon Musk, konglomerat sukses Amerika yang mendirikan Space-X dan Tesla, sering mengungkap bahwa pendidikan dan sekolah adalah dua hal berbeda.

Sekolah hanya menunjukkan kemampuan menyelesaikan tugas dari guru, seperti PR (Pekerjaan Rumah atau ujian), bukan mendidik.

Katanya lagi, Musk mengaku bukan lulusan Harvard atau sekolah terkenal. Namun orang-orang yang bekerja di bawahnya banyak yang lulusan Harvard dan kampus-kampus ternama di dunia.

Artinya yang tidak sarjana menjadi bos. Yang lulus dengan gelar S3, bergelar doktor dan menjadi profesor hanya menjadi pekerja biasa saja.

Pemilik modal, pendiri perusahaan, pemimpin ekonomi, dan penggerak masyarakat berada di komando atas. Sementara sekolah hanya menghasilkan para pencari kerja. Sekali lagi, apakah sekolah masih penting?

Fenomena kesuksesan di luar jalur formal sebetulnya bukan hal baru. Sejarah dunia ini menyumbangkan banyak contoh orang-orang di luar garis konvensional dan institusi formal telah sukses melebihi yang terdidik rapi dan berjenjang.

Bidang politik, ekonomi, bahkan ilmu pengetahuan banyak diwarnai orang di luar jalur sekolah.

Jengis Khan, Joseph Stalin, Isaac Newton, Elon Musk, Suharto, Hamka, Yesus, bahkan Nabi Muhammad SAW adalah seorang ummi (tentu banyak arti dalam banyak tradisi dan literatur, salah satunya tidak bisa membaca).

Konon, di masa lalu para raja dan penguasa banyak yang tidak bisa membaca dan menulis, toh akhirnya mereka mempunyai sekretaris dan mempekerjakan orang-orang pintar yang mengitarinya.

Para sekretaris, penghitung bintang, peramal, pujangga, atau arsitek candi membantu para raja.

Kata Niccolo Machiavelli, jika ingin mengukur kemampuan seseorang, lihatlah orang-orang yang mengelilingnya. Nasihat Machiavelli sederhana, jangan mengukur kemampuan orang langsung pada kualitas secara pribadi, tetapi teman-temannya.

Bukan siapa orang itu, tetapi bersama siapa dia bekerja. Tim menentukan hasil, kira-kira begitu dalam bahasa menajemen modern. Jadi, apakah sekolah diperlukan?

Bagaimana jika reformasi total, sekolah alam semua, merdeka sebebas-bebasnya?
Kenyataanya, tidak semua orang bisa belajar sendiri, mandiri, dan otodidak.

Ya betul kini Google, Youtube, Instagram, Tiktok, dan Twitter terbuka. Website semua lembaga dunia menyajikan informasi dan perkembangan. Namun berapa orang yang bisa mandiri belajar? Tidak banyak.

Tidak semua orang bisa otodidak seperti Hamka, misalnya. Tidak belajar khusus, tetapi menulis semua bidang, dari sastra hingga tafsir. Tidak semua orang bisa berjuang sendiri di luar sistem.

Dan orang-orang sukses di luar kewajaran itu sedikit sekali jumlahnya. Lebih banyak orang sukses melalui jalur formal. Hanya segelintir orang yang berprestasi di luar kewajaran, melewati semua rintangan, dan sukses menjadi konglomerat, orang hebat, dan memimpin masyakarat.

Ini kita sadari juga sebagai anugerah di luar kewajaran. Namun kebanyakan penduduk bumi dan termasuk manusia Indonesia harus melalui jalur pendidikan formal untuk mewujudkan cita-citanya. Jalur biasa dihuni mayoritas manusia.

Patut dicatat, dalam banyak riset selama pandemi covid-19, kelas pembelajaran tanpa tatap muka, bergantung pada alat online seperti Google Meet, Zoom, dan Whatsup, melahirkan turunnya kemampuan para siswa dalam bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap kira-kira 40 sampai 70 persen.

Siswa-siswa dari level dasar hingga perguruan tinggi bisa dikatakan lost generation, generasi hilang tanpa pembelajaran yang layak dan sesuai harapan.

Digitalisasi memudahkan menyebarnya informasi, tetapi ada isu yang lebih krusial. Soal moral, etika, dan norma.

Lihatlah media sosial Indonesia, penuh dengan ujaran kebencian, saling menyerang, berita bohong, dan saling memojokkan tanpa manfaat.

Bayangkan jika semua sekolah ditutup, semua kampus juga, maka yang ada adalah pendidikan Youtube, Tiktok, dan Instagram. Berapa persen anak-anak muda yang benar-benar belajar? Berapa besar jumlah mereka yang tidak terarah dan anarkistis?

Pendidikan formal bagi generasi muda sepertinya masih perlu. Begitu juga ajaran moral, etika dan norma harus dengan tauladan nyata, bukan virtual dalam dunia maya.

Figur guru, dosen, profesor hadir untuk itu. Contoh ilmuan, pemimpin sosial dan agama, kiai, ustaz, romo, pedande, bhante, dan imam tidak bisa digantikan dengan Youtube dan Instagram.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com