Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Menyoal Kewajiban Akademik Profesor Kehormatan

Kompas.com - 15/09/2023, 16:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PROFESOR merupakan jabatan akademik tertinggi yang mengemban fungsi sebagai penjaga akademik dan nilai-nilai ilmiah (the guardian of academic and scientific values).

Jabatan profesor dapat disematkan kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan dan ketentuan tertentu melalui dua jalur.

Yaitu jalur akademik bagi pemegang jabatan sebagai dosen atau peneliti, dan jalur non-akademik bagi mereka yang bekerja di luar perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian. Jalur terakhir lazim disebut Profesor Kehormatan (honorary professor).

Sejauh yang bisa ditelusuri, saat ini sejumlah non-akademisi Indonesia telah mendapatkan jabatan Profesor Kehormatan dari perguruan tinggi (PT) dalam dan/atau luar negeri.

Diantaranya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (Unhan RI); Megawati Soekarnoputri (Unhan RI, & Seoul Institute of the Arts (SIA), Korea Selatan); Terawan Agus Putranto (Unhan RI); Muhammad Syarifudin (Undip); Zainudin Amali (Unnes); Siti Nurbaya Bakar (UB); Fahmi Idris (UNP); Edi Slamet Irianto (Unissula); Yeheskiel Minggus Tiranda (Unissula); dan Yahya Zaenul Muarif atau Buya Yahya (Unissula).

Pengangkatan profesor kehormatan

Dalam regulasi dikenal dua varian Profesor Kehormatan. Keduanya dinisbatkan kepada akademisi (dosen dan peneliti), dan non-akademisi (WNI/WNA, politisi, birokrat, pejabat public, dll.).

Profesor Kehormatan bagi peneliti pada organisasi penelitian, pengembangan dan/atau pengkajian diatur di dalam Peraturan LIPI No. 15/2018, dan gelarnya adalah “Profesor Riset Kehormatan”.

Profesor Kehormatan bagi dosen dan non-akademisi pada Perguruan Tinggi (PT) diatur di dalam Permendikbudristek No. 38/2021, dan gelarnya adalah “Profesor Kehormatan (Prof. H.C.), menggantikan istilah “Profesor Tidak Tetap” yang digunakan sebelumnya pada Permendikbud No. 40/2012 dan No. 88/2013.

Profesor Kehormatan peneliti atau non-peneliti pada organisasi penelitian, pengembangan dan/atau pengkajian dikukuhkan oleh Majelis Profesor Riset (MPR) Instansi Pembina dan ditetapkan oleh Pimpinan Instansi Pembina.

Profesor Kehormatan dosen atau non-akademisi pada PT diangkat oleh Mendikbudristek, ditetapkan oleh dan atas usul pimpinan PT yang terakreditasi A atau unggul; dan memiliki program studi doktor terakreditasi A atau unggul yang sesuai dengan bidang kepakaran calon Profesor Kehormatan.

Seorang WNI/WNA non-akademisi dari berbagai latar belakang profesi (politisi, birokrat, dll.) dapat diusulkan dan diangkat menjadi Profesor Kehormatan jika memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan di dalam Peraturan LIPI atau Permen.

Majelis Profesor Riset (MPR) Instansi Pembina yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang atau Tim ahli yang dibentuk oleh Rektor dan Senat Universitas lah yang menilai dan mempertimbangkan kelayakan calon Profesor Kehormatan yang diusulkan telah/belum berdasarkan kriteria yang ditetapkan.

Seorang calon Profesor Kehormatan tidak harus memenuhi angka kredit dalam jumlah tertentu, sebagaimana disyaratkan kepada seorang akademisi (dosen/peneliti).

Gelar Profesor Riset Kehormatan dapat diberikan kepada WNI/WNA non-peneliti yang memiliki rekam jejak yang signifikan dalam perkembangan iptek dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi ekonomi dan masyarakat, serta menjadi teladan dan motivator bagi komunitas ilmiah dan masyarakat umum.

Sedangkan jabatan Profesor Kehormatan pada PT dapat dianugerahkan kepada setiap orang dari kalangan non-akademik yang memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit (tacit knowledge); dan memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapatkan rekognisi nasional dan/atau internasional.

Pengetahuan tacit merupakan pengetahuan yang diperoleh dan dikonstruksi di dalam pikiran seseorang sesuai dengan pemahaman dan pengalaman bersangkutan.

Pengetahuan ini tidak terstruktur, susah untuk didefinisikan dan diberitahukan dalam bahasa formal kepada orang lain, serta pembentukannya belum sesuai dengan kaidah keilmuan, namun memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) oleh dosen PT dan/atau peneliti lembaga-lembaga riset.

Sebaliknya, bagi dosen/peneliti yang akan menjadi calon Profesor jalur akademisi, syarat utamanya adalah memiliki explicit knowledge. Yaitu pengetahuan diperoleh dan dikonstruksi melalui riset dan pengembangan sesuai dengan metode dan kaidah keilmuan.

Bagi seorang dosen/peneliti explicit knowledge ini menjadi aspek penting untuk menunjukkan keahlian dan prestasi luar biasa di bidang akademik yang diwujudkan dalam bentuk karya-karya ilmiah seperti makalah, laporan penelitian, jurnal ilmiah, prosiding, serta buku-buku ataupun bentuk karya monumental lainnya.

Aspek substantif teoretis dan filosofis inilah yang kemudian memunculkan pro dan kontra mewarnai pengangkatan seorang non-akademik sebagai Profesor Kehormatan.

Publik juga mengkhawatirkan penganugerahan jabatan Profesor Kehormatan bersifat transaksional, menjadi instrumen balas budi, ajang membangun jaringan, serta perjanjian politik karena yang bersangkutan telah menyumbangkan uang dalam jumlah besar kepada perguruan tinggi pemberi jabatan Profesor Kehormatan.

Bukan karena yang bersangkutan benar-benar telah dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.

Jika tengara ini terjadi, maka organisasi penelitian, pengembangan atau pengkajian dan/atau PT dianggap telah melakukan “selling dignity” yang dapat mendegradasi dan menghilangkan wibawa dan marwah akademik organisasi penelitian, pengembangan atau pengkajian dan/atau PT yang selama berabad-abad sebagai pemegang dan pewaris tradisi akademik unggul.

Pencabutan dan Pemberhentian

Regulasi tentang pencabutan dan/atau pemberhentian jabatan Profesor Kehormatan hanya diatur di dalam Permen, dan tidak diatur di dalam Peraturan LIPI.

Tetapi tidak ada salahnya jika Permen juga menjadi rujukan, karena secara substantif tidak terlalu berbeda.

Pencabutan dan/atau pemberhentian jabatan Profesor Kehormatan pada PT dilakukan berdasarkan hasil evaluasi menteri.

Jika hasil evaluasi menemukan ada kriteria pengangkatan yang tidak terpenuhi, pencabutan jabatan dilakukan oleh Direktur Jenderal Kemdikbudristek atas nama Menteri, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah penetapan hasil evaluasi.

Permen menetapkan masa jabatan Profesor Kehormatan pada PT antara 3—5 tahun, dan dapat diperpanjang jika yang bersangkutan memiliki kinerja dan kontribusi nyata dalam melaksanakan tridarma.

Pemegang jabatan Profesor Kehormatan pada PT juga dapat diberhentikan, selain karena faktor usia, juga karena tidak berkinerja dan berkontribusi dalam pelaksanaan tridarma, serta karena memperoleh sanksi karena melanggar etika, disiplin, integritas akademik, dan hukum pidana.

Hal yang sangat menggelitik untuk didiskusikan lebih lanjut, karena ruang diskusi pun tampaknya senyap adalah klausul yang menyatakan bahwa pemegang jabatan Profesor Kehormatan pada PT dapat dicabut atau diberhentikan, jika tidak memiliki kinerja dan kontribusi nyata dalam melaksanakan tridarma pada PT yang mengangkatnya.

Tidak ada satupun pasal dalam Permen yang memberikan penjelasan terkait dengan hal itu. Peraturan implementasinya sejauh ini juga belum ditemukan.

Ada kekosongan regulasi tentang bagaimana evaluasi kinerja dan kontribusi seorang Profesor Kehormatan pada organisasi penelitian, pengembangan, dan/atau pengkajian maupun pada PT yang telah mengangkatnya, serta apa instrumentasi yang digunakan.

Keputusan bahwa yang bersangkutan tetap bisa menjabat dan/atau diperpanjang masa jabatannya menjadi sangat problematis.

Amar pasal 11 Permendikbudristek No. 38/2021 menyatakan bahwa Profesor Kehormatan pada PT berhak mendapatkan honorarium, jika berkinerja dan berkontribusi nyata dalam pelaksanaan tridarma. Istilah lain dari honorarium yang paling mungkin dan rasional adalah “Tunjangan Kehormatan Profesor” yang digunakan di dalam UU No. 14/2005 dan Permenristek-Dikti No. 20/2017.

Tunjangan kehormatan diberikan setiap bulan, besarannya sesuai status kepegawaiannya (PNS atau bukan). Tunjangan kehormatan bisa dicabut/dihentikan apabila yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban Khusus Profesor Kehormatan

Jika tafsir ini benar, maka kinerja dan kontribusi yang diharapkan dari seorang pemegang jabatan Profesor Kehormatan pada PT dan karenanya memperolah honorarium atau tunjangan kehormatan adalah jika yang bersangkutan telah melaksanakan dan memenuhi “Kewajiban Khusus” dalam siklus 3 (tiga) tahunan.

Berbeda dengan Profesor dari jalur akademik, Profesor kehormatan tidak memiliki kewajiban atau disyaratkan untuk melaksanakan tridarma PT melalui skema Beban Kerja Dosen setiap semester, dengan catatan yang bersangkutan adalah dosen dengan status tidak tetap.

Kewajiban khusus seorang Profesor, termasuk Profesor Kehormatan pada PT adalah menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat (UU No. 14/2005, pasal 49).

Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut di dalam Permenristek-Dikti No. 20/2017. Bahwa kinerja dan kontribusi yang diharapkan dari seorang pemegang jabatan Profesor Kehormatan adalah telah menghasilkan: (1) buku ajar/buku teks; (2) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, salah satunya sebagai penulis utama (penulis pertama atau penulis korespondensi); atau (3) paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi; atau (4) paling sedikit 1 (satu) paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak honorarium atau tunjangan kehormatan diterima (Pasal 8).

Kewajiban khusus yang diembankan kepada seorang Profesor Kehormatan ini sangat rasional. Seorang Profesor, termasuk Profesor Kehormatan merupakan jabatan akademik tertinggi pada PT yang mengemban fungsi sebagai penjaga akademik dan nilai-nilai ilmiah.

Keberadaannya juga merupakan parameter untuk menentukan kualitas dan tingkat kebersaingan PT yang mengangkatnya pada tataran nasional maupun internasional.

Seorang Profesor Kehormatan pada PT juga memiliki kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan, yang merupakan dua forum akademik bagi seorang Profesor untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan keluarbiasaan kompetensi, prestasi atau tacit knowledge sesuai bidang kepakarannya yang telah diakui secara nasional atau internasional.

Melalui forum itu pula seorang Profesor Kehormatan diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk kepentingan nasional, atau bahkan bisa memimpin kelompok akademisi untuk memecahkan masalah nasional dan berperan di tingkat internasional.

Tak menjadi soal, jika pemenuhan kewajiban khusus tersebut tidak dinilai dengan satuan sks sebagaimana diberlakukan pada professor jalur akademik.

Karena ukurannya adalah atas dasar jumlah banyaknya buku dan karya ilmiah yang telah dihasilkan. Pelaporan kewajiban khusus ini dilakukan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun.

Yang menjadi soal adalah apakah organisasi penelitian, pengembangan dan/atau pengkajian, atau PT yang telah menganugerahkan jabatan Profesor Kehormatan sudah ada/pernah melakukan evaluasi atas pemenuhan kewajiban khusus sebagai parameter kinerja dan kontribusi para pemegang jabatan Profesor Kehormatan yang telah diangkatnya?

Publik dan komunitas akademik tentu sangat menunggu jawaban atas pertanyaan tersebut. Hal ini sangat penting dan krusial sebagai bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas akademik dari lembaga pemberi gelar/jabatan, dan individu penyandang Profesor Kehormatan terhadap publik dan komunitas akademik.

Ketidakjelasan evaluasi dan hasilnya ini pula yang memicu polemik, kontroversi, dan/atau penolakan atas penganugerahan Profesor Kehormatan kepada kalangan non-akademik.

Sebaliknya, jika evaluasi dilakukan secara transparan dan akuntabel, niscaya polemik, kontroversi, dan/atau penolakan atas penganugerahan Profesor Kehormatan akan mereda, dan secara lambat-laun publik dan komunitas akademik akan menerima dengan arif dan hormat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com