Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr Hamidah Abdurrachman
Pakar Hukum Pidana

Pakar Hukum Pidana, peneliti, pengamat Kepolisian dan aktivis pelayanan hak-hak perempuan dan anak

Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan

Kompas.com - 12/09/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Data menunjukkan dari 117 responden, sebanyak 76,1 persen mengetahui telah terjadi kekerasan seksual di Kampus Unpar.

Bentuk kekerasan seksual beragam dengan komposisi terbesar pada bentuk: Ujaran diskriminasi atau pelecehan fisik; Ucapan, rayuan, lelucon, dan siulan seksual; Menyentuh, mengusap, meraba, dan menggosokan bagian tubuh tanpa persetujuan korban; Menyebarkan berita atau narasi seksual yang merusak martabat dan reputasi korban.

Pada 2022, ada 49 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dilaporkan pada Kelompok Kerja PPKS Kemendikbudristek. Kekerasan seksual tersebut melibatkan dosen PTN ataupun PTS hingga mahasiswa.

Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkup pendidikan. Di antara berbagai jenjang pendidikan, perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021 (Komnas Perempuan, 2021).

Sebagai kota pelajar di Indonesia, Yogyakarta memiliki rekam jejak yang mengkhawatirkan terkait kekerasan seksual.

Dilansir dari Warga Jogja Net (2021), angka kekerasan seksual yang diterima LBH Yogyakarta sejak Maret 2020 hingga April 2021 sebanyak 42 kasus.

LSM Rifka Annisa WCC, sejak Januari-April 2021, juga menerima aduan kekerasan seksual sebanyak 350 kasus yang terjadi di DIY.

Data tersebut tidak serta merta menjadi data keseluruhan kekerasan seksual yang terjadi. Berdasarkan survei yang dilakukan Kemendikbud Ristek pada 2020 di 29 kota pada 79 kampus, terdapat 63 persen kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap menjaga nama baik kampus (VOA Indonesia, 2022).

Penyebab maraknya kasus kekerasan seksual

Menurut pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan.

Jika ketiga variabel tersebut disatukan, maka dapat menimbulkan suatu intensi terjadinya kasus kekerasan seksual.

Apabila salah satu dari ketiganya ada yang tidak muncul, maka tindak kekerasan seksual tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terdapat beberapa penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, yakni:

Pertama, adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual. Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan lebih tinggi dibanding korban.

Salah satu kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah kasus yang dialami Ritika, tentu bukan nama sebenarnya, yang mendapat perbuatan tidak senonoh dosen pembimbingnya di taksi online yang mereka tumpangi setelah membicarakan ujian susulan pada Desember 2019 (Ferdianto, 2021).

Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat korban tidak memiliki ketakutan untuk melapor (Elindawati, 2021).

Kedua, budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya. Menurut Sophia Hage (DW, 2016), direktur kampanye di Lentera Sintas, ada stigma sosial bahwa isu kekerasan seksual tabu untuk dibicarakan.

Hal ini menjadi salah satu sinyal bahwa ketika korban berani melaporkan, justru masyarakat menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming).

Anggapan tersebut juga didukung hasil survei yang dilakukan Statista pada 2020 tentang faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di Indonesia, yaitu perilaku genit yang dilakukan oleh korban dan persepsi bahwa penggunaan baju yang cenderung terbuka oleh korban dapat mendorong terjadinya perilaku pelecehan.

Melalui data tersebut, terlihat bahwa masih adanya budaya victim-blaming yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Ketiga, kampus tidak menyediakan sarana pengawasan setelah proses perkuliah selesai. Aktifitas mahasiswa seolah lepas begitu saja tanpa monitor. Bahkan ketika sudah dibentuk TPKS atensi pimpinan belum memadai.

Di UI, misalnya, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia (Satgas PPKS UI) akan menutup sementara layanan penerimaan laporan kekerasan seksual di kampus akibat tidak diberikan dana atau bantuan operasional oleh pihak kampus.

Selain itu, edukasi terhadap mahasiswa di lingkungan kampus juga masih lemah. Akibatnya mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com