Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan

Awal tahun hingga Mei 2023, FSGI mencatat ada 202 anak yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah di bawah Kemendikbudristek dan Kementerian Agama.

Rincian datanya, pelaku kekerasan seksual merupakan guru: 31,80 persen; pemilik/pemimpin pondok pesantren: 18,20 persen; kepala sekolah: 13,63 persen; guru ngaji (satuan pendidikan informal): 13,63 persen; pengasuh asrama/pondok: 4,5 persen; kepala madrasah: 4,5 persen; penjaga sekolah: 4,5 persen; lainnya: 9 persen.

Berdasarkan modus, FSGI mencatat 13 modus pelaku untuk melakukan aksi bejat terhadap anak korban di sekolah dan satuan pendidikan lain.

Modus tersebut di antaranya dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik pondok pesantren (ponpes); evaluasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 WIB kemudian dicabuli.

Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku; Melapor bahwa telah dilecehkan teman sekolah ke kepala sekolah, malah dicabuli kepala sekolah di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan.

Pelaku bukan guru memulai modus berkenalan dengan anak korban melalui media sosial, lalu memasukkan korban ke grup Whatsapp teman sekolahnya, melakukan video call, mengirimi video porno, dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi SD dari sekolah yang sama.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2 persen dibanding tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus.

Lima bentuk kekerasan terhadap perempuan, yakni kekerasan fisik, penelantaran, kekerasan mental, trafficking, eksploitasi dan kekerasan seksual.

Ternyata, kasus kekerasan yang sering terjadi adalah kasus kekerasan seksual. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual di sekolah berbasis asrama maupun agama.

Kasus kekerasan seksual di sekolah berbasis asrama agama paling banyak terjadi di Jawa Barat.

Kementerian PPA memaparkan, pada 2019 jumlah kasus kekerasan terhadap anak tercatat 11.057 kasus. Pada 2020 meningkat 221 kasus menjadi 11.278.

Lalu, kenaikan signifikan terjadi pada 2021, yakni mencapai 14.517 kasus. Kenaikan signifikan berikutnya terjadi pada 2022 yang mencapai 16.106 kasus.

Jenis kekerasan yang diterima anak-anak didominasi oleh kekerasan seksual yang mencapai 9.588 kasus.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat sebanyak 37 kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pondok pesantren. Tak hanya itu, sebagian besar dari kasus itu merupakan kekerasan seksual.

Kita tentu belum lupa kasus kekerasan seksual yang terjadi di Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat.

Herry Wirawan terbukti melakukan perkosaan terhadap 13 santri dan telah dijatuhi hukuman mati. Putusan Kasasi menolak permohonan kasasi Herry dan tetap menjatuhkan hukum mati.

Kasus lain juga bermunculan, di beberapa wilayah Provinsi Lampung (Kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara dan Lampung Barat).

Kemudian Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Batang dan Kota Semarang). Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta (Kabupaten Gunung Kidul). Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Jember). Provinsi DKI Jakarta (Kota Jakarta Timur).

Sungguh ironis ancaman kekerasan seksual terhadap anak perempuan terjadi di banyak tempat.

Kekerasan seksual di lingkungan kampus

Satgas PPKS Unpar telah melakukan survei "Kondisi Awal Kekerasan Seksual Civitas Akademika Unpar" yang disebar pada minggu ke-3 dan ke-4 November 2022.

Data menunjukkan dari 117 responden, sebanyak 76,1 persen mengetahui telah terjadi kekerasan seksual di Kampus Unpar.

Bentuk kekerasan seksual beragam dengan komposisi terbesar pada bentuk: Ujaran diskriminasi atau pelecehan fisik; Ucapan, rayuan, lelucon, dan siulan seksual; Menyentuh, mengusap, meraba, dan menggosokan bagian tubuh tanpa persetujuan korban; Menyebarkan berita atau narasi seksual yang merusak martabat dan reputasi korban.

Pada 2022, ada 49 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dilaporkan pada Kelompok Kerja PPKS Kemendikbudristek. Kekerasan seksual tersebut melibatkan dosen PTN ataupun PTS hingga mahasiswa.

Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkup pendidikan. Di antara berbagai jenjang pendidikan, perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021 (Komnas Perempuan, 2021).

Sebagai kota pelajar di Indonesia, Yogyakarta memiliki rekam jejak yang mengkhawatirkan terkait kekerasan seksual.

Dilansir dari Warga Jogja Net (2021), angka kekerasan seksual yang diterima LBH Yogyakarta sejak Maret 2020 hingga April 2021 sebanyak 42 kasus.

LSM Rifka Annisa WCC, sejak Januari-April 2021, juga menerima aduan kekerasan seksual sebanyak 350 kasus yang terjadi di DIY.

Data tersebut tidak serta merta menjadi data keseluruhan kekerasan seksual yang terjadi. Berdasarkan survei yang dilakukan Kemendikbud Ristek pada 2020 di 29 kota pada 79 kampus, terdapat 63 persen kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap menjaga nama baik kampus (VOA Indonesia, 2022).

Penyebab maraknya kasus kekerasan seksual

Menurut pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan.

Jika ketiga variabel tersebut disatukan, maka dapat menimbulkan suatu intensi terjadinya kasus kekerasan seksual.

Apabila salah satu dari ketiganya ada yang tidak muncul, maka tindak kekerasan seksual tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terdapat beberapa penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, yakni:

Pertama, adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual. Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan lebih tinggi dibanding korban.

Salah satu kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah kasus yang dialami Ritika, tentu bukan nama sebenarnya, yang mendapat perbuatan tidak senonoh dosen pembimbingnya di taksi online yang mereka tumpangi setelah membicarakan ujian susulan pada Desember 2019 (Ferdianto, 2021).

Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat korban tidak memiliki ketakutan untuk melapor (Elindawati, 2021).

Kedua, budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya. Menurut Sophia Hage (DW, 2016), direktur kampanye di Lentera Sintas, ada stigma sosial bahwa isu kekerasan seksual tabu untuk dibicarakan.

Hal ini menjadi salah satu sinyal bahwa ketika korban berani melaporkan, justru masyarakat menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming).

Anggapan tersebut juga didukung hasil survei yang dilakukan Statista pada 2020 tentang faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di Indonesia, yaitu perilaku genit yang dilakukan oleh korban dan persepsi bahwa penggunaan baju yang cenderung terbuka oleh korban dapat mendorong terjadinya perilaku pelecehan.

Melalui data tersebut, terlihat bahwa masih adanya budaya victim-blaming yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Ketiga, kampus tidak menyediakan sarana pengawasan setelah proses perkuliah selesai. Aktifitas mahasiswa seolah lepas begitu saja tanpa monitor. Bahkan ketika sudah dibentuk TPKS atensi pimpinan belum memadai.

Di UI, misalnya, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia (Satgas PPKS UI) akan menutup sementara layanan penerimaan laporan kekerasan seksual di kampus akibat tidak diberikan dana atau bantuan operasional oleh pihak kampus.

Selain itu, edukasi terhadap mahasiswa di lingkungan kampus juga masih lemah. Akibatnya mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk. (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih berada pada tahap awal dalam kesadaran dan pemikiran kritis akan isu kekerasan seksual.

Salah satu bentuk kekerasan seksual, seperti penggunaan istilah seksis yang membuat tidak nyaman dan memberi komentar terhadap orang dengan istilah seksual yang merendahkan, masih cenderung mudah diabaikan atau kurang dipahami oleh mahasiswa (Alpian, 2022).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rusyidi dkk. pada tahun 2019 (dalam Alpian 2022), terdapat lima bentuk perilaku pelecehan seksual yang masih kurang dipahami oleh mahasiswa, yakni bergurau dengan menggunakan istilah-istilah seksis yang membuat tidak nyaman, memaksa seseorang menonton tayangan pornografi.

Kemudian memberi komentar terhadap seseorang dengan istilah seksual yang merendahkan, melakukan masturbasi di hadapan orang lain, dan tatapan tidak diinginkan ke wilayah kelamin pria.

Hal ini mengakibatkan rendahnya potensi mahasiswa untuk melakukan critical reflection, political efficacy, dan critical action untuk menghadapi isu kekerasan seksual.

Kasus yang lumrah terjadi adalah korban tidak menyadari atau bingung dengan kondisi yang dialaminya tergolong dalam kasus kekerasan seksual atau bukan (Munir, 2021).

Kendala penanganan kekerasan seksual di kampus:

1. Minimnya laporan atas kekerasan seksual

Fenomena ini akrab disebut dengan istilah fenomena gunung es (iceberg phenomenon), yakni kasus di permukaan belum tentu mencerminkan jumlah kasus sebenarnya karena dapat dipastikan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan atau diadvokasi oleh pihak kampus (BEM BIMA FIKOM UNPAD, 2020).

Dengan demikian, data cenderung terbatas pada data yang dilaporkan oleh korban pada pihak-pihak tertentu yang menangani kasus kekerasan seksual (Salampessy dalam VOI, 2021).

2. Pihak kampus menutupi kasus kekerasan seksual

Penelitian yang dilakukan Fitri dkk. (2021) mengungkapkan beberapa kasus atau kejadian kekerasan seksual di kampus, tetapi kasus yang ada cenderung ditutup-tutupi oleh pihak kampus.

Alasan utamanya adalah untuk mempertahankan reputasi kampus. Hal ini memunculkan kemungkinan terbentuknya kepercayaan atau pola pikir warga kampus bahwa kekerasan seksual tidak mungkin terjadi di lingkungan kampus karena merasa bahwa lingkungan tersebut sudah dinilai aman.

Akan tetapi, lingkungan kampus yang justru menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual (Nurmila dalam Dianti, 2021).

3. Adanya impunitas terhadap pelaku di lingkungan kampus yang lebih memberikan perlindungan terhadap pelaku demi menjaga nama baik institusi.

Bahkan sanksi terhadap perbuatan tersebut diberikan secara diam-diam dan korban dipaksa untuk melakukan mediasi sehingga terjadi perdamaian.

Komnas Perempuan mendorong agar kebijakan di seluruh jenjang lembaga pendidikan dijadikan ruang aman atau bebas dari kekerasan dengan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Kebijakan yang dibuat juga diminta lebih berpihak pada korban.

Lembaga pendidikan diimbau memberikan respons cepat terkait penanganan kekerasan seksual yang dialami peserta didik demi membangun kepercayaan terhadap hukum dalam pemenuhan hak atas keadilan untuk korban.

Selain itu, pelaku juga harus dihukum setimpal untuk mencegah terulang kembali kasus serupa.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/09/12/070000971/kekerasan-seksual-di-lingkungan-pendidikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke