Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggun Gunawan
Dosen

Anggun Gunawan merupakan dosen tetap di Program Studi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan dosen part-time di Sekolah Vokasi Universitas Indonesia Depok. Ia menyelesaikan S2 bidang Publishing Media dari Oxford Brookes University UK tahun 2020 dan S1 bidang Ilmu Filsafat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 2014, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar "Translation Copyright Transanction" di Jakarta dan Frankfurt Jerman dari Goethe Institut Indonesia.

MBKM dan Situasi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Kompas.com - 23/05/2023, 09:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENARIK mencermati artikel Dr. Siti Murtiningsih berjudul "Tiga Tahun Merdeka Belajar" yang dirilis oleh Koran Kompas, 17 Mei 2023. Ada tiga hal yang disorot oleh Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada itu.

Pertama, soal hakikat pendidikan yang seharusnya diarahkan untuk melahirkan manusia-manusia merdeka bukan untuk menyeragamkan pola pikir peserta didik sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara.

Pendidikan tidak sama dengan teaching (pengajaran), apalagi preaching (pemberian nasihat). Seharusnya pendidikan itu bersifat educating (mendidik).

Kedua, MBKM yang diintrodusir oleh Menteri Nadiem Makarim sejak awal 2020, hanya melahirkan kemerdekaan semu karena mahasiswa lebih diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan industri/dunia kerja dan gagal mengarah kepada pembangunan daya kritis dan adaptasi kompleksitas hidup.

Ketiga, interdisipliner dangkal yang tidak dilandasi pengkajian epistemologis yang khas masing-masing disiplin ilmu sehingga kebebasan mahasiswa untuk kuliah antarprodi hanya sebatas "suka-suka" dan mendapatkan pengetahuan baru tanpa kemampuan menyintesiskan displin yang berbeda antara prodi asalnya dengan prodi keduanya.

Semangat MBKM

Terobosan yang dilakukan oleh Nadiem lewat program "Merdeka Belajar Kampus Merdeka" sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari situasi existing pendidikan tinggi Indonesia, yaitu 87 persen mahasiswa Indonesia mengaku salah mengambil jurusan (riset Integrity Development Flexibility) dan 80 persen lulusan perguruan tinggi Indonesia bekerja tidak sesuai dengan jurusan ketika kuliah.

Kampus-kampus di luar negeri telah memiliki sistem yang terarah untuk mengakomodasi spektrum multiminat bagi mahasiswanya.

Di Oxford University, misalnya, ditawarkan program Bachelor, Politics Philosophy and Economics (PPE) yang merupakan pilihan kuliah artis muda Maudy Ayunda dan juga menjadi almamater S1 dosen pembimbing tesis S2 saya.

Prodi PPE ini memberikan tawaran mata kuliah lintas disiplin, tapi kemudian pada tahun terakhir mahasiswa dibebaskan untuk memilih konsentrasinya apakah fokus ke Politik, Filsafat atau Ekonomi.

Di Australia dan Amerika Serikat cukup populer program Bachelor ataupun Master Business and Education, Management and Education. Di Eropa ada kampus yang menawarkan program S1 Politics, International Relations and Psychology.

Yang terjadi di Indonesia adalah ketika seorang mahasiswa ingin mempelajari disiplin ilmu di luar tempat kuliah awalnya, maka ia harus kuliah di dua tempat/kampus berbeda.

Seringkali prodi pertama adalah pilihan orangtua, ikutan teman atau terbawa tren, kemudian barulah prodi kedua sebagai pilihan rasional atau sesuai minat setelah ia berkontemplasi atau tercerahkan.

Tentu saja kuliah di dua tempat sangat menguras waktu, tenaga, dan biaya. Dari pengalaman yang ada, sebagian dari mahasiswa yang memilih double kuliah dalam waktu bersamaan terpaksa meninggalkan salah satu kampus.

Penerapan policy multidisiplin pada satu jurusan/prodi di kampus-kampus Indonesia tidak bisa dilakukan secara radikal. Egoisme antarfakultas dan jurusan/prodi di Indonesia begitu mengakar.

UGM saja baru berhasil melakukan proses integrasi disiplin ilmu di level postgraduate lewat Sekolah Pascasarjananya.

Untuk jurusan-jurusan lintas disiplin kemudian dipayungi lewat Sekolah Pascasarjana dan di saat bersamaan program S2 dan S3 yang dikategorikan monodisiplin tetap berada di fakultas-fakultas.

Bisa dibayangkan ribet dan riwuhnya ketika sebuah kampus di Indonesia hendak mendirikan program sarjana PPE yang melingkupi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Filsafat/Ilmu Budaya dan Ekonomika Bisnis.

Akan terjadi kegoncangan yang dahsyat dan diskusi yang tak berkesudahan karena egosentrisme masing-masing fakultas yang masih kuat.

Padahal di luar negeri blended antarilmu yang memiliki rumpun berbeda itu bisa diakomodasi karena mereka tidak lagi mengarahkan payung disiplin ilmu kepada Fakultas, tapi lebih kepada School, Institute atau Center yang berbasis kepada area riset.

Leiden University contohnya, mereka memiliki Institute for Area Studies (LIAS) bagi mahasiswa yang memiliki riset studi kawasan dengan rentang ilmu yang beragam dari Hubungan Internasional sampai Sastra dan Center for Arts in Society (LUCAS) yang bisa diambil oleh peminat komunikasi, teknologi dan media serta pendidikan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com