Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Mendidik Anak-anak Merdeka

Kompas.com - 12/08/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sudah lama kita tidak punya lagi anak dalam arti yang sejati yang ada adalah orang dewasa mini, calon sumber daya manusia atau pun kader mini politik, kita juga sudah lama sekali tidak punya lagi guru dalam arti sejati yang ada hanyalah pawang, komandan, atau instruktur, pun kita sudah lama sekali tidak punya lagi sekolah dalam arti yang sejati yang ada hanyalah pabrik sumber daya manusia, kebon binatang atau tempat penaklukan - (YB Mangunwijaya)

Dalam dunia transportasi, sebuah perjalanan pertama-tama yang disiapkan bukanlah kendaraan, pengemudi, perbekalan atau rute jalan, melainkan tujuan perjalanan.

Demikian pula dalam dunia pendidikan yang mestinya disiapkan adalah mimpi mengenai gambaran manusia seperti apa yang hendak dihasilkan pendidikan kita dan sumbangan macam apa yang diharapkan dari para lulusan pendidikan kita, baru selanjutnya menyiapkan semua perangkat untuk mencapai visi itu.

Namun telah lama pendidikan kita berjalan tanpa visi yang dilandasi oleh sebuah mimpi yang mendalam.

Kurikulum dan perangkatnya justru menjadi yang terpenting disiapkan oleh kementerian. Padahal kurikulum bukan tujuan, melainkan hanya sebagian sarana untuk menjalankan visi pendidikan kita.

Pendidikan manusiawi

Romo Mangunwijaya menyebut sistem persekolahan kita sarat beban, anak hanyalah kertas kosong, peran guru hanya sebagai pawang atau instruktur bukan “guru sejati” yang mendampingi anak didik untuk berkembang.

Instansi pendidikan dianggap mendukung upaya penyeragaman dan kurang mengakomodir kepentingan masyarakat miskin yang merupakan massa mayoritas dalam dunia pendidikan Indonesia.

Pendek kata, pendidikan di Indonesia disebutnya sebagai pendidikan yang dehumanis, tidak manusiawi. Tidak ada guru sejati dan sekolah sejati, akibatnya lulusan yang dihasilkannya pun menjadi anak yang tidak sejati.

Bangsa kita masih terkungkung oleh paradigma dan kesadaran lama yang egoistik-hirarkik-eksploitatif. Baik dalam pergaulan antarpribadi maupun dalam kehidupan bersama sebagai bangsa.

Sebagian besar dari kita masih suka berpikir dengan cakrawala yang sempit, terkotak-kotak, bercita-rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas dan tidak dewasa.

Artinya, masih jauh dari kesadaran hidup bersama yang semakin saling memekarkan dan mencerdaskan, semakin adil dan damai.

Situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya para peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi.

Seluruh iklim masyarakat sekarang tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun memandang hidup adalah perjalanan evolusi raya dari geosfer atau pembentukan bumi, ke biosfer atau pembentukan organisme termasuk manusia, dan ke noosfer atau pembentukan lapisan kesadaran yang terus berlangsung hingga kini.

Dalam evolusi noosferik sendiri, manusia sedang mengalami emansipasi ke arah kesejatian kemanusiaannya semakin utuh, dari tahap kesadaran diri yang individualistik-egoistik-hirarkik-eksploitatif ke arah kesadaran hidup bersama yang demokratik-egalitarian-adil, yang ditandai dengan terkikisnya dari muka bumi ini struktur-struktur yang buas menindas, digantikan oleh struktur-struktur yang beradab dan berkeadilan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com