Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Guru Besar UPI: Keterlibatan Perempuan dalam Olahraga Masih Terganjal Persepsi Masyarakat

Kompas.com - 27/05/2022, 12:20 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

Pandangan tersebut sering kali menjadi penguat bahwa perempuan tidak pantas melakukan aktivitas olahraga yang membutuhkan kekuatan dan dominan, dua hal yang merupakan ciri maskulinitas.

Baca juga: Sri Mulyani: Ketimpangan Gender di Indonesia Masih Cukup Besar

“Sejak sebelum lahir anak perempuan dan laki-laki diperlakukan berbeda. Orangtua membuat persiapan yang sudah membedakan; perlengkapan biru untuk anak laki-laki dan merah jambu untuk anak perempuan,” jelasnya.

Nina juga menyebutkan, tuntutan pada kepatuhan dan konformitas bagi anak perempuan selama masa awal pertumbuhan menuntun anak perempuan berbakat ke peranan prestasi kurang di dalam masyarakat.

Partisipasi perempuan dan hambatannya

Lebih lanjut, Nina mengungkapkan, saat ini terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas perempuan yang berperan dalam dunia olahraga.

Partisipasi wanita dalam olahraga prestasi, baik sebagai atlet maupun pelatih mengalami peningkatan signifikan.

Data jumlah perempuan yang berpartisipasi, antara lain 40 persen medali Indonesia pada Asian Games 2019 disumbangkan atlet putri.

Baca juga: Anak Laki-laki Lebih Jago Olahraga Dibanding Anak Perempuan, Benarkah?

Kemudian, terdapat 28 atlet olimpiade yang berangkat ke Tokyo pada 2021 dengan 13 di antaranya merupakan atlet putri.

Padahal, jika berkaca pada Pekan Olahraga Nasional (PON) Pertama di Solo pada 1948, jumlah atlet putri hanya sekitar 10 persen, yakni 9 atlet dari 87 peserta.

“Pada PON Jawa Barat (Jabar) 2016, atlet putri mencapai 47.5 persen, sedangkan pada PON Papua 2020 semakin meningkat jumlahnya dan hampir semua nomor diikuti perempuan,” paparnya.

Nina menyebutkan, meski keterlibatan perempuan dalam olahraga tingkat tinggi meningkat, masih ada beberapa hambatan, terutama terkait dengan dimensi sosiologi, yakni opini masyarakat.

“Ada beberapa isu yang menyertai keterlibatan wanita dalam olahraga. Pertama adalah adanya budaya turun temurun, yang memilah olahraga layak dan tidak layak untuk kaum wanita,” ungkapnya.

Baca juga: Perempuan Makin Banyak yang Menonton E-sport

Dia memaparkan, terdapat olahraga seperti, sepak bola, tinju, hingga gulat yang digolongkan sebagai olahraga maskulin.

Pelabelan “jalingkak” menjadi alasan utama sehingga dampaknya tidak banyak anak perempuan yang mendapat dukungan, walaupun memiliki potensi.

Isu kedua adalah lingkungan keseharian anak perempuan. Mereka selalu diidentikan dengan kelemahlembutan, sedangkan anak laki-laki sebagai sosok hebat, kuat, dan perkasa.

“Komentar ‘pukulanmu lembek seperti anak perempuan’ ketika anak laki-laki memukul dengan lemah atau ‘larimu hebat seperti anak laki-laki’ ketika anak perempuan bisa berlari kencang, lumrah terlontar di masyarakat,” ujarnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com