EUFORIA pendukung timnas Indonesia pada gelaran Piala Asia U23 sangat luar biasa. Gelora tersebut sudah tercium saat timnas memastikan diri lolos pada putaran final.
Banyak orang dari berbagai elemen masyarakat tidak sabar melihat aksi para punggawa muda berjibaku di lapangan. Terlebih lagi, di kelas senior ada gambaran permainan yang bisa diharapkan.
Sempat kecewa pada babak pembuka melawan tuan rumah Qatar lantaran sikap wasit, suporter Indonesia tetap berada pada garis terdepan meneriakan dukungan di laga selanjutnya.
Atmosfer dukungan luar biasa tersebut dapat dilihat pada pertandingan babak 8 besar melawan Korea Selatan.
Stadion Abdullah bin Khalifa begitu berisik dengan nyanyian dari pendukung timnas. Sedikit banyak itu memengaruhi mental pemain.
Alhasil dalam adu pinalti, sekalipun sempat dibuat jantungan, para pemain timnas berhasil membuktikan bahwa mereka tidak sendirian.
Namun paling menarik sebenarnya juga dapat dilihat pada euforia masyarakat Indonesia. Kendati pertandingan digelar tengah malam, antusiasme dukungan tetap lantang. Seluruh elemen masyarakat seperti sedang berkumpul menonton di balik layar (nobar).
Bukan hanya pencinta sepak bola, dari kalangan anak-anak sampai ibu-ibu, semua ikut meramaikan. Mulai dari tempat nongkrong, pinggir jalan, pasar, di atas kapal, sampai gang-gang kecil kampung, semua berteriak adu emosi melihat timnas.
Sebagai guru, fenomena ini saya bawa ke dalam kelas sebagai pemantik pembelajaran. Siapa yang semalam nonton Indonesia? Hampir seisi kelas mengangkat tangan, termasuk para siswi. Para guru lain dengan pertanyaan serupa, jawabannya juga sama. Mereka semua begadang.
Artinya, euforia mendukung timnas ini adalah bukti bahwa rakyat sangat butuh pemersatu sekaligus menandakan masih begitu tinggi nasionalisme itu.
Di satu sisi kita tahu persoalan politik begitu menjemukkan, korupsi, perampasan tanah, pendidikan, dan lain sebagainya—yang membelit bangsa ini, ternyata dengan hadirnya timnas, persatuan suara dan dukungan itu masih ada.
Kita sebagai rakyat seperti masih punya harapan untuk menempelkan prestasi pada nama besar bangsa ini. Ada sejarah yang ingin bangsa ini tulis dan abadikan. Harapan itu ada pada olahraga.
Beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan seorang guru kindergarten Jerman yang seorang WNI, Vicky Anastasha.
Dialog ini mulanya ingin mengenal lebih dekat peta konsep dan pikiran pendidikan di Jerman. Mengingat cara berpikir kita saat membicarakan pendidikan selalu berkiblat pada Barat, khususnya Finlandia dan negara lainnya.
Dari dialog tersebut, ternyata dapat diketahui bahwa pendidikan dasar di Jerman tidak mengenal apa itu kurikulum.