Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfian Bahri
Guru Bahasa Indonesia

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Euforia Piala Asia U23: Nasionalisme, Pendidikan, dan Olahraga

Kompas.com - 28/04/2024, 16:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Vicky menjelaskan, orientasi belajar di Jerman memuat sepuluh orientasi dasar pembelajaran dan pengajaran. Paling utama dan pertama disebut adalah orientasi pada bidang olahraga (sport).

Lalu dilanjut nutrisi-kesehatan, kecintaan bahasa lokal, interaksi sosial-budaya, estetika-musik, agama-etika, matematik, sains-teknologi, ekologi, dan terakhir media pendukung.

Kalau kita cermati, komposisi urutan tersebut cukup berbanding lurus dengan Indonesia. Olahraga bagi pendidikan dasar Jerman adalah prioritas utama.

Saat ditanya lebih lanjut, Vicky menjelaskan bahwa orang Jerman percaya dan meyakini kalau unsur gerak dan aktivitas yang sehat memiliki peranan penting dalam pendidikan dasar. Dan olahraga menjawab kebutuhan hal tersebut.

Perlu dipahami juga, olahraga selain memberi manfaat bagi tubuh, pada taraf kompetensi juga sangat berdampak pada pikiran kedewasaan.

Sebab, di dalam olahraga yang sering dan selalu ditekankan adalah profesionalitas, sportivitas, dan kedisiplinan. Karakter tersebut cukup relevan untuk dijadikan dasar dalam pendidikan karakter tingkat awal.

Berkaca dari hal tersebut, Indonesia masih sangat jauh dari ideal. Berapa banyak sekolah di Indonesia yang untuk ketersediaan lapangan saja begitu terbatas? Dipercaya atau tidak, terkadang lapangan sekolah beralihfungsi menjadi lahan parkir.

Dalam banyak kasus juga, anak-anak yang main bola atau aktivitas olahraga lainnya di jam istirahat mendapat teguran.

Sulit memungkiri, dukungan alat, sarana, dan prasarana terhadap banyak jenis olahraga cukup minim dan nyaris terbatas. Berapa banyak sekolah yang memiliki lapangan badminton, voli, tenis, dan basket?

Jangankan lapangan, alat untuk penunjangnya saja terkadang tidak tersedia. Sekalipun alatnya ada, persoalannya cukup klasik, tidak ada instruktur atau pelatih pendampingnya. Tolok ukur paling gampang untuk masalah ini, dapat dilihat pada ketersediaan lapangan futsal.

Futsal yang kategorinya adalah olahraga familiar dan mayoritas, sekolah gagal memfasilitasinya. Lapangan jadi lahan parkir. Tidak ada support sistem dalam pengelolahannya.

Mentok jenis olahraga umum yang ada di sekolah adalah pencak silat dan jenis bela diri lainnya. Itu pun masuk dalam kelompok ekstrakulikuler, yang artinya memang opsional.

Persoalan ini belum menyangkut jenis olahraga yang lebih un-familiar, seperti catur, bersepeda, bowling, panahan, berkuda, dan sejenisnya. Tentu semakin kurang mendapat tempat dan waktu.

Jadi tidak mengherankan bila pada akhirnya Indonesia kurang bisa berbicara banyak pada ajang seperti olimpiade dan sejenisnya. Karena memang pendidikan dan iklim kita tidak memiliki bekal untuk itu.

Support Nonhuman

Pemerintah sudah saatnya mengubah paradigma berpikirnya dalam membuat kebijakan. Selama ini orientasi tambal sulam kebijakannya masih sebatas utak-atik faktor human (SDM). Belum menyentuh sedikit pun pada kesadaran terhadap peran nonhuman (sarana, prasarana, dan properti).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com