Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Farida Azzahra
Tenaga Ahli DPR

Tenaga Ahli DPR RI

Salah Kaprah Memahami Hak atas Pendidikan di Indonesia

Kompas.com - 26/05/2024, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM kelar persoalan kesejahteraan tenaga pendidik, kini masyarakat tengah dilanda kekecewaan kembali atas kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi pada masyarakat.

Pendidikan tinggi ini tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak semua lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya pilihan,” begitulah pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie menanggapi protes masyarakat atas kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) saat ini.

Sebelumnya, Kemendikbudristek telah menerbitkan Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 yang menjadi landasan bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memperbaharui kebijakan UKT yang kemudian menimbulkan protes besar-besaran lantaran dinilai merugikan mahasiswa.

Kebijakan UKT di Indonesia telah berlangsung sejak diterapkannya Permendikbudristek No.55 Tahun 2013.

Adapun UKT merupakan biaya pembelajaran yang dikenakan pada mahasiswa untuk setiap semester yang didasarkan pada kemampuan ekonomi orangtua atau wali mahasiswa.

Penerapan UKT dimaksudkan untuk meringankan beban biaya pendidikan bagi mahasiswa serta memberikan aksesibilitas pendidikan tinggi dengan mengurangi disparitas biaya pendidikan di antara lapisan masyarakat. Sebelumnya dilakukan penyamarataan penerapan biaya kuliah per semester untuk seluruh mahasiswa.

Namun, alih-alih meringankan, pengaturan baru terkait UKT justru merugikan mahasiswa.

Imbas dari adanya pembaharuan kebijakan UKT yang diatur dalam Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 tersebut adalah naiknya biaya UKT di berbagai universitas yang dapat mencapai lebih dari 50 persen.

Ya, sejak ditetapkannya sebagai Badan Hukum, PTN memiliki keleluasaan dan otonomi untuk mengelola keuangannya sendiri.

Salah satu contoh naiknya UKT dapat terlihat dari kebijakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Prodi Ekonomi Pembangunan, misalnya, seorang mahasiswa baru harus membayar UKT sebesar Rp 9,5 juta untuk kelompok 5, naik dari sebelumnya sebesar Rp 2,8 juta (Kompas.com).

Kenaikan tersebut dinilai semakin mempersempit akses masyarakat untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi

Bukan kemewahan

Memperoleh pendidikan menjadi hak dasar warga negara yang telah dijamin konstitusi. Meskipun konstitusi hanya mengamanatkan kewajiban pemerintah dalam membiaya pendidikan dasar, tetapi bukan berarti melepaskan tanggung jawab pemerintah dalam memperluas akses pendidikan masyarakat hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Sebagaimana yang menjadi komitmen Obama terhadap warga Amerika Serikat, bahwa pendidikan tinggi tidak boleh menjadi kemewahan, melainkan suatu kebutuhan ekonomi yang harus dapat dijangkau oleh setiap masyarakat.

Begitu pula seharusnya pemerintah Indonesia menunjukan komitmen dan keseriusannya untuk mempermudah akses pendidikan setinggi-tingginya kepada masyarakat.

Tentu menjadi ironi ketika pemerintah melepas tanggung jawab membuka akses pendidikan dan menempatkan pendidikan tinggi sebagai pilihan yang tidak wajib ditempuh masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com