Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfian Bahri
Guru Bahasa Indonesia

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Euforia Piala Asia U23: Nasionalisme, Pendidikan, dan Olahraga

Kompas.com - 28/04/2024, 16:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

EUFORIA pendukung timnas Indonesia pada gelaran Piala Asia U23 sangat luar biasa. Gelora tersebut sudah tercium saat timnas memastikan diri lolos pada putaran final.

Banyak orang dari berbagai elemen masyarakat tidak sabar melihat aksi para punggawa muda berjibaku di lapangan. Terlebih lagi, di kelas senior ada gambaran permainan yang bisa diharapkan.

Sempat kecewa pada babak pembuka melawan tuan rumah Qatar lantaran sikap wasit, suporter Indonesia tetap berada pada garis terdepan meneriakan dukungan di laga selanjutnya.

Atmosfer dukungan luar biasa tersebut dapat dilihat pada pertandingan babak 8 besar melawan Korea Selatan.

Stadion Abdullah bin Khalifa begitu berisik dengan nyanyian dari pendukung timnas. Sedikit banyak itu memengaruhi mental pemain.

Alhasil dalam adu pinalti, sekalipun sempat dibuat jantungan, para pemain timnas berhasil membuktikan bahwa mereka tidak sendirian.

Namun paling menarik sebenarnya juga dapat dilihat pada euforia masyarakat Indonesia. Kendati pertandingan digelar tengah malam, antusiasme dukungan tetap lantang. Seluruh elemen masyarakat seperti sedang berkumpul menonton di balik layar (nobar).

Bukan hanya pencinta sepak bola, dari kalangan anak-anak sampai ibu-ibu, semua ikut meramaikan. Mulai dari tempat nongkrong, pinggir jalan, pasar, di atas kapal, sampai gang-gang kecil kampung, semua berteriak adu emosi melihat timnas.

Sebagai guru, fenomena ini saya bawa ke dalam kelas sebagai pemantik pembelajaran. Siapa yang semalam nonton Indonesia? Hampir seisi kelas mengangkat tangan, termasuk para siswi. Para guru lain dengan pertanyaan serupa, jawabannya juga sama. Mereka semua begadang.

Artinya, euforia mendukung timnas ini adalah bukti bahwa rakyat sangat butuh pemersatu sekaligus menandakan masih begitu tinggi nasionalisme itu.

Di satu sisi kita tahu persoalan politik begitu menjemukkan, korupsi, perampasan tanah, pendidikan, dan lain sebagainya—yang membelit bangsa ini, ternyata dengan hadirnya timnas, persatuan suara dan dukungan itu masih ada.

Kita sebagai rakyat seperti masih punya harapan untuk menempelkan prestasi pada nama besar bangsa ini. Ada sejarah yang ingin bangsa ini tulis dan abadikan. Harapan itu ada pada olahraga.

Belajar dari Pendidikan Jerman

Beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan seorang guru kindergarten Jerman yang seorang WNI, Vicky Anastasha.

Dialog ini mulanya ingin mengenal lebih dekat peta konsep dan pikiran pendidikan di Jerman. Mengingat cara berpikir kita saat membicarakan pendidikan selalu berkiblat pada Barat, khususnya Finlandia dan negara lainnya.

Dari dialog tersebut, ternyata dapat diketahui bahwa pendidikan dasar di Jerman tidak mengenal apa itu kurikulum.

Vicky menjelaskan, orientasi belajar di Jerman memuat sepuluh orientasi dasar pembelajaran dan pengajaran. Paling utama dan pertama disebut adalah orientasi pada bidang olahraga (sport).

Lalu dilanjut nutrisi-kesehatan, kecintaan bahasa lokal, interaksi sosial-budaya, estetika-musik, agama-etika, matematik, sains-teknologi, ekologi, dan terakhir media pendukung.

Kalau kita cermati, komposisi urutan tersebut cukup berbanding lurus dengan Indonesia. Olahraga bagi pendidikan dasar Jerman adalah prioritas utama.

Saat ditanya lebih lanjut, Vicky menjelaskan bahwa orang Jerman percaya dan meyakini kalau unsur gerak dan aktivitas yang sehat memiliki peranan penting dalam pendidikan dasar. Dan olahraga menjawab kebutuhan hal tersebut.

Perlu dipahami juga, olahraga selain memberi manfaat bagi tubuh, pada taraf kompetensi juga sangat berdampak pada pikiran kedewasaan.

Sebab, di dalam olahraga yang sering dan selalu ditekankan adalah profesionalitas, sportivitas, dan kedisiplinan. Karakter tersebut cukup relevan untuk dijadikan dasar dalam pendidikan karakter tingkat awal.

Berkaca dari hal tersebut, Indonesia masih sangat jauh dari ideal. Berapa banyak sekolah di Indonesia yang untuk ketersediaan lapangan saja begitu terbatas? Dipercaya atau tidak, terkadang lapangan sekolah beralihfungsi menjadi lahan parkir.

Dalam banyak kasus juga, anak-anak yang main bola atau aktivitas olahraga lainnya di jam istirahat mendapat teguran.

Sulit memungkiri, dukungan alat, sarana, dan prasarana terhadap banyak jenis olahraga cukup minim dan nyaris terbatas. Berapa banyak sekolah yang memiliki lapangan badminton, voli, tenis, dan basket?

Jangankan lapangan, alat untuk penunjangnya saja terkadang tidak tersedia. Sekalipun alatnya ada, persoalannya cukup klasik, tidak ada instruktur atau pelatih pendampingnya. Tolok ukur paling gampang untuk masalah ini, dapat dilihat pada ketersediaan lapangan futsal.

Futsal yang kategorinya adalah olahraga familiar dan mayoritas, sekolah gagal memfasilitasinya. Lapangan jadi lahan parkir. Tidak ada support sistem dalam pengelolahannya.

Mentok jenis olahraga umum yang ada di sekolah adalah pencak silat dan jenis bela diri lainnya. Itu pun masuk dalam kelompok ekstrakulikuler, yang artinya memang opsional.

Persoalan ini belum menyangkut jenis olahraga yang lebih un-familiar, seperti catur, bersepeda, bowling, panahan, berkuda, dan sejenisnya. Tentu semakin kurang mendapat tempat dan waktu.

Jadi tidak mengherankan bila pada akhirnya Indonesia kurang bisa berbicara banyak pada ajang seperti olimpiade dan sejenisnya. Karena memang pendidikan dan iklim kita tidak memiliki bekal untuk itu.

Support Nonhuman

Pemerintah sudah saatnya mengubah paradigma berpikirnya dalam membuat kebijakan. Selama ini orientasi tambal sulam kebijakannya masih sebatas utak-atik faktor human (SDM). Belum menyentuh sedikit pun pada kesadaran terhadap peran nonhuman (sarana, prasarana, dan properti).

Pemerintah harus memandang bahwa manusia tetaplah makhluk teknologi. Teknologi dalam hal ini bukan tentang mekanisme mesin digital atau sejenisnya, melainkan suatu bentuk alat bantu bertahan hidup.

Memakai pengertian posthumanisme, bahwa manusia adalah teknologi itu sendiri. Hubungan manusia dengan teknologi dalam arti ini tidak bisa dilepaskan.

Kalau hewan bertahan hidup dengan kemampuan yang melekat pada tubuhnya (cumi-cumi dengan tintanya, harimau dengan taringnya, ular dengan bisanya, dsb), sedangkan manusia bertahan hidup dengan teknologinya.

Artinya, pemerintah harus sadar bahwa peran teknologi sangatlah penting sebagai bekal bertahan dan keadaptifan. Teknologi dalam kajian pendidikan dan sekolah tentu merujuk pada support sistem (nonhuman), yaitu berupa sarana prasarana.

Kalau dipikir lebih jernih, sebenarnya pemenuhan sarana prasarana lebih mudah diimplementasikan ketimbang utak-atik kebijakan yang berorientasi pada kurikulum. Sarana prasarana ini wujudnya jelas, materinya nampak, dan untuk memenuhi itu cukup membutuhkan pendanaan (uang).

Saat nonhuman ini terpenuhi, konsekuensi logis atas hal tersebut adalah ketertarikan aksi dan implementasi itu sendiri. Setidaknya dengan mulai ada dan tersedianya suatu alat bantu atau support nonhuman, seorang siswa akan mendapat gambaran aktivitas.

Suatu cerita, ada anak yang suka olahraga badminton. Ketika dia diajak datang ke gelanggang olahraga lengkap, si anak begitu semangat dan gembira.

Orangtua saat itu mulanya hanya ingin mengajak si anak jalan-jalan dan melihat-lihat. Namun, berhubung di sana ada support nonhuman yang lengkap (lapangan, raket, sepatu, papan skor, tribun, dsb), secara otomatis intuitif dan ketertarikan si anak muncul.

Dari sanalah sebenarnya pendidikan karakter bermula. Belajar bukan lagi soal motivasi eksternal dari human ke human, melainkan dari non human ke human.

Saat pemerintah menyadari betapa krusialnya hal tersebut, rasanya bukan lagi mimpi bahwa lagu Indonesia Raya dapat berkumandang di semua ajang olahraga dunia. Saat itu terjadi, nasionalisme rasanya sudah tidak perlu diperdepatkan kembali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com