Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Psikologi Unair: Selain Konseling, Korban Kekerasan Seksual Butuh Hal Ini

Kompas.com - 29/12/2021, 20:00 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Rasa luka yang timbul akibat kejahatan dan kekerasan seksual berujung pada stres besar dalam hidup atau biasa disebut sebagai trauma. Kondisi itu, jangan sekali-sekali dianggap remeh.

Apalagi, jika rasa sakit secara psikis juga dibarengi sakit secara fisik. Hal ini, ditegaskan oleh Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (Unair) Margaretha Rehulina.

Ia mengatakan, korban kejahatan seksual harus segera mendapatkan bantuan konseling oleh profesional. Bisa melalui psikolog atau psikiater.

“Keluarga atau lingkungan masyarakat sangat penting untuk membantu korban. Misalnya bantuan mengakses layanan konseling agar korban dapat melanjutkan hidupnya kembali,” katanya dikutip dari laman Unair.

Baca juga: 21 Bentuk Kekerasan Seksual di Kampus dalam Permendikbud 30

1. Mempercayai korban

Berbicara mengenai kesehatan mental korban kejahatan seksual, fakta yang terjadi cukup miris. Pasalnya, orang terdekat seringkali tidak percaya pada cerita korban.

“Jika masih terlalu kecil, dianggap 'ah anak-anak membuat fantasi mungkin'. Atau ketika dia sudah besar dianggap berbohong. Nah ini yang Justru malah menumpulkan keinginan korban untuk mencari bantuan. Akhirnya si korban akan tambah terpuruk dengan luka kejahatan seksual,” ucap dosen yang kerap disapa Retha itu.

2. Beri waktu ekspresikan emosi

Tahapan berikutnya usai mempercayai cerita korban adalah memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan emosinya. Perlu dipahami, tutur Retha, berbagai emosi dapat muncul secara alamiah ketika tubuh kita dijarah oleh seseorang.

Bisa merasa marah, sedih, menangis, malu, bisa juga diam. Itu terjadi baik pada orang dewasa, anak kecil, maupun pada laki-laki.

Baca juga: Pakar Psikologi Unair: Begini Cara Membantu Korban Kekerasan Seksual

“Nah ini jangan dipaksa untuk dikendalikan emosinya. Saya pernah lihat ada orang menangis dibilang jangan menangis kamu harus kuat. Atau sudah, bangkit, jangan ingat masa lalu,” terangnya.

Retha menyampaikan, kondisi itu berbeda pada setiap orang. Ada beberapa orang yang butuh waktu lebih lama untuk memproses emosinya.

Untuk itu, setidaknya orang terdekat membantu dengan mendengarkan atau memberikan akses kepada konseling profesional.

“Kita perlu menyediakan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan, memahami, dan mengelola emosinya hingga suatu saat dia yang mengendalikan sendiri emosinya,” tekan Retha.

3. Tidak perlu mengungkit cerita

Di samping itu, keluarga juga perlu memberikan dukungan terbaik dengan tidak terus-menerus mengulang cerita tentang luka dan trauma korban. Yang sering terjadi di Indonesia, ujarnya, orang-orang terlalu banyak menggali informasi yang tidak dibutuhkan.

Baca juga: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia

“Jadi kalau memang membantu korban kejahatan seksual tidak perlu bergunjing, tidak perlu mengetahui detail, karena tidak perlu semua orang tahu informasi ini. Justru keluarga harus menjaga kerahasiaan tidak perlu informasi ini dibongkar untuk semua tanpa tujuan,” katanya.

Alih-alih untuk menggali informasi, lebih baik memberikan dukungan. Misalkan memfasilitasi minat dan potensi korban untuk melanjutkan hidupnya. Tanpa harus menggali detail traumanya apalagi mempergunjingkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com