Oleh: Arki Sudito*
KOMPAS.com - MASIH ingatkah Anda saat fase awal penyebaran virus Covid-19? Ketika itu, banyak pemimpin dunia beserta jajaran intelektualnya cukup percaya diri bahwa virus ini tidak akan masuk ke negara mereka.
Kemudian setelah penyebaran virus telah terbukti, ada saja yang beranggapan virus ini tidak lebih berbahaya dari sekadar flu biasa dan hanya bisa ditularkan orang dengan gejala nyata, sehingga hanya orang yang menunjukkan gejala diwajibkan memakai masker. Nah, kini kita tahu dampak dari pemikiran seperti itu.
Pemikiran muncul dari pemahaman atas kondisi berdasarkan data dan fakta yang ada. Masalahnya, di dunia yang sangat penuh dengan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity) atau kebergejolakan, ketidakpastian, kompleksitas, dan ketidakjelasan seperti saat ini, data dan fakta yang ada sering kali cepat berubah dan tidak lengkap.
Para pemimpin dan kita semua juga sebagai individu, akan selalu dipaksa untuk membuat keputusan dengan konteks tersebut. Konsekuensinya, keputusan yang diambil bisa saja salah ataupun tidak sesuai.
Ketika membuat keputusan yang salah menjadi sesuatu yang normal di kondisi saat ini, apa yang membedakan antara individu, khususnya pemimpin, menjadi hal yang efektif atau tidak?
Ada banyak jawaban atas perkara ini. Akan tetapi, yang diulas dalam kesempatan kali ini adalah faktor humility atau kerendahan hati.
Baca juga: Meningkatkan Kegigihan dengan Growth Mindset
Kerendahan hati oleh Neubauer, Tarling, dan Wade (2017) diidentifikasi sebagai menjadi salah satu karakteristik pemimpin yang lincah atau agile leader—pemimpin yang mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Dalam konteks tersebut, yang dimaksud dengan kerendahan hati adalah kesediaan seorang pemimpin untuk mengakui bahwa orang lain tahu lebih banyak darinya, terbuka untuk belajar, serta bersedia mencari masukan.
Kerendahan hati merupakan integrasi dari kesadaran diri untuk belajar dan menghargai kemampuan orang lain.
John Mackey, Steve McIntosh, dan Carter Phipps dalam buku Conscious Leadership (2020) berargumen bahwa pemimpin harus menganggap kerendahan hati sebagai salah satu keunggulan kompetitif.
Pemimpin yang berkesadaran atau conscious leaders adalah mereka yang selalu mencari inovasi dan ide-ide terbaik dari manapun inovasi atau ide-ide tersebut berasal. Untuk bisa melakukan hal tersebut, pemimpin harus dapat mengalahkan ego personal dan organisasinya.
Adam Grant (2021) dalam buku terbarunya Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know menyatakan bahwa orang sering kali salah paham bahwa memiliki kerendahan hati berarti memiliki kepercayaan diri yang rendah.
Salah satu akar kata latin dari kerendahan hati berarti “dari tanah/bumi” (from the earth). Kerendahan hati adalah membumi, mengenali bahwa kita semua adalah makhluk yang penuh dengan kekurangan dan mudah salah, bukan berarti tidak memiliki kepercayaan diri.
Kepercayaan diri adalah ukuran seberapa besar kita mempercayai diri kita sendiri, di mana bukti-bukti menunjukkan bahwa hal tersebut berbeda dengan seberapa besar kita mempercayai metode yang kita pakai.